Minggu, 24 Februari 2013

Pemilihan Presiden Langsung dalam Islam

Oleh : Drs. H. Ahmad Supardi Hasibuan, MA.
Pendahuluan
Persoalan pimpinan dalam hukum Islam adalah merupakan sesuatu hal yang sangat mendasar sebab pimpinan adalah merupakan seorang kepala negara dan kepala pemerintahan yang akan mengatur, menertibkan dan menjalankan hukum secara baik dan benar dalam masyarakatnya. Oleh karena itulah maka di dalam al-Quran Allah SWTmemerintahkan untuk mentaati segala Perintah Allah, Perintah Rasul dan Perintah Pemimpinnya sesuai dengan firmanNya :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, kepada Rasul dan kepada pemimpin kamu.
Dengan demikian maka tidak perlu heran manakala Nabi Muhammad SAW wafat, ummat Islam Madinah baik kaum Anshar maupun kaum Muhajirin langsung disibukkan untuk mencari dan menetapkan figur pimpinan yang akan menjadi pimpinan dan Kepala Negara ataupun Kepala Pemerintahan bagi ummat Islam. Dan fakta menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW belum dikuburkan sebelum pimpinan ummat Islam diangkat dan ditetapkan, sebab apabila Nabi Muhammad SAW dikubur, sedangkan pimpinan yang akan mengatur ummat tidak ada, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi chaos dan pertikaian di kalangan ummat Islam.
Selain hal tersebut di atas, persoalan pimpinan bagi ummat Islam ini, hampir menimbulkan perpecahan dan pertumpahan darah, sebab pada diri seorang pemimpin tercermin aspirasi dan visi masyarakat yang harus diwujudkan dalam rangka mensejahterakan rakyat. Persoalan pimpinan pasca wafatnya Nabi ini kelak menjadi salah satu akar pemicu timbulnya perpecahan di kalangan ummat Islam, khususnya bagi kelompok Sunni dan kelompok Syii, apalagi kelompok Syii berpendapat bahwa yang paling berhak untuk menjadi pimpinan pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah Ali Bin Abi Thalib, dengan pertimbangan bahwa Ali Bin Abi Thalib adalah seorang yang wajahnya bersih dari menyembah berhala sehingga ia diberi istilah dengan Karromallohu Wajhahu (Allah memuliakan wajahnya dari menyembah berhala).
Selain itu Ali Bin Abi Thalib ditinggalkan atau tidak diikutsertakan dalam musyawarah pemilihan pimpinan pengganti Nabi Muhammad sebab pada saat itu ia sedang sibuk mengurusi jenazah Nabi Muhammad SAW, dan kalaupun ia diikutkan tentu ia akan merasa sangat tidak etis ikut bersaing menjadi calon pengganti Nabi Muhammad SAW jadi pimpinan ummat Islam, sementara jasad Rasulullah SAW yang nota bene mertuanya masih terbujur di hadapannya. Alipun tidak menolak hasil musyawarah pemilihan pimpinan ummat Islam yang menetapkan Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah, namun fakta menyatakan bahwa baru enam bulan kemudian Ali Bin Abi Thalib membaiat Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah.
Perpecahan ummat Islam pasca wafat Nabi sebagai akibat dari penetapan pimpinan ummat Islam itu, akhirnya merembes kepada masalah theologi yang tidak dapat diselesaikan dan pengaruhnya sangat kuat hingga kini, yaitu antara aliran Sunni dan aliran Syiah. Aliran Sunni berpegang pada pendapat kebanyakan para sahabat, sedangkan aliran Syiah adalah aliran yang mengusung ahlul bait dalam hal ini Ali Bin Abi Thalib sebagai satu-satunya figur yang pantas menggantikan posisi Nabi Muhammad SAW sebagai pimpinan ummat Islam.
