Selasa, 02 April 2013

Nikah Sanding Mayyit

Oleh: Kholilurahman

Ide penelitian ini muncul ketika bapak salah satu teman rekan kerja meninggal dunia di desa pabuaran Kabupaten Banyumas tepatnya sekitar 10 bulan yang lalu yang lalu. Pada waktu itu ketika dalam ta’ziyah ternyata tidak hanya acara pulosoro mayyit  yang dilakukan tetapi juga acara pernikahan yang dilakukan di depan almarhum. Dalam acara tersebut proses pernikahan dilakukan dengan cara nikah Islami. Peneliti sekilas mengamati bahwa tidak acara ritual injak telur, kembang mayang maupun sungkeman sebagaimana pernikahan pada umumnya. Tetapi yang menarik adalah adanya acara persaksian yang dihaturkan (disampaikan) oleh tetua desa kepada almarhum bahwa anaknya telah memenuhi keinginan almarhum yaitu keinginan almarhum untuk menyaksikan anaknya menikah.[1]
Peneliti kemudian mencoba mencari tahu kenapa dalam masyarakat muslim pernikahan kok dilakukan di depan jenazah dan kenapa perlu adanya acara persaksian. Karena dalam situasi kepaten[2] maka tidak banyak informasi yang peneliti dapatkan. Dari hasil wawancara singkat dengan Dlori (49) ternya hanya dua informasi yang peneliti dengar dari jawaban tersebut yaitu karena wasiat bapak serta “Mbok mesakke anake mengko ga nikah-nikah, mbok mengko kudu nunggu setahun”. Itu yang terlontar dari jawaban beliau-beliau yang artinya kurang lebih “nanti kasihan kalau anaknya tidak nikah-nikah karena harus nunggu setahun”.[3]
Setelah beberapa lama di Purwokerto ternyata acara serupa yaitu pernikahan di depan jenazah tidak hanya dilakukan oleh teman itu saja, tetapi ada dua acara serupa (nikah sanding mayit) yang peneliti ketahui setelahnya dan semuanya dilakukan oleh orang yang beargama Islam. Peneliti kemudian tertarik untuk mencari tahu apakah pernikahan semacam ini memang banyak terjadi di wilayah Banyumas. Kemudian peneliti melakukan wawancara dengan penduduk Asli Banyumas yang merupakan rekan kerja peneliti yaitu Arifatul Hidayah (46) warga desa Pangebatan kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas. Dari hasil wawancara tersebut ternyata memang di daerah Banyumas acara pernikahan di depan jenazah itu sering dilakukan walaupun beliau tidak menjelaskan sebab-sebab kenapa acara seperti itu dilakukan dan berkembang di daerah Banyumas.[4]


[1] Hasil pengamatan pada acara ta’ziyah meninggalnya bapak dari Diah Sari Destiana sekaligus acara pernikahan Diah Sari Destiana dengan Gama Harry Mulyanto.
[2] Kepaten berasal dari kata “pati” yang artinya meninggal yaitu situasi atau suasana berkabung yang menimpa sebuah keluarga akibat ada salah satu keluarga yang meninggal dunia.
[3] Hasil wawancara dengan Dlori (49) yang merupakan saudara dari Diah Sarii Destiana pada acara ta’ziyah meninggalnya bapak dari Diah Sari Destiana sekaligus acara pernikahan Diah Sari Destiana dengan Gama Harry Mulyanto.
[4] Hasil wawancara tanggal 28 Jan 2012dengan Arifatul Hidayah (46), warga desa Pangebatan kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas yang sekaligus teman kerja dalam satu institusi dengan peneliti. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...