Minggu, 10 Maret 2013

Khalwat dalam Islam


Pengertian Khalwat
Khalwat adalah seorang laki-laki berada bersama perempuan yang bukan mahramnya dan tidak ada orang ketiga bersamanya. (Lihat Al Mar’atul Muslimah Baina Ijtihâdil Fuqahâ’ wa Mumârasât Al Muslimîn hal. 111)
Khalwat adalah perkara yang diharamkan dalam agama ini, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil.
Di antara  dalil-dali itu adalah sebagai berikut:
Satu: Hadits ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ.
“Hati-hati kalian terhadap masuk (bertemu) dengan para perempuan. Maka berkata seorang lelaki dari Anshar: “Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu dengan Al Hamwu?” Beliau berkata: “Al Hamwu adalah maut.”
Imam Muslim mengeluarkan dengan sanad yang shahih dari Al Lais bin Sa’ad Ahli Fiqh negeri Mesir rahimahullah, Beliau berkata: “Al Hamwu adalah saudara laki-laki suami dan yang serupa dengannya dari kerabat sang suami; Anak paman dan yang semisalnya.”
Berkata Imam Nawawi: “Sepakat ahli bahasa bahwa makna Al Hamwu adalah kerabat suami sang istri seperti bapaknya, Ibunya, saudara laki-lakinya, anak saudara laki-lakinya, anak pamannya dan yang semisalnya.”
Kemudian Imam An Nawawi berkata: “Dan yang diinginkan dengan Al Hamwu disini (dalam hadits di atas, -pent.) adalah kerabat suami selain bapak-bapaknya dan anak-anaknya. Adapun bapak-bapak dan anak-anaknya, mereka adalah mahram bagi istrinya, boleh bagi mereka ber-khalwat dengannya dan tidaklah mereka disifatkan sebagai maut.” Baca: Syarah Shahîh Muslim 14/154.
Adapun sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam: “Al Hamwu adalah maut,” ada beberapa penjelasan dari para ‘ulama tentang maksudnya:
  1. Maksudnya bahwa ber-khalwat dengan Al Hamwu akan mengantar kepada kehancuran agama seseorang yaitu dengan terjatuhnya ke dalam maksiat, atau mengantar kepada mati itu sendiri yaitu apabila ia melakukan maksiat dan mengakibatkan ia dihukum rajam, atau bisa kehancuran bagi perempuan itu sendiri yaitu ia akan diceraikan oleh suaminya bila sebab kecemburaannya.
  2. Berkata Ath Thobari: “Maknanya adalah seorang lelaki ber-khalwat dengan istri saudara laki-lakinya atau (istri) anak saudara laki-lakinya kedudukannya seperti kedudukan maut dan orang Arab mensifatkan sesuatu yang tidak baik dengan maut.”
  3. Ibnul ‘A’rabi menerangkan bahwa orang Arab kalau berkata: “Singa adalah maut” artinya berjumpa dengan singa adalah maut yaitu hati-hatilah kalian dari singa sebagaimana kalian hati-hati dari maut.
  4. Berkata pengarang Majma’ Al Gharâ’ib: “Yaitu tidak boleh seorangpun ber-khalwat dengannya kecuali maut.”
  5. Berkata Al Qodhi ‘Iyadh: “Maknanya bahwa ber-khalwat dengan Al Hamwu adalah pengantar kepada fitnah dan kebinasaan.”
  6. Berkata Al Qurthubi: “Maknanya bahwa masuknya kerabat suami (bertemu) dengan istrinya menyerupai maut dalam jeleknya dan rusaknya yaitu hal tersebut diharamkan (dan) dimaklumi pengharamannya.”
Lihat: Fathul Bari 9/332 karya Al Hafizh Ibnu Hajar dan Syarah Shahîh Muslim karya Imam An Nawawi 14/154.
Dua: Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Bukhari, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berkata:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ امْرَأَتِيْ خَرَجَتْ حَاجَّةً وَاكْتُتِبْتُ فِيْ غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا قَالَ ارْجِعْ فَحَجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ.