Selain fakta tersebut di atas, sejarah juga mencatat bahwa persoalan pimpinan bagi ummat Islam pada masa Khulafaurrasyidin dan sesudahnya baik pada masa Bani Umayyah maupun pada masa Bani Abbasiyah, bahkan masa-masa sesudahnya, persoalan pimpinan adalah merupakan persoalan yang sangat dominan dalam sejarah ummat islam, sebab seorang pimpinan adalah merupakan seorang figur bagi masyarakat yang memiliki visi dan misi untuk membawa mereka mencapai kebahagian, baik kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan di akhirat. Saking pentingnya persoalan pimpinan ini, maka ada yang menyebutkan seorang pimpinan yang zhalim jauh lebih baik daripada tidak ada pimpinan sama sekali.
Dengan demikian maka sesungguhnya seorang pimpinan atau kepala negara atau kepala pemerintahan dalam islam itu adalah juga merangkap sebagai pemimpin agama sebagaimana yang difigurkan oleh Nabi Muhammad SAW dan juga oleh para khulafaurrasyidin. Dan baru pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan pemerintahan-pemerintahan sesudahnyalah adanya pemisahan antara pimpinan pemerintahan atau pimpinan negara dengan pimpinan agama. Padahal sebelumnya kedua pimpinan ini berada pada satu kekuasaan.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka penulis memandang penting untuk membahas persoalan pimpinan ini khususnya dalam hal tata cara pemilihannya, dengan judul, Pemilihan Pimpinan Secara Langsung dalam Perspektif Hukum Islam.
Pentingnya Mengangkat Pemimpin
Mengangkat seorang pemimpin adalah merupakan kewajiban bagi ummat Islam sebab keberadaan seorang pemimpin akan dapat mengarahkan, membentengi dan melindungi ummat dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SAW. Kepemimpinan dalam Islam lebih dikenal dengan istilah khilafah yang berarti kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. Kata lain dari khalifah adalah imamah. Imamah dan Khilafah mempunyai makna yang sama. Bentuk inilah yang dinyatakan oleh hukum Islam, agar dengan bentuk tersebut daulah Islam bisa berdiri di atasnya. Bahkan banyak hadis sohih yang menunjukkan bahwa dua kata ini memiliki konotasi yang sama.Dan tidak satu nash hukum Islampun yang menunjukkan adanya konotasi yang berbeda. Baik di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah, sebab nash hukum Islam hanya ada dua ini. Begitu pula tidak harus terikat dengan lafadz, baik khilafah maupun imamah. Namun yang wajib, hanyalah terikat dari segi maknanya saja.
Adapun dalil kewajiban mengangkat seorang pemimpin ini adalah para shabat telah bersepakat untuk mengangkat seorang pengganti Rasulullah SAW sebagai seorang pemimpin setelah beliau wafat. Mereka juga bersepakat untuk mengangkat seorang khalifah, sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Ijma sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan khalifah nampak jelas dalam kejadian bahwa mereka menunda kewajiban mengebumikan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang khalifah, pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah merupakan suatu keharusan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah tersebut melakukan kesibukan lain sebelum jenazah tersebut dikebumikan. Namun sebahagian sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW, yang salah satunya adalah Ali bin Abi Thalib, ternyata justru mendahlukan upaya-upaya untuk mengangkat khalifah. Sedangkan sebahagian sahabat lain, yang tidak ikut sibuk mengangkat khalifah ternyata ikut pula menunda kewajiban mengebumikan jenazah Nabi Muhammad SAW, sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal itu kemudian mengebumikan jenazah Nabi secepatnya.
Fakta ini menunjukkan bahwa adanya kesepakatan mereka secara diam-diam untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat khalifah daripada menguburkan jenazah Nabi. Hal itu tidak akan terjadi, kecuali jika status hukum mengangkat seorang khalifah lebih wajib daripada menguburkan jenazah. Atas dasar hal ini maka sesungguhnya mengangkat seorang pemimpin adalah merupakan sebuah kewajiban yang tak bisa dihindari oleh siapapun juga, sebab ternyata persoalan kepemimpinan mempengaruhi terhadap semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk di dalamnya persoalan agama, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya.
