Jumat, 15 Maret 2013

Adat Dalam Islam 1

Oleh: Abdurrahman Misno Bambang Prawiro

Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon), ia tidak bisa hidup sendiri tanpa  kehadiran orang lain bersamanya. Maka, setiap manusia akan melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Proses interaksi ini berlangsung secara terus-menerus, sejak ia dilahirkan hingga meninggal dunia. Ruang lingkupnya yang tidak terbatas, dari interaksi dalam keluarga hingga interaksi dengan masyarakat seluruh dunia. Proses interaksi ini menimbulkan dampak hubungan timbal balik yang bersifat positif dan negatif. Dampak positif dalam interaksi ini berupa terciptanya kerja sama, saling membantu, dan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Sementara dampak negatifnya adalah terjadinya konflik sosial karena setiap manusia akan berusaha mendahulukan kepentingan individunya masing-masing. Selain itu adanya kepentingan yang berbeda-beda di antara manusia juga merupakan dampak negatif dari interaksi yang terjadi di antara mereka sehingga terjadi berbagai kesalahpahaman, percekcokan, persengketaan hingga terjadi perselisihan yang berujung pada bentrok fisik dan peperangan.
Banyaknya terjadi konflik sosial di tengah masyarakat menciptakan gagasan untuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang berkenaan dengan aturan dalam interaksi tersebut. Kesepakatan-kesepakatan yang diberlakukan dalam suatu kelompok masyarakat inilah yang kemudian menjadi aturan-aturan baku yang menjadi sebuah kesepakatan bersama dan menjadi hukum yang ditetapkan sesuai dengan kondisi dan keadaan masyarakat tersebut. Agar aturan ini dapat dilaksanakan dan ditaati maka dibuat pula kesepakatan adanya sanksi hukuman bagi siapa saja yang melanggarnya. Adanya sanksi bagi para pelanggar aturan tersebut memunculkan istilah hukum yang dipahami sebagai seperangkat aturan yang menjadi kesepakatan bersama dan bagi yang melanggarnya akan mendapatkan sanksi.  
Hukum sebagai aturan yang telah disepakati bersama ada pada setiap masyarakat, baik itu masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Kenyataan inilah yang telah direkam oleh ahli filsafat Yunani Cicero dengan istilah Ubi Societas Ibi Ius yaitu bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum yang berlaku. Maksudnya adalah bahwa bagaimanapun keadaan suatu masyarakat, mereka memiliki aturan-aturan (hukum) yang disepakati bersama untuk mengatur interaksi di antara mereka, walaupun mereka adalah masyarakat yang tinggal di tengah padang pasir atau di tengah hutan belantara.
Masyarakat Arabia adalah salah satu dari masyarakat yang memiliki adat istiadat sebagai sebuah hukum yang berlaku di antara mereka. Walaupun mereka tinggal di tengah padang pasir, namun mereka memiliki aturan-aturan tertentu yang disepakati oleh seluruh anggota sukunya, dalam ruang lingkup lebih luas mereka juga mempunyai kesepakatan (hukum) yang berlaku di antara suku (kabilah) yang bermukim di wilayah Semenanjung Arab. Sejarah masyarakat Arab membuktikan bahwa hukum yang telah mereka sepakati sering sekali dilanggar sehingga menimbulkan konflik antar suku yang berlangsung lama. Hal ini disebabkan kepribadian mereka yang sangat loyal dengan sukunya, sehingga mereka berani berkorban nyawa untuk membela kepentingan sukunya. Bagi mereka suku adalah kehormatan diri, jika anggota sukunya terbunuh oleh suku lain maka mereka akan melakukan tindakan menuntut balas (qishas).[1] Fakta ini dijadikan argumentasi oleh beberapa ahli bahwa hukum yang berlaku pada masyarakat Arab adalah hukum rimba (yang kuat menindas yang lemah).  


[1]  Muhammad Husain Haekal,  Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa. 2007), hlm. 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...