“Janganlah  seorang laki-laki ber-khalwat dengan perempuan kecuali bersama mahramnya. Maka berdirilah seorang lelaki lalu berkata: “Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk haji dan saya telah terdaftar di perang ini dan ini.” Beliau berkata: “Kembalilah engkau, kemudian berhajilah bersama istrimu.”
Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathur Bari (4/ 32–87): “Hadist ini menunjukkan pengharaman khalawat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak semahram, dan hal ini disepakati oleh para ‘ulama dan tidak ada khilaf di dalamnya.”
Tiga: Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ.
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan perempuan karena yang ketiga bersama mereka adalah syaithan.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Ash Shahîhah no. 430)
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni 9/490 setelah tentang disyari’atkannya melihat kepada perempuan yang dipinang, beliau menjelaskan beberapa hukum yang berkaitan dengannya, di antaranya beliau berkata: “Dan tidak boleh ber-khalwat dengannya karena khalwat adalah haram dan tidak ada dalam syari’at (pembolehan) selain dari melihat karena dengan khalwat itu tidak ada jaminan tidak terjatuh ke dalam hal yang terlarang.”
Empat: Hadist Jabir yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
أَلَا لَا يَبِيْتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَمٍ.
“Janganlah seorang laki-laki bermalam di tempat seorang janda kecuali ia telah menjadi suaminya atau sebagai mahramnya.”
Imam An Nawawi berkata dalam Syarah Shahîh Muslim (14/153): “Hadits ini dan hadits-hadits setelahnya (menunjukkan) haramnya ber-khalwat dengan perempuan ajnabiyah (bukan mahram) dan (menunjukkan) bolehnya ber-khalwat dengan siapa yang merupakan mahramnya. Dan dua perkara ini disepakai (dikalangan para ‘ulama, -pent.).”
Dan perlu diketahui bahwa pengharaman khalawat tersebut adalah berlaku umum, baik itu dirumah maupun diluar rumah serta tempat yang lainnya. Lihat Al Mufashshal Fî Ahkâmil Mar’ah (3/ 422).
Lima: Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ.
“Perempuan itu adalah aurat, kalau dia keluar maka dibuat agung/indah oleh syaithan.” (HR At Tirmidzi no. 1173 dan lain-lainnya dan dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al Jami’ Ash Shahih).
HUKUM IKHTILATH
Makna Ikhtilâth
Makna ikhtilath secara bahasa adalah bercampurnya sesuatu dengan sesuatu yang lain (Lihat: Lisanul ‘Arab 9/161-162).
Adapun maknanya secara syar’i yaitu percampurbauran antara laki-laki dan perempuan yang tidak hubungan mahram pada tempat. (Lihat: Al Mufashshal Fî Ahkâmil Mar’ah: 3/421 dan Al Mar’atul Muslimah Baina Ijtihâdil Fuqohâ’ wa Mumârasât Al Muslimin hal. 111)
Hukum Ikhtilath
Hukum ikhtilath adalah haram berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
Satu : Firman Allah subhânahu wa ta’âlâ dalam surah Al Ahzâb ayat 33:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.”
Berkata Imam Al Qurthubi dalam menafsirakan ayat ini: “Makna ayat ini adalah perintah untuk tetap berdiam atau tinggal di rumah, walaupun yang diperintah dalam ayat ini adalah para istri Nabi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam namun secara makna masuk pula selain dari istri-istri beliau Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam.” (Lihat Tafsirul Qurthubi: 4/179)
Dan Ibnu Katsir berkata tentang makna ayat ini: “Tinggallah kalian di rumah-rumah kalian, janganlah kalian keluar kecuali bila ada keperluan.”
Dua: Firman Allah ‘Azza Wa Jalla dalam surah Al Isra’ ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
“Dan janganlah kalian mendekati zina.”