Hal ini terasa sangat penting lagi, mengingat bahwa tugas pemimpin itu salah satunya adalah mewujudkan pemerintahan yang amanah sebagaimana dikonsepsikan oleh Failosof Al-Farabi, atau Madinatul Fadhilah, atau Negara Utama dalam konsepsi Zainal Abidin Ahmad seorang Masyumi dari Indonesia. Apabila hal ini dapat diwujudkan maka akan tercapailah kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh, baik lahir maupun bathin, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Tata Cara Pemilihan Khulafaurrasyidin
Apabila kita berkaca pada masa lalu khususnya dalam hal memilih pemimpin pada masa Khulafaurrasyidin, maka akan ditemukan perbedaan-perbedaan dalam memilih Pemimpin ataupun Khalifah ataupun Amirul Mukminin. Perbedaan ini terjadi sebagai salah satu akibat langsung dari tidak adanya aturan yang jelas dalam memilih dan mengangkat pimpinan baik dalam al-Quran maupun dalam al-Hadis Rasulullah SAW. Pada masa Rasulullah SAW,karena yang menjadi pemimpin itu adalah beliau sendiri dengan pengangkatan sebagai Rasul dari Allah SWT, maka tidak ada yang protes di antara kaum muslimin. Akan tetapi karena Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menentukan siapa penggantinya sebagai pimpinan ummat islam dan bagaimana tata cara pemilihannya. maka terjadilah perbedaan di kalangan ummat islam.
Apabila kita berkaca pada masa Khulafaurrasyidin sebagai sebuah masa yang paling ideal pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW dan figur-figurnya adalah figur ideal karena mereka adalah merupakan sahabat Nabi yang paling setia, paling banyak berkorban dan berbakti bagi kepentingan ummat, dan individunya adalah orang-orang yang dijamin oleh Nabi masuk syurga, selama masa khulafaurrasyidin ini terdapat bermacam-macam bentuk pemilihan yang dilakukan, artinya pemilihan satu khulafaurrasyidin dengan khulafaurrasyidin yang lainnya adalah berbeda-beda sebagai berikut :
1. Pengangkatan Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah I adalah melalui pemilihan secara musyawarah yang dilakukan oleh ummat Islam di Tsaqifah Bani Saidah setelah wafatnya Rasulullah SAW. Pemilihan secara musyawarah ini dilakukan dengan sangat alot dan melalui perdebatan yang sengit antara golongan Anshor dengan golongan Muhajirin yang diwakili oleh Abu Bakar Shiddiq dan Umar Bin Khaththab. Golongan Muhajirin hanya diwakili oleh kedua tokoh tersebut sebab yang melakukan prakarsa untuk memilih pemimpin pengganti Rasulullah SAW adalah kaum Anshor, sedangkan kaum Muhajirin termasuk di dalamnya Ali Bin Abi Thalib (dari barisan keluarga Nabi) sedang sibuk mengurusi jenazah Nabi. Akibatnya golongan Muhajirin hanya diwakili oleh Abu Bakar Shiddiq dan Umar Bin Khaththab. Musyawarah ini menghasilkan terpilihnya Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah pertama pengganti Rasulullah SAW. Pemilihan Khalifah pertama ini dilakukan secara musyawarah melalui sebuah rapat yang alot dan sengit oleh para tokoh dan masyarakat, sekalipun masih banyak orang lain yang tidak ikut melakukan pemilihan di dalamnya.
