Selasa, 16 April 2013

Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah

Oleh: Rahmat

Ibnu Taimiyah (wafat 1328) adalah seorang tokoh Islam yang  peninggalan pemikirannya dianggap paling banyak mengilhami berbagai gerakan pembaharuan di abad modern, melalui karya tulisnya yang berjumlah sekitar lima ratus judul. Prinsipnya yang paling terkenal adalah ”pendapat akal sesuai dengan wahyu” atau muwafaqat sharih al-ma’qul li sharih al-manqul. Dengan kata lain, semua aktifitas manusia yang sesuai dengan kerja-kerja akal itu akan sesuai dengan tatanan wahyu.
Bila akal tak lagi sejalan dengan wahyu, maka ada yang salah pada akal, atau kerja akal dipandang belum maksimal. Demikian pula dengan aktifitas di lapangan politik, para politisi berakal adalah politisi yang tidak menyalahi wahyu. Dan bila menyalahi wahyu, dalam arti melanggar hukum yang terdapat dalam nash-nash yang sahih, maka politisi itu tidak lagi memiliki sandaran keilmuan yang memadai, karena tidak berakal.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa para politisi yang korup adalah yang paling tidak bermoral, dan karenanya tidak ada kewajiban untuk mematuhi mereka. Ia berpandangan untuk menghapus institusi khilafah dan mengusulkan usaha-usaha bagi kemungkinan memenuhi petunjuk syariat.
Ia tidak pernah menganggap khilafah sebagai sebuah institusi yang harus ditegakkan di dalam Islam dan oleh karena itu ia jarang menyebut-nyebutnya di dalam pembahasan-pembahasan. Ia tidak mau menyebut rezim Nabi Muhammad sebagai imamah tetapi ia berkeras menyebutnya dengan nubuwwah dan ia menyatakan bahwa masalah imamah hanya timbul setelah Nabi wafat.
Tentu, pandangan ini sangat kontroversial jika dibandingkan dengan pandangan al-Ghazali, di mana ia memposisikan Khalifah al-Rasyidin sebagai parameter dalam peraktik penyelenggaraan negara dan kekuasaan dalam Islam.
Tetapi, jika dicoba untuk dipahami, hal yang paling mendasar ketika melihat kekhalifahan, dalam pemikiran politik Ibnu Taimiyah, adalah pentingnya keberadaan negara yang tidak terbatas pada bentuk kekhalifahan, imamah atau yang lainnya. Kekhalifahan dan imamah adalah sebagai sebuah bentuk saja yang tidak harus mengikat. Bagi Ibnu Taimiyah yang terpenting adalah fungsi organisme negara di mana ia menganalogkannya dengan jiwa.
Maksudnya, perilaku negara dapat diibaratkan perilaku sebuah organisme manusia. Dengan pandangannya ini, Ibnu Taimiyah melakukan reformasi sekaligus melakukan kritik sosial terhadap sistem kekhalifahan.
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah dalam hal menempatkan hubungan antara agama dan negara, ia menempatkan negara sebagai pelaksana dalam merealisasikan kewajiban agama. Ibnu Taimiyah lebih menekankan kepada upaya mewujudkan kesejahteraan umat manusia dan melaksanakan syari’at Islam.
Menurutnya, kesejahteraan umat manusia tidak dapat diwujudkan secara sempurna, kecuali dengan bermasyarakat. Untuk mengaturnya tidak bisa tidak memerlukan pemimpin. Karena mendirikan negara itu merupakan kewajiban agama, maka rakyat harus mentaatinya. Bila tidak, maka tujuan mulia itu tidak akan tercapai. Menurut Ibnu Taimiyah, menegakkan pemerintahan adalah perintah agama itu sendiri.
Dengan demikian, bagi Ibnu Taimiyah, menegakkan pemerintahan lebih karena ajaran agama dan dimaksudkan untuk mengabdi kepada Allah serta mendekatkan diri kepada-Nya.  Negara dan kekuasaan bukan alat  untuk mencari kedudukan atau materi. Bila tidak demikian, maka menurut Ibnu Taimiyah akan rusak dan hancur semua tatanan pemerintahan.
Letak urgensitas negara berbeda-beda bagi para pemikir politik Islam. Bagi Ibnu Khaldun, kalau tidak ada negara (dawlat) dan kekuasaan (mulk) maka tidak mungkin ada peradaban. Suatu negara tanpa peradaban, sulit dibayangkan bagaimana bentuknya, dan perdaban tanpa negara dan kekuasaan adalah tidak mungkin.
Perbedaan penerapan konsep politik antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, secara sosio-kultural, terjadi karena latar-belakang umat Islam yang berbeda pada masa keduanya. Pada masa al-Ghazali (wafat 1111), bisa diasumsikan, hegemoni umat Islam relatif masih kuat, sekalipun secara politis sudah mulai terpragmentatif akibat sistem kenegaraan dan kekuasaan yang korup dan adanya persaingan dan konflik kepentingan yang tidak sehat.
Sedangkan ketika Ibnu Taimiyah hidup, umat Islam sudah tercabik-cabik. Bahkan kekuasaan politik Islam sudah hancur-lebur, karena diluluhlantakkan oleh kekuatan bangsa Mongol. Dalam kondisi seperti inilah pemikiran politik Ibnu Taimiyah terbentuk.
Ibnu Taimiyah, dalam situasi politik seperti itu, tampaknya seolah membiarkan adanya pejabat yang berlaku zalim. Ungkapan terkenal yang pernah disampaikannya adalah, “enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim itu masih lebih baik ketimbang semalam tanpa kepemimipinan”. Pernyataan seperti ini sebenarnya bermakna bahwa Ibnu Taimiyah menganggap betapa pentingnya keberadaan lembaga pemerintahan.
Bagi Ibnu Taimiyah, seandainya dibedakan antara seorang pemimpin dan syarat-syarat yang harus dimilikinya, maka eksistensi lembaga pemerintahan adalah yang paling utama. Apalagi bila kekosongan lembaga pemerintahan tersebut diambil-alih oleh bangsa dari luar yang mengabaikan prinsip-prinsip syari’at. Karenanya, lebih baik hidup di bawah kepemimpinan seorang yang zalim ketimbang tidak ada kepemimpinan sama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...