Selasa, 30 April 2013

Puasa Membentuk Kejujuran

Oleh: Muhammad Zamroni



Perilaku jujur adalah perilaku yang mulia. Namun di zaman sekarang ini, perilaku ini sangat sulit ditemukan. Kejujuran telah banyak dicampakkan dari tata pergaulan sosial-ekonomi-politik dan disingkirkan dari bingkai kehidupan manusia. Fenomena ketidakjujuran benar-benar telah menjadi realitas sosial yang menggelisahkan. Drama ketidakjujuran saat ini telah berlangsung sedemikian transparan dan telah menjadi semacam rahasia umum yang merasuk ke berbagai wilayah kehidupan manusia.
Era reformasi yang telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun, praktek kolusi, korupsi dan suap-menyuap sebagai bentuk dari ketidakjujuran masih saja menjadi kebiasaan masyarakat. Untuk mengatasi dan mengurangi penyakit ketidakjujuran tersebut, puasa merupakan ibadah yang paling ampuh dan efektif, asalkan pelaksanaan puasa tersebut dilakukan dengan dasar iman yang mantab kepada Allah, dan ihtisab (mawas diri), serta penghayatan yang mendalam tentang hikmat yang terkandung di dalam ibadah puasa.
Secara psikologis, kejujuran mendatangkan ketentraman jiwa. Sebaliknya orang yang tidak jujur akan tega menutup-nutupi kebenaran dan tega melakukan kedzaliman terhadap hak orang lain. Sedangkan ketidakjujuran selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannya mengancam stabilitas nasional. Berlaku jujur, sungguh menjadi bermakna pada masa sekarang, masa yang penuh dengan kebohongan dan kepalsuan. Jujur berarti berkata yang benar yang bersesuaian antara lisan dan apa yang ada dalam hati. Jujur secara bahasa dapat berarti perkataan yang sesuai dengan realita dan hakekat sebenarnya.[1] Kebalikan perilaku jujur adalah dusta.
Dalam beberapa ayat, Allah ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah ta’ala:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَكُونُوا۟ مَعَ ٱلصَّٰدِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. QS. At-Taubah: 119
Dalam hadis dari sahabat Abdullah bin Mas’ud ra juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta. Ibn mas’ud menuturkan bahwa nabi SAW bersabda:
عليكم بالصدق فإنّ الصدق يهدى إلى البرّ وإنّ البرّ يهدى إلى الجنّة وما يزال الرجل يصدق ويتحرّى الصّدق حتّى يكتب عند الله صدّيقا وإيّاآم والكذب فإنّ الكذب يهدى إلى الفجور وإنّ الفجور يهدى إلى النار وما يزال الرجل يكذب ويتحرّى الكذب حتّى يكتب عند الله آذّابا
Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Berhati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan kepada neraka. Jika seseorang suka berdusta dan erupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.[2]


[1] Said bin Muhammad Daib Hawwa, Al Mustakhlas fi Tazkiyah al-Anfus, terj. Aunur Rafiq Shaleh, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu (Jakarta: Robbani Press, 2002), 322.
[2] Hadis Sahih, lihat: Muslim, Sahih Muslim, jilid 4, hal. 2012. Al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, jilid 4, hal. 347. Ibn Hibban, Sahih Ibn Hibban, jilid 1, hal. 496. Teks hadis riwayat Muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...