Larangan dalam ayat ini dengan konteks “Jangan kalian mendekati” menunjukkan bahwa Al Qur’an telah mengharamkan zina begitu pula pendahuluan-pendahuluan yang dapat mengantar kepada perbuatan zina serta sebab-sebabnya secara keseluruhan seperti melihat, ikhtilath, berkhalwat, tabarruj dan lain-lain.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/39).
Tiga: Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang dikeluarkan oleh Abu Daud dengan sanad yang hasan dari seluruh jalan-jalannya, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
لَا تَمْنَعُوْا نِسَائَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang para perempuan kalian (untuk menghadiri) mesjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”
Dan dengan lafazh yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar pula, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ.
“Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah yang perempuan (untuk menghadiri) mesjid-mesjid Allah.”
Hadits ini menjelaskan tentang tidak wajibnya perempuan menghadiri sholat jama’ah bersama laki-laki di masjid, ini berarti boleh bagi perempuan untuk menghadiri sholat jama’ah di masjid akan tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka. Dan para ulama fuqaha’ sepakat tentang tidak wajibnya hal tersebut. Dan sebagian dari mereka memakruhkan untuk perempuan muda, adapun untuk perempuan yang telah tua maka mereka membolehkannya dan yang rajih adalah hukumnya boleh. (Lihat: Al Mufashshal Fii Ahkâmil Mar’ah: 3/424)
Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim (2/83): “Ini menunjukkan bolehnya perempuan ke masjid untuk menghadiri sholat jama’ah, tentunya bila memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syari’at. Di antaranya tidak keluar dengan menggunakan wangi-wangian, tidak berpakaian yang menyolok dan termasuk di dalamnya tidak bercampur atau ikhtilath dengan laki-laki yang bukan mahramnya.”
Empat: Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, beliau berkata:
اسْتَأْذَنْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ : جِهَادُكُنَّ الْحَجُّ.
“Saya meminta izin kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam untuk berjihad, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda: Jihad kalian adalah berhaji.”
Berkata Ibnu Baththal dalam Syarahnya sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (6/75-76): “Hadits ini menjelaskan bahwa jihad tidak diwajibkan bagi perempuan, hal ini disebabkan karena perempuan apabila berjihad maka tidak akan mampu menjaga dirinya dan juga akan terjadi percampurbauran antara laki-laki dan perempuan.”
Lima: Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّه‍َا أَوَّلُهَا.
“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang. Dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang dan sejelek-jeleknya adalah yang paling awal.”
Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim: “Bahwa sesungguhnya shaf perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang dan shaf laki-laki yang paling baik adalah yang paling awalnya, hal ini dikarenakan agar keadaan shaf perempuan dan shaf laki-laki saling menjauh sehingga tidak terjadi ikhtilath dan saling memandang satu dengan yang lainnya.”
Berkata Ash Shan’ani dalam Subulus Salam: “Dalam hadits ini menjelaskan sebab sunnahnya shaf perempuan berada di belakang shof laki-laki agar supaya keadaan tempat perempuan dan laki-laki dalam sholat saling menjauh sehingga tidak terjadi ikhtilath di antara mereka.”
Berkata Asy Syaukani dalam Nailul Authar (3/189): “Penyebab kebaikan shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki adalah karena tidak terjadi iktilath antara mereka.”
Enam: Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, beliau berkata:
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّيْ الصُّبْحَ بِغَلَسٍ فَيَنْصَرِفْنَ نِسَاءُ الْمُؤْمِنِيْنَ لَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ أَوْ لَا يَعْرِفُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا.
“Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam sholat Shubuh pada saat masih gelap maka para perempuan kaum mukminin kembali dan mereka tidak dikenali karena gelap atau sebagian mereka tidak mengenal sebagian yang lain.”
Hadits ini menjelaskan disunnahkannya bagi perempuan keluar dari masjid lebih dahulu daripada laki-laki ketika selesai shalat jama’ah, agar supaya tidak terjadi ikhtilath, saling pandang memandang atau hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syari’at.