2. Pengangkatan Umar Bin Khaththab sebagai Khalifah Kedua berbeda dengan pengangkatan Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah Pertama. Kalau pengangkatan Abu Bakar Shiddiq melalui musyawarah, sekalipun tidak diikuti oleh semua ummat islam, maka pengangkatan Umar Bin Khaththab sebagai Khalifah Kedua adalah melalui penunjukan dari Khalifah Pertama dalam hal ini penunjukan dari Abu Bakar Shiddiq. Penunjukan dari Khalifah pertama ini disambut baik oleh semua kaum muslimin, karena memang Khalifah pertama menunjuk penggantinya bukan hanya sekedar menunjuk atas dasar like and dislike, tetapi beliau menunjuk orang yang tepat di tempat yang tepat dan pada masa yang tepat (the right man and the right place). Selain itu penunjukan ini ditengarai setelah terlebih dahulu melakukan konsultasi dan diskusi dari para pembesar-pembesar sahabat, sehingga surat penunjukan dari Abu Bakar Shiddiq itu tidak mendapat protes sedikitpun dari para sahabat dan Umar diterima menjadi Khalifah kedua menggantikan Abu Bakar Shiddiq. Pengangkatan Khalifah Kedua ini adalah melalui penunjukan dan surat sakti dari Sang Khalifah sebelumnya.
3. Pengangkatan Usman Bin Affan sebagai Khalifah ketiga berbeda dengan dua pendahulunya. Kalau yang pertama dengan pemilihan secara musyawarah, yang kedua dengan penunjukan dari khalifah sebelumnya, maka pengangkatan Usman Bin Affan sebagai Khalifah ketiga adalah melalui Satu Tim yang ditunjuk oleh Umar Bin Khaththab yang beranggotakan enam orang ditambah satu orang (yang ketujuh) anaknya Abdullah Bin Umar dengan catatan anaknya tidak berhak untuk dipilih dan kalau terjadi suara berimbang di antara anggota enam orang itu, maka keputusannya ditanyakan kepada anaknya, tetapi kalau yang enam orang itu telah bersepakatn untuk menentukan khalifah maka tidak perlu ditanyakan kepada anaknya. Oleh Tim ini maka dipilihlah Usman Bin Affan sebagai Khalifah Ketiga. Dengan demikian maka pemilihan Khalifah Ketiga ini melalui sebuah tim yang dalam istilah sekarang ini dikenal dengan istilah Tim Formateur.
4. Pemilihan Ali Bin Abi Thalib sebagai Khulafaurrasyidin yang keempat berbeda pula dengan tiga pendahulunya, yaitu Ali Bin Abi Thalib dipilih dalam suasana ummat Islam sedang dalam kekacauan dan penuh fitnah sebagai akibat dari terbunuhnya Khalifah Usman Bin Affan. Pemilihannya dilakukan oleh ummat Islam Madinah, namun mendapat protes dari Gubernur Damaskus yaitu Muawiyah Bin Abi Sufyan yang kelak mendirikan Khalifah Bani umayyah. Protes Muawiyah tersebut bukan karena tidak setuju dengan diri peribadi Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifah, akan tetapi Muawiyah meminta diusut terlebuh dahulu siapa pembunuh khalifah Usman Bin Affan, barulah kemudian dipilih dan diangkat khalifah. Hal ini menjadi pemicu konflik berkepanjangan antara pendukung Ali Bin Abi Thalib dengan pendukung Muawiyah Bin Abi Sufyan.
Dari keempat model pemilihan pimpinan atau kepala negara tersebut di atas, tidak ada satupun di antaranya yang berdasar langsung dari Al-Quran dan Al-Hadis, namun demikian semuanya telah diakui dan diterima oleh ummat Islam sebagai sebuah fakta dan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun juga. Dan satu hal yang pasti bahwa keempat model pemilihan khalifah tersebut, tidak ada satupun di antaranya yang bertentangan dengan Al-Quran dan Al-Hadis, apalagi hal ini dilakukan oleh orang-orang yang memang betul-betul dekat dengan Nabi Muhammad SAW dan memahami subsatnsi ajaran-ajaran Islam, sebab mereka adalah Assabiqunal Awwalun, Ashabi Rasulillah dan murid-murid langsung dari Rasulullah SAW.
