Senin, 15 April 2013

Ibnu Khaldun dan Jenis Pemerintahan

Oleh: Adzkia Muayiddah


Ibnu Khaldun tidak memandang kepada posisi atau jabatan imam itu sendiri, dan tidak melirik kepada sisi fungsionalnya sama sekali, tetapi memfokuskan pandangannya kepada makna fungsional dari keimamahan; kemudian menetukan hubungannya dengan jenis sistem pemerintahan yang lain. Undang-undang adalah ruh bagi setiap sistem atau tatanan soaial dan menjadi dasar eksistensinya. Menurut Ibnu Khaldun, sistem pemerintahan itu ada tiga macam:
1.      Pemerintahan atau dalam istilah Ibnu khaldun adalah al-mulk (kerajaan) yang natural. Definisinya adalah, “Membawa sekalian umat sesuai dengan tujuan dan keinginan nafsu.” Yang dia maksud dengan tabiat natural adalah insting, atau kecenderungan dan keinginan insting yang tersusun dalam satu individu: seperti egoism dan keinginan untuk menjadi arogan atau despotis, berusaha mewujudkan keserakahan individu berdasarkan egoisme. Dan menurut Ibnu Khaldun, semua jenis itu harus dibenci
2.      Pemerintahan atau mulk politik. Dia mendefinisikannya sebagai, “Membawa atau mengantar masyarakat atau rakyat sesuai dengan pandangan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah mudharat.” Jenis pemerintahan ini dipuji dari satu sisi, dan dicela pada sisi lain. Di sela-sela penjelasannya tentang kedua jenis pemerintahan ini, dia mengatakan, “Dan ketika hakikat sebuah pemerintahan merupakan tutntutan dari perkumpulan anak manusia yang bersifat aksiomatis, dan puncak personifikasinya adalah penindasan dan penundukan yang keduanya merupakan akibat samping dari naluri kemarahan dan kehewanan, tidaklah heran jika kebijakan-kebijakan penguasanya dalam ghalibnya telah melenceng dari kebenaran, menindas orang=orang yang berada di bawah kekuasaannya.
Pemerintahan jenis pertama menyerupai apa yang kita namakan sekarang dengan pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, dan inkonstitusional. Bisa jadi, termasuk di dalamnya kasus-kasus ketika orang-orang yang berkuasa berdasarkan hawa nafsu dan instingnya tergabung dalam kelompok tertentu atau kelas masyarakat tertentu. Yang terlihat, yang dihasilkan oleh sistem pemerintahan seperti ini adalah chaos, perpecahan, instabilitas dan kehancuran negara. Adapun tentang yang kedua adalah apa yang sekarang kita sebut sebagai pemerintahan (republik) ataupun juga kerajaan konstitusional, yang dapat mewujudkan keadilan sampai batasan tertentu; membawa berbagai manfaat bagi rakyat dalam kehidupan dunia karena menjalankan kebijakannya berdasarkan rasio yang telah digariskan oleh para pemikir dan intelektual umat serta dapat membawa pada stabilitas dan keteraturan kehidupan, juga membawa kemajuan dan kejayaan negara. Akan tetapi, harus juga dikatakan, bahwa sistem ini adalah sebuah orde materialis, yang hanya membatasi diri dalam urusan keduniaan dan mengesampingkan kehidupan spiritual dan aspek-aspek keagamaan, hingga tidak mampu mewujudkan kepentingan rakyatnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat.
Dengan demikian, perlu diadakan juga sebuah sistem ketiga, yang oleh Ibnu Khaldun didefinisikan sebagai, ”Identik dengan membawa semua orang untuk berpikir sesuai dengan jalan agama, dalam memenuhi semua kepentingan mereka, baik yang bersifat keukhrawian maupun keduniawian yang juga harus dirujukkan kepada yang disebut pertama (keukhrawian) karena dalam pandangan syara’, semua situasi dan kondisi keduniaan harus selalu memperhatikan pula kemaslahatan ukhrawi. Dengan demikian, pemerintahan model ketiga ini adalah perwakilan dari Tuhan sebagai pemilik syariat dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan ajaran-ajarannya.” Inilah dia yang terpahami dari definisinya yang disebut sebagai kekhalifahan atau keimamahan; ataupun seperti yang jelas terpahami dari definisnya yang disebut sebagai, pemerintahan yang Islami. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun juga mengadakan studi komparasi dengan dua model pemerintahan sebelumnya. “Jika aturan perundang-undangan diputuskan oleh para intelektual dan pembesar negara, kebijakan politiknya disebut rasional; dan jika aturan-aturan tersebut berasal dari Allah yang memutuskannya dan mensyariatkannya, maka orientasi politiknya adalah religius, bermanfaat dalam kehidupan keduniaan dan keakhiratan.” Ibnu Khaldun juga melanjutkan, “Adapun model pemerintah yang berorientasikan kekerasan, penindasan, dan mengesampingkan potensi kemarahan rakyatnya pastilah akan menimbulkan kerusakan dan permusuhan. Model seperti itu tidaklah terpuji, sesuai dengan tuntutan kebijaksanaan politik. Adapun model pemerintahan yang berorientasikan politik murni dan menerapkan undang-undangnya juga tidak terpuji mengingat model ini tidak menggunakan cahaya Allah; dan (dalam Al-Qur’an dikatakan) barangsiapa yang tidak menjadikan Allah sebagai cahayanya pastilah tidak akan mendapat cahaya (atau hidup dalam kegelapan). Karena Allah dalam kapasitas-Nya sebagai pemutus syariat lebih mengetahui kepentingan rakyat banyak yang tidak disadari oleh diri mereka sendiri, dalam hal-hal yang berakibat di hari akhirat. Semua pekerjaan anak manusia pasti akan berdampak terhadap hari kembalinya, baik dalam masalah pemerintahan maupun dalam masalah lainnya. Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya hal itu adalah hasil pekerjaan kalian yang dikembalikan kepada kalian.” Sedangkan, yang disebut sebagai undang-undang politik hanya membatasi diri pada urusan keduniawian saja.
Dengan demikian, telah jelaslah sekarang hakikat keimamahan, sebagaimana kita dapat mengetahui karakteristik model pemerintahan yang menyandang namanya, secara definitive. Kita pun dapat membayangkan mengapa masalah ini mempunyai signifikasi yang begitu besar, dan mengapa timbul perbedaan pendapat di seputarnya, yang notabene melatari timbulnya firqah-firqah (sekte-sekte) dan partai-partai politik., Semua itu pada akhirnya akan memudahkan kita dalam menjelaskan undang-undangnya dan akibat-akibat yang akan dihasilkan sebagai konsekuensi penerapannya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...