Hal serupa dijelaskan pula dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha riwayat Imam Bukhari, beliau berkata:
أَنَّ النِّسَاءَ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كُنَّ إِذَا سَلَّمْنَ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ قُمْنَ وَثَبَتَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَمَنْ صَلَّى مِنَ الرِّجَالِ مَا شَاءَ اللهُ فَإِذَا قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَامَ الرِّجَالُ.
“Sesungguhnya para perempuan di zaman Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bila mereka salam dari sholat wajib, maka mereka berdiri dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam dan orang yang sholat bersama beliau dari kalangan laki-laki tetap di tempat mereka selama waktu yang diinginkan oleh Allah, bila Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berdiri maka para lelaki juga berdiri.”
Berkata Asy Syaukani dalam Nailul Authar (2/315): “Dalam hadits ini terdapat hal yang menjelaskan tentang dibencinya ikhtilath antara laki-laki dan perempuan dalam perjalanan dan hal ini lebih terlarang lagi ketika ikhtilath terjadi dalam suatu tempat.”
Berkata Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (2/560): “Jika dalam jama’ah sholat terdapat laki-laki dan perempuan maka disunnahkan bagi laki-laki untuk tidak meninggalkan tempat sampai perempuan keluar meninggalkan jama’ah sebab kalau tidak, maka hal ini dapat membawa pada ikhtilath.
Tujuh: Hadits Jabir Bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Imam Bukhari, beliau berkata:
قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ ثُمَّ خَطَبَ فَلَمَّا فَرَغَ نَزَلَ فَأَتَى النِّسَاءَ فَذَكَّرَهُنَّ.
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berdiri pada hari Idul Fitri untuk Sholat maka beliau pun memulai dengan sholat kemudian berkhutbah. Tatkala beliau selesai, beliau turun lalu mendatangi para perempuan kemudian memperingati (baca: menasihati) mereka.”
Berkata Al Hafizh dalam Al Fath (2/466): “Perkataan “kemudian beliau mendatangi para perempuan” menunjukkan bahwa tempat perempuan terpisah dari tempat laki-laki, tidak dalam keadaan ikhtilath.
Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim (2/535): “Hadits ini menjelaskan bahwa perempuan-perempuan apabila menghadiri sholat jama’ah di mana jama’ah tersebut dihadiri pula oleh laki-laki maka tempat perempuan berisah dari tempat laki-laki hal ini untuk menghindari fitnah, saling memandang dan berbicara.”
Beberapa Masalah Seputar Ikhtilath
1. Hukum belajar di sekolah-sekolah dan universitas yang terjadi ikhtilath di dalamnya.
Berkata syaikh Ibnu Jibrin sebagaimana dalam Fatâwâ Fî An Nazhor Wal Khalwat Wal Ikhtilath hal. 23: “Kami menasihatkan pada seorang muslim yang ingin menyelamatkan dan menjauhkan dirinya dari sebab-sebab kerusakan dan fitnah, tidak ada keraguan bahwa sesungguhnya ikhtilath di sekolah-sekolah adalah penyebab terjadinya kerusakan dan pengantar terjadinya perzinahan.”
Berkata Syaikh Al Utsaimin sebagaimana dalam kitab yang sama hal. 26: “Pendapat saya, sesungguhnya tidak boleh bagi setiap orang baik laki-laki dan perempuan untuk belajar di sekolah-sekolah yang terjadi ikhtilath di dalamnya, disebabkan karena bahaya besar akan mengancam kesucian dan akhlak mereka. Tidak ada keraguan bahwa orang yang bagaimanapun sucinya dan mempunyai akhlak yang tinggi, bagaimanapun bila di samping kursinya ada perempuan, terlebih lagi bila perempuannya cantik lalu menampakkan kecantikannya maka sangat sedikit yang bisa selamat dari fitnah dan kerusakan. Oleh karena itu segala yang membawa kepada kerusakan dan fitnah adalah haram.”