Adapun pemilihan pimpinan yang dilakukan sesudah khulafaurrasyidin tersebut di atas adalah dilakukan melalui turun temurun sebab sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem kerajaan. Sistem kerajaan ini pertama kali diterapkan oleh Muawiyyah yang mendirikan Bani Ummayah dengan pusat ibukotanya di Damaskus, yang kemudian dilanjutkan oleh Bani Abbasiyah dengan pusat ibukotanya di Bagdad. Sistem ini berjalan ratusan tahun secara silih berganti sampai dengan berakhirnya kerajaan Islam yaitu dengan berakhirnya Kerajaan Turki Usmani dengan terbentuknya Pemerintahan Republik Turki.
Model-Model Pemilihan Pimpinan
Ada banyak bentuk, model dan tata cara pemilihan pimpinan ataupun Kepala Negara yang berlangsung di dunia ini, yang kesemua itu dapat dijadikan rujukan dan pedoman. Tata cara dan model tersebut antara lain adalah :
1. Pemilihan secara langsung.
Pemilihan pimpinan secara langsung berlangsung pada negara-negara maju dan demokratis seperti di Amerika Serikat dan sekarang ini juga berlaku di Indonesia dan di negara-negara lainnya. Pemilihan pimpinan di negeri ini dilakukan secara langsung oleh masyarakat dengan satu orang satu suara (one man one fote). Hanya saja pemilihan seperti ini masih terdapat kelemahan-kelemahan yang salah satunya adalah disamakannya kualitas dan kuantitas suara antara seorang yang memiliki ilmu banyak seperti seorang profesor dengan seorang tukang becak. Padahal secara logika sehat kualitas dan pengaruh antara seorang profesor dengan seorang tukang becak adalah berbeda dan semua orang sepakat bahwa seorang profesor jauh lebih hebat daripada seorang tukang becak. Oleh karena seorang profesor berbeda jauh dengan tukang becak dalam segala hal, maka seharusnya suara seorang profesor tidak bisa sama dengan suara seorang tukang becak. Hal inilah yang menjadi kelamahan pada sistem pemilihan langsung dengan menggunakan one man one fote ini. Oleh karena itu maka perlu dicarikan solusinya sehingga terjadi keadilan dalam hal suara antara seorang profesor dengan seorang tukang becak. Hal yang sama berlaku bagi yang lainnya dalam semua profesi yang ditekuni oleh masyarakat secara proforsional. Apabila hal ini tidak dilakukan maka tetap saja model pemilihan seperti ini tidak akan menghasilkan pemimpin yang ideal, yang dikehendaki oleh masyarakat, termasuk di dalamnya masyarakat yang menekuni bidang keilmuan.
2. Pemilihan Melalui Perwakilan.
Pemilihan melalui perwakilan adalah merupakan salah satu bentuk dari pemilihan pimpinan. Pemilihan secara perwakilan ini seperti di Indonesia sebelum masa reformasi dilakukan oleh Majelis Perwakilan Rakayat (MPR) dan merekalah yang memilih Pimpinan baik Presiden maupun Wakil Pressiden. Hanya saja pemilihan melalui perwakilan inipun menunai kritikan dari berbagai pihak, sebab terkadang pimpinan yang dipilih oleh MPR itu tidak sesuai dengan keinginan rakyat, padahal mereka sesungguhnya adalah wakil rakyat. Pilihan MPR itu tidak sesuai dengan keinginan rakyat terkadang adalah disebabkan antara lain adalah MPR itu tidak mau mendengarkan suara dan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Selain itu, MPR itu telah terkooptasi oleh kekuasaan tertentu, sehingga para anggota MPR itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus memilih figur tertentu yang sudah diatur sedemikian rupa. Oleha kerena itu pulalah maka sistem seperti ini di Indonesia dirubah melalui program reformasi menyeluruh terhadap kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi pemilihan pimpinan secara langsung dengan sistem one man one fote, sekalipun harus diakui bahwa sistem ini penuh dengan kelemahan sebagaimana kami sebutkan di atas.