Berkata Syaikh Ibnu Bazz sebagaimana dalam kitab yang sama pula hal. 10: “Barang siapa yang mengatakan boleh Ikhtilath di sekolah-sekolah dan yang lainnya dengan alasan bahwa perintah berhijab hanya khusus untuk istri-istri Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam maka perkataan ini jauh dari petunjuk serta menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah yang telah menunjukkan hukum hijab berlaku umum, sebagaimana dalam firman Allah subhânahu wa ta’âlâ:
ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”
Dan juga kita ketahui bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam diutus oleh Allah subhânahu wa ta’âlâ untuk seluruh manusia tanpa kecuali, Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:
قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.”
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.”
Dan para sahabat yang mereka adalah sebaik-baik manusia dalam keimanan dan takwa dan sebaik-baik zaman, di masanya ternyata masih diperintahkan untuk berhijab demi kesucian hati-hati mereka, maka tentu orang-orang yang setelah mereka lebih membutuhkan dan lebih harus berhijab untuk mensucikan hati-hati mereka karena mereka berada pada zaman fitnah dan kerusakan.”
2. Hukum bekerja ditempat yang terjadi ikhtilath di dalamnya.
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin sebagaimana dalam Fatâwâ Fî An Nazhor Wal Khalwat Wal Ikhtilath hal. 44: “Pendapat saya, yakni tidak boleh ikhtilath antara laki-laki dan perempuan baik di instansi negeri maupun swasta, karena ikhtilath adalah penyebab terjadinya banyak kerusakan.”
Berkata para Ulama yang tergolong dalam Lajnah Dai’mah: “Adapun hukum bekerja di tempat yang (terdapat) ikhtilath adalah haram karena ikhtilath adalah penyebab kerusakan yang terjadi pada manusia.”
Berkata Syaikh Ibnu Bazz rahimahullah dalam kitab Musyarakatul Mar’ah Lir Rijâl Fî Mîdân ‘Amal hal. 7: “Bekerjanya perempuan di tempat yang terdapat laki-laki di dalamnya adalah perkara yang sangat berbahaya. Dan di antara penyebab besar munculnya kerusakan adalah disebabkan karena ikhtilath yang mana hal itu merupakan jalan-jalan yang paling banyak menyebabkan terjadinya perzinahan.”
HUKUM TABARRUJ
Makna Tabarruj
Tabarruj adalah apabila perempuan menampakkan perhiasan atau kecantikannya dan hal-hal yang indah dari dirinya kepada laki-laki yang bukan mahramnya, jadi perempuan yang ber-tabarruj adalah perempuan yang menampakkan wajahnya. Sehingga bila ada perempuan yang menampakkan atau memperlihatkan kecantikan wajah dan lehernya maka dikatakan perempuan itu ber-tabarruj. (Lihat Lisanul Arab Oleh Ibnu Manzhur: 3/33)
Tabarruj adalah perkara haram, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam.
Dan juga kaum muslimin sepakat tentang haramnya tabarruj sebagaimana yang dinukil oleh Al ‘Allamah Ash Shan’ani dalam Hâsyiyah Minhatul Ghoffâr ‘Alâ Dhau’in Nahâr 4/2011, 2012. Lihat: kitab Hirâsyatul Fadhîlah hal.92 (cet.ke 7).
Berikut ini dalil-dalil yang menunjukkan tentang haramnya tabarruj:
Satu: Allah Rabbul ‘Izzah berfirman dalam surah Al Ahzâb ayat 33:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu bertabarruj dengan tabarruj orang-orang Jahiliyah yang dahulu.”