3. Pemilihan secara turun temurun.
Selain kita mengenal istilah pemilihan secara langsung, pemilihan melalui perwakilan sebagaimana kami bahas tersebut di atas, kita juga mengenal istilah pemilihan pimpinan secara turun temurun yang diterapkan pada negara-negara yang menganut sistem keerajaan seperti Saudi Arabia dan lain sebagainya. Pada negara-negara yang berbentuk kerajaan ini, para raja sebagai Kepala Negara ditetapkan secara turun temurun dan bersifat seumur hidup. Seorang kepala negara tidak bisa diganti selama kepala negara itu masih hidup, sekalipun ia telah uzur dalam melaksanakan tugas. Kalaupun Sang Raja mau mendelegasikan kekuasaannya maka itu didelegasikan secara sementara kepada putra mahkota yang memang kelak akan menjadi penggantinya setelah Sang Raja meninggal dunia. Dalam pemerintahan sistem kerajaan ini, pada umumnya kepala negara mengangkat Perdana Menteri yang tugasnya adalah memimpin pemerintahan sehari-hari, namun kekuasaan sebagai kepala negara tetap ada pada Sang Raja. Untuk itulah maka Perdana Menteri mempunyai kewajiban untuk melakukan konsultasi dengan pihak kerajaan mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambilnya, sehingga kebijaksanaannya tidak bertentangan dengan kebijaksanaan Kepala Negara. Kelemahan dari sistem kerajaan ini adalah masyarakat lain yang berkualitas dan berkemampuan untuk menjadi kepala negara, tidak mempunyai kesempatan untuk menjadi kepala negara sebab sudah menjadi hak keluarga kerajaan. Selain itu, kepala negara dan keluarganya tidak menutup kemungkinan berbuat sewenang-wenang kepada rakyatnya tanpa bisa dilahakan oleh siapapun juga.
Pandangan Hukum Islam
Berbicara tentang memilih pimpinan secara langsung, maka satu hal yang adalah Hukum Islam baik secara terang-terangan maupun secara terperinci tidak mengatur tentang tata cara pemilihan pimpinan, apakah pemilihan pimpinan itu dilakukan secara langsung sebagaimana di negara-negara demokratis, ataukah dilakukan melalui perwakilan sebagaimana yang pernah berlangsung di Indonesia dan ataukah melalui warisan secara turun temurun sebagaimana pada negara dengan sistem kerajaan. Islam hanya mengatur tentang adanya larangan mengangkat pimpinan dari kalangan Nasrani dan Yahudi dan mewajibkan pimpinan itu berasal dari ummat Islam. Sedangkan bagaimana tata cara untuk memilih dan mengangkat pimpinan itu tidaklah diatur secara terperinci. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah menjadi pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.
Pada ayat yang lain juga hanya menjelaskan tentang adanya kewajiban untuk mengikuti perintah pimpinan sebagaimana wajibnya mengikuti perintah Allah dan perintah RasulNya. Ayat tersebut adalah :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, kepada Rasul dan kepada pemimpin kamu.
Selain tidak adanya diatur secara terperinci tentang tata cara pemilihan pimpinan baik dalam al-Quran maupun dalam al-Hadis Rasulullah SAW, sejarah juga mencatat adanya beberapa bentuk model tentang tata cara pemilihan khulafaurrasyidin (pimpinan ummat Islam) yang berbeda-beda antara satu sama yang lain sebagaimana penulis jelaskan secara panjang lebar di muka.
Pemilihan sebagaimana bentuk dan model yang dilakukan pada pemilihan Khulafaurrasyidin ini adalah merupakan bentuk dan model yang paling ideal dan paling mendekati dengan ketentuan hukum Islam sebab orang-orang yang memilih, mengangkat dan membaiat mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW,orang-orang yang paling memahami isi kandungan al-Quran sebab mereka mendapat penjelasan secara langsung dari Nabi, sebahagian di antara mereka adalah orang-orang yang dijamin oleh Rasul masuk syurga, orang-orang yang sangat tawadhu dan tidak ambisi kekuasaan, dan lain-lain sebagainya. Sehingga tidak salah apabila disebutkan bahwa keempat bentuk pemilihan itulah yang paling mendekati ketentuan hukum Islam.
Persoalannya sekarang adalah pemilihan pimpinan secara langsung sebagaimana yang dimaksud dalam pembahasan dalam makalah ini tidak ada yang sama dengan apa yang diterapkan pada masa khulafaurrasyidin. Pemilihan pimpinan secara langsung ini hanyalah mendekati dengan pemilihan Abu Bakar Shiddiq sebagai khulafaurrasyidin pertama, sebab pemilihannya dilakukan secara langsung, hanya saja dalam pemilihan langsung sekarang ini tidak ada unsur musyawarahnya sebagaimana diperintahkan dalam firman Allah :
Artinya : Dan urusan mereka diputuskan secara musyawarah di antara mereka.
Dalam pemilihan langsung berlaku siapa yang paling banyak perolehan suaranya, maka secara otomatis dia ditetapkan menjadi pimpinan, sekalipun secara individu dia memiliki kelemahan dibanding dengan calon lainnya. Berbeda apabila melalui musyawarah, maka akan dipertimbangkan kelebihan dan kelemahan di antara para calon pemimpin dan yang paling berkualitaslah yang akan ditunjuk menjadi pimpinan.
Namun mengingat bahwa sistem dan tata cara pemilihan itu tidak diatur secara pasti dan rinci dalam hukum Islam, maka pemilihan secara langsungpun dapat dibenarkan dalam Islam sebab tidak ada larangan dalam ajaran Islam untuk melakukan pemilihan secara langsung, dengan catatan bahwa masyarakat ataupun rakyatnya melalui musyawarah sepakat untuk melakukan pemilihan langsung. Kesepakatan untuk melakukan pemilihan langsung itu secara musyawarah telah memenuhi ketentuan hukum Islam sesuai dengan Al-Quran Surat Asy-Syura ayat 38 tersebut di atas. Hal ini didukung oleh hadis Nabi yang menyebutkan :
Artinya : Kamu lebih mengetahui tentang urusan dunia kamu.
Hanya saja menurut penulis pemilihan pimpinan secara langsung yang berlangsung pada saat ini perlu mendapat sentuhan-sentuhan khusus secara proforsional dengan memperhatikan kualitas keilmuan seseorang, sebab dalam kenyataan yang berlangsung pada sistem ini adalah satu orang satu suara (one man one fote), padahal kualitas mereka berbeda. Oleh karena kualitas mereka (masyarakat) berbeda antara satu sama yang lain, maka nilai suaranyapun haruslah berbeda, dan tidak dapat disamakan.
Sebagai contoh dalam masalah ini adalah disamakannya suara antara seorang profesor yang menghabiskan hidupnya dengan dunia ilmu pengetahuan, penelitian dan pengembangan masyarakat, disamakan kuantitas dan kualitas suaranya dengan seorang peminta-minta di jalan yang malas bekerja dan relatif tidak punya perhatian sedikitpun dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Penyamaan kuantitas dan kualitas suara ini dirasakan tidak adil dan tidak seimbang, padahal keadilan dan keseimbangan adalah dua hal yang juga menjadi prinsip-prinsip umum dalam melakukan muamalah dalam hukum Islam.