Berkata Imam Al Qurtubi tentang ayat ini: “Ayat ini adalah perintah untuk tetap berdiam/tinggal di rumah. Dan sekalipun yang diperintah dalam ayat ini adalah para istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam namun secara makna termasuk pula selain dari istri-istri Nabi.” (Lihat Tafsir Al Qurthubi: 14/179 )
Berkata Mujahid tentang makna “Tabarrujal Jâhiliyah”: “Perempuan yang keluar dan berjalan di depan laki-laki maka itulah yang dimaksud dengan “Tabarrujal Jâhiliyah.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 3/482 dan Ahkâmul Qur’ân Oleh Al Jashshas: 3/360)
Berkata Muqatil Bin Hayyan tentang makna “Tabarrujal Jâhiliyah”: “Tabarruj adalah perempuan yang melepaskan khimar (tutup kepala) dari kepalanya sehingga terlihat kalung, anting-anting dan lehernya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 3/482-483)
Dan Qatadah berkata dalam menafsirkan ayat “Ddan janganlah kamu bertabarruj dengan tabarruj orang-orang Jahiliyah yang dahulu”: Perempuan yang berjalan dengan bergoyang dan bergaya. Maka Allah subhânahu wa ta’âlâ melarang perempuan melakukan itu.” (Lihat Ahkâmul Qur’ân Oleh Al Jashshas: 3/360 dan Fathul Bayân: 7/391)
Adapun makna tabarruj dalam Tafsir Al Alûsi 21/8 yakni: “Perempuan yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya yang seharusnya tidak dinampakkan.”
Sementara Abu Ubaidah dalam menafsirkan makna tabarruj: “Perempuan yang menampakkan kecantikan yang dapat membangkitkan syahwat laki-laki, maka itulah yang dimaksud Tabarruj.” (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir: 3/33 )
Dua: Firman Allah Ta’ala:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) untuk tabarruj dengan (menampakkan) perhiasan, dan menjaga kehormatan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS An Nûr: 60)
Maksud dari “Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka,” yaitu pakaian yang zhohir yang menutupi muka dan telapak tangan. Demikian dalam kitab Hirâsyatul Fadhîlah hal. 54 (cet. ke-7)
Kalau para perempuan tua dengan kriteria yang tersebut dalam ayat tidak boleh ber-tabarruj, apalagi para perempuan yang masih muda. Wallâhul Musta’ân.
Tiga: Firman Allah Jalla wa ‘Alâ:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS An Nûr: 31)
Empat: Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسُ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُؤْوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا.
“Dua golongan dari penduduk neraka yang saya belum pernah melihatnya sebelumnya: Kaum yang mempunyai cambuk-cambuk seperti ekor-ekor sapi untuk memukul manusia dengannya dan para perempuan yang berpakaian tapi telanjang berjalan berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk onta, mereka tidaklah masuk surga dan tidak (pula) menghirup baunya, padahal baunya dihirup dari jarak begini dan begini.”
Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim (14/110) dalam menjelaskan makna “Berpakaian tapi telanjang” yaitu mereka berpakaian tetapi hanya menutup sebagian badannya dan menampakkan sebagian yang lain untuk memperlihatkan kecantikan dirinya ataukah memakai pakaian tipis sehingga menampakkan kulit badannya.”
Dan Syaikh Bin Bazz rahimahullah dalam Majmû’ah Ar Rosâil Fil Hijâb Wa Ash Shufûr hal. 52: “Dalam Hadits ini ada ancaman yang sangat keras bagi yang melakukan perbuatan tabarruj, membuka wajah dan memakai pakaian yang tipis. Ini terbukti dari ancaman Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam terhadap pelakunya bahwa mereka diharamkan masuk surga.”
Tabarruj Termasuk Dosa Besar
Imam Adz Dzahabi rahimahullah menggolongkan tabarruj termasuk dari dosa-dosa besar, beliau berkata dalam kitab Al Kabâ’ir hal. 146-147: “Termasuk perbuatan-perbuatan yang menyebabkan terlaknatnya seorang perempuan bila ia menampakkan perhiasan emas dan permata yang berada di bawah cadarnya, memakai wangi-wangian bila keluar rumah dan yang lainnya. Semuanya itu termasuk dari tabarruj yang Allah subhânahu wa ta’âlâ membencinya dan membenci pula pelakunya di dunia dan di akhirat. Dan perbuatan inilah yang banyak dilakukan oleh kaum perempuan sehinga Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda tentang para perempuan bahwa: “Aku menengok ke dalam neraka maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah perempuan.” Dan bersabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam:
مَا تَرَكْتُ بِعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ.