Dengan demikian seharusnya kuantitas dan kualitas suara antara seorang profesor dengan peminta-minta di pinggir jalan tadi harus dibedakan. Sebagai contoh dalam hal ini, suara seorang profesor setidaknya berbanding lima dengan seorang peminta-minta. Sehingga dengan demikian suara seorang profesor sama dengan suara lima orang peminta-minta, dan seperti inilah diqiaskan dengan profesi-profesi lainnya.
Salah satu persoalan yang sangat rawan dalam masalah ini adalah adanya money politic yang dilakukan oleh figur-fugur yang mencalonkan dirinya sebagai pimpinan, akibatnya pemilihan secara langsung tidak menghasilkan figur seorang pimpinan yang ideal. Hal ini sangat mungkin terjadi khususnya di daearh-daerah yang kondisi ekonominya sangat lemah, kemiskinan menyeleimuti warganya, masyarakatnya sangat membutuhkan makanan, akibatnya asalkan si calon pemimpin mau memberikan uang, mereka akan ramai-ramai memilihnya, sekalipun dalam pertimbangan objektif yang bersangkutan tidak layak ataupun masih ada yang lebih layak lagi untuk memimpin.
Hal seperti ini sangat berbahaya bagi suatu masyarakat sebab apabila seseorang mengeluarkan uang untuk menjadi pimpinan suatu negara atau daerah, maka setelah seseorang itu menjadi pimpinan, maka tidak mustahil hal pertama yang dilakukannya adalah bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya itu secepat mungkin, walau dengan cara apapun, termasuk dengan cara yang tidak halal. Dia hampir tidak sempat untuk berpikir, bagaimana mensejahterakan rakyatnya. Hal ini sangat logis dan masuk akal, serta sudah banyak kejadian yang terjadi dalam masyarakat. Akibatnya waktu yang seharusnya dia pergunakan untuk memikirkan masa depan rakyatnya, dia hanya sibuk untuk mencari dan mengembalikan dana yang telah dikeluarkannya.
Namun demikian sistem pemilihan langsung ini adalah merupakan sistem yang paling ideal untuk diterapkan saat ini sebab dalam pemilihan langsung ini transparansi, kejujuran dan keadilan akan terlihat secara nyata. Selain itu pimpinan yang akan terpilih adalah benar-benar merupakan pilihan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Apabila pimpinan ini baik, maka pimpinan ini otomatis akan dipilih lagi oleh rakyatnya pada priode berikutnya dan sebaliknya apabila pemimpin itu tidak baik, maka tidak akan dipilih oleh rakyat lagi pada priode berikutnya. Dalam hal ini maka kualitas dan ketokohan individu seseorang dipertaruhkan di hadapan rakyat pemilihnya. Dan untuk itu maka diperlukan kesiapan mental dan spritual dalam menghadapinya.
Kesimpulan
1. Hukum Islam tidak mengatur secara jelas dan terperinci tentang tata cara pemilihan pimpinan, apakah dilakukan secara langsung, melalui penunjukan, melalui musyawarah, ataukah dengan sitem turun temurun.
2. Pemilihan seorang pemimpin dalam sejarah perdaban ummat Islam berbagai bentuk ada yang melalui musyawarah, ada yang melalui surat wasiat, ada yang melalui tim formateur ada yang melalui pemilihan dan ada yang bersifat turun temurun.
3. Pemilihan pemimpin secara langsung adalah sesuatu yang tidak dilarang dalam ajaran agama Islam atau dalam kata lain sesuatu yang dibolehkan. Pemilihan model ini untuk saat ini dirasakan bentuk pemilihan paling ideal untuk seorang pemimpin sebab dilakukan secara transparan, jujur, adil dan langsung, tanpa mendapat intimidasi dari orang lain.
4. Dalam pemilihan langsung ini hedaknya kualitas dan pengaruh seseorang harus diperhitungan dalam besaran suaranya, jangan sampai antara seorang profesor sama kuantitas dan kualitas suaranya dengan seorang peminta-minta dipinggir jalan.***

Sumber: http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=434 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...