“Saya tidaklah meninggalkan suatu fitnah setelahku yang paling berbahaya atas kaum lelaki daripada fitnah perempuan.”
Dan dari bahaya fitnah perempuan terhadap laki-laki yakni keluarnya perempuan dari rumah-rumah mereka dalam keadaan ber-tabarruj karena hal itu dapat menjadi sebab bangkitnya syahwat laki-laki dan terkadang hal itu membawa kepada perbuatan yang tidak senonoh. (Lihat: Al Mufashshal Fî Ahkâmil Mar’ah: 3/416)
Dari uraian di atas, telah jelas bahwa tabarruj yang dilarang adalah tabarruj yang dilakukan bila keluar rumah. Adapun bila perempuan tersebut berhias di rumahnya dan menampakkan perhiasan dan kecantikan kepada suaminya maka hal ini tidak mengapa dan tidak berdosa bahkan agama memerintahkan hal tersebut.
Akibat-akibat yang Ditimbulkan dari Fitnah Ikhtilath dan Tabarruj
1. Ikhtilath adalah jalan dan sarana yang mengantar kepada segala bentuk perzinahan yakni zina menyentuh, melihat dan mendengar. Dan zina yang paling keji adalah zina kemaluan yang mana Allah subhânahu wa ta’âlâ mengancam pelakunya dalam surah Al Furqân ayat 68-69 dan surah Al Isrâ’ ayat 32. (Lihat: Ahkâmun Nisâ’ 4/357)
2. Ikhtilath dan tabarruj menyebabkan perkelahian dan peperangan di antara kaum muslimin. Hal ini disebabkan karena dalam ikhtilath terjadi kedengakian dan kebencian  serta permusuhan di antara laki-laki karena memperebutkan perempuan atau sebaliknya terjadi kedengkian, kebencian dan permusuhan anatara perempuan karena memperebutkan laki-laki. (Lihat: Ahkâmun Nisâ’ 4/355-357).
3. Ikhtilath dan tabarruj menyebabkan perempuan tidak punya harga diri sebab ketika bercampur dengan laki-laki maka perempuan tersebut dapat dipandang dan dilihat oleh laki-laki sekedar untuk dinikmati, ibarat boneka yang hanya dilihat dari kecantikan raut muka dan keindahannya. (Lihat Majmû’ah Ar Rosâil Fil Hijâb Wa Ash Shufûr oleh Lajnah Da’imah hal. 119)
4. Ikthilath dan tabarruj menyebabkan hilangnya rasa malu pada diri perempuan yang mana hal itu adalah ciri keimanan dalam dirinya, karena ketika terjadi ikhtilath dan tabarruj maka perempuan tidak lagi mempunyai rasa malu dalam menampakkan auratnya. (Lihat Risalatul Hijâb oleh Syaikh Al ‘Utsaimin hal. 65)
5. Ikhtilath dan tabarruj menyebabkan ketundukan dan keterikatan pria yang sangat besar terhadap perempuan yang dia kenal dan dilihatnya. Dan hal inilah yang menyebabkan kerusakan besar pada diri laki-laki sampai membawanya kepada perbuatan yang kadang tergolong ke dalam kesyirikan. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
مَا تَرَكْتُ بِعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ.
“Saya tidaklah meninggalkan suatu fitnah setelahku yang paling berbahaya atas kaum lelaki daripada fitnah perempuan.”
6. Perbuatan ikhtilath dan tabarruj adalah perbuatan yang menyerupai prilaku orang-orang kafir dari Yahudi dan Nashara karena hal itu adalah kebiasaan-kebiasaan mereka. Sedangkan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari golongan mereka.”
(Lihat perkataan sekelompok ulama dalam kitab Majmu’ Rosâ’il hal. 52)
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam serta penjelasan para ulama, juga melihat bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh khalwat, ikhtilath dan tabarruj maka jelaslah bahwa khalwat, ikhtilath dan tabarruj merupakan hal yang diharamkan. Dan seharusnya bagi seorang muslim dan muslimah apabila Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, hendaknya bersikap tunduk dan patuh pada perintah-Nya sebagai aplikasi keimanan kepada-Nya, sebagaimana firman Allah subhânahu wa ta’âlâ:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS Al Ahzâb: 36)
Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamin. Wallâhu a’lam.
Sumber: Majalah An-Nashihah volume 05 Tahun 1/1424 H/2004 M halaman 58-64, dengan perbaikan ejaan dan ketikan.

Muslimah Ikhtilath di Kampus

Published: 21 Juni 2010Posted in: Adab
Fatwa Syaikh Ali Hasan Al Halabi hafizhohullah mengenai “Muslimah yang Kuliah Ikhtilat“.
[15] يقول: الدراسة في الجامعة المختلطة بالنِّسبة للأخوات؟
Syaikh Ali Hasan al Halabi mendaptkan pertanyaan, “Apa hukum kuliah di universitas yang ber-ikhtilath bagi akhwat (baca: muslimah)?”
[الجواب] أنا أعتقد أنَّ الجامعة المختلطة مَمنوعة سواء بالنسبة للأخوات أو بالنِّسبة للإخوة؛ فما الذي جعل الحكم متعلقًا بالأخوات دون الإخوة!؟ والواقع أنَّه اختلاط بينهم وبينهنَّ.
Jawaban beliau, “Aku berkeyakinan bahwa kuliah di universitas yang campur baur antara laki-laki dan perempuan adalah terlarang baik bagi akhwat (baca: muslimah) ataupun bagi ikhwah (baca: muslim). Lalu mengapa teks pertanyaan yang disampaikan hanya dikaitkan dengan akhwat tanpa ikhwah?! Padahal realita menunjukkan bahwa campur baur terjadi antara muslim dengan muslimah.
وهذا ما يفتي به شيخنا والشَّيخ ابن باز والشَّيخ العثيمين -رحمهم الله-.
Inilah yang difatwakan oleh guru kami (yaitu al Albani), Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh al Utsaimin.
لكن -أحيانًا- قد يكون لبعض النَّاس ظرف خاصٌّ؛ بمعنى أنَّه قد يُجبَر على الدِّراسة في مثل هذه الجامعة؛ بحيث إذا لم يَدرس قد يؤثِّر ذلك على علاقته مع أهله، أو إلى قطيعة رحِم وما أشبه، فالأمور تقدَّر بقَدرها.
Akan tetapi terkadang sebagian orang mengalami kondisi tertentu dalam pengertian dia dipaksa oleh keluarganya untuk kuliah di universitas semisal itu. Artinya jika dia ngotot untuk tidak kuliah di tempat tersebut akan retaklah hubungannya dengan keluarganya, putuslah ikatan persaudaraan dan semisalnya. (Maka ini adalah kondisi darurat) dan kondisi darurat itu ditakar secukupnya”.
Sumber: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=71037#post71037
Catatan:
Dari uraian di atas bahasan tentang kuliah dengan berikhtilath itu ditinjau dari dua sisi:

a. Hukum asal dari ikhtilat demi kuliah adalah terlarang sebagaimana umumnya ikhtilat.
b. Dalam kondisi tertentu bisa dibolehkan, bukan karena kita membolehkan ikhtilath namun karena pertimbangan kondisi masing-masing orang yang berbeda-beda. Dalam kondisi ini hendaknya kita meminimalisir kemungkaran sebisa mungkin dan kuliah dalam keadaan demikian hendaknya ditempuh secepat mungkin.

Artikel www.ustadzaris.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...