Kamis, 11 April 2013

Relasi Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia

Oleh: AM Bambang Prawiro

Islam sebagai agama yang universal akan senantiasa sesuai untuk diterapkan kapan saja dan di mana. Selain itu nilai-nilai universalnya juga akan sesuai dengan system hukum di mana saja. Selain sifat hukumnya yang demikian, hukum Islam juga memiliki kaidah-kaidah hukum yang menjadi dasar bagi penerimaan mereka terhadap hukum lainnya.
1.      Pengertian Adat
Adat secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu kata العادة (al-‘adah), bentuk jamaknya adalah عَادَاتٌ, ia berasal dari kata kerja (fi’il) عَادَ- يَعُوْدُ maknanya adalah suatu kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang dan telah diketahui.[1] Jadi untuk mewujudkan adat, sesuatu itu tidak bisa dilakukan dengan sekali atau dua kali saja tapi harus berkesinambungan.
Menurut al-Suyuthi kadar perulangan tersebut bersifat relatif. Tidak ada ukuran jumlah yang bisa dipedomani agar suatu perbuatan bisa disebut adat. Standarisasi dari pengklasifikasian adat ini tergantung kepada bentuk perbuatan yang dilakukan. Jadi hanya dengan tiga kali perulangan tapi sudah memenuhi kriteria adat, maka perbuatan tersebut bisa disebut adat.
Adapun secara istilah para ulama memberikan berbagai rumusan yang berbeda tergantung dari mana mereka memandang.  Menurut Al-Jurjany:
الْعَادةُ مَا اسْتَمَرَّ النَّاسُ عَلَيْهِ عَلىَ حُكْمِ الْمَعْقثوءلِ وَعَادُوْا إلَيْهِ مَرَّةً اُخْرَى.
Al-'Aadah ialah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, kareana dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus.
Definisi yang dikemukakan oleh Musthafa Syalabi (1986: 313) agak mendekati makna bahasa dari adat itu sendiri yang tergambar dari ungkapannya berikut,
إذا فعل إنسان فعلا من الأفعال ويكرر منه حتى سهل عليه فعله وشق عليه تركه سمي ذالك عادة له
Apabila seseorang melakukan sesuatu dan mengulang-ulang perbuatan tersebut, sehingga ia menjadi mudah melakukannya dan sulit meninggalkannya maka inilah yang disebut adat.
Dalam memahami adat, Musthafa Syalabi melihatnya dari sisi berkesinambungan. Menurutnya kata adat itu sendiri diambil dari kata kebiasaan yang mempunyai makna pengulangan. Lain halnya dengan Ahmad Fahmi Abu Sunnah –seperti yang dikutip oleh Nasrun Haroen (1996: 138)—yang memberi pengertian adat lebih luas lagi. Menurutnya adat bukan hanya terjadi oleh adanya pengulangan, namun adat tidak memerlukan pemikiran yang mendalam. Dengan selalu dilakukan maka perbuatan itu akan muncul sendiri tanpa perlu difikir dan dikomandoi terlebih dahulu. Selain itu adat juga mencakup permasalahan  pribadi atau yang menyangkut orang banyak serta bisa disebabkan oleh faktor alami. Untuk lebih jelasnya, berikut akan dikutip rumusan definisi dari Ahmad Fahmi Abu Sunnah,
الأمر المتكرر من غير علاقة عقلية
Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.

Adat adalah sesuatu yang dikerjakan dan diucapkan berulang kali, hingga dianggap baik oleh akal pikiran. Istilah lain adalah ‘urf, yang diartikan sebagai “yang dikenal dan dianggap baik”. Menurut sebagian ulama’, ada perbedaan antara adat (‘adah) dan ‘urf. ‘adah adalah kebiasaan dalam suatu perbuatan atau perkataan tanpa hubungan rasional dan bersifat pribadi, seperti kebiasaan makan, tidur dan lain-lain. Sedangkan ‘urf adalah kebiasaan kebanyakan masyarakat, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Istilah adat dalam bahasa Indonesia lebih dekat dengan pengertian ‘urf dalam bahasa arab, bukan ‘adah. Adat menempati posisi penting dalam Islam karena bisa dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
Menurut Ensiklopedi Indonesia, adat disebut juga ‘urf atau sesuatu yang dikenal, diketahui dan diulang-ulang serta menjadi kebiasaan di dalam masyarakat. Dalam berbagai kamus bahasa Arab (seperti al-Qamus, Lisan al-Arab al-Misbah al-Munir) dijelaskan bahwa makna al-adah dari segi bahasa adalah suatu perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan, karakter atau culture. Dalam Lisan Al-‘Arab dikatakan bahwa adat adalah terbiasa melakukan, dan membiasakannya akhirnya menjadi adat baginya. Dalam sebuah syair yang masyhur dikatakan ta-awwad salihal akhlaqi, fa inni raitul mar`a yaklafu mastaada (Biasakanlah berakhlaq yang terpuji karena aku melihat seorang akan jinak terhadap kebiasaannya).
Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan denganal-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf – yang sering disebut dalam Al-Qur’an – diderivasikan. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). Kepantasan ini merupakan hasil penilaian hati nurani. Mengenai hati nurani, Rasulullah pernah memberikan tuntunan agar manusia bertanya kepada hati nuraninya ketika dihadapkan pada suatu persoalan (mengenai baik dan tidak baik). Beliau juga pernah menyatakan bahwa keburukan atau dosa ialah sesuatu yang membuat hati nurani menjadi gundah (tidak sreg).
Dalam perkembangannya, al-‘urf kemudian secara general digunakan dengan makna tradisi, yang tentu saja meliputi tradisi baik (al-urf al-shahih) dan tradisi buruk (al-‘urf al-fasid). Dalam konteks ini, tentu saja al-ma’ruf bermakna segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi yang baik. Arti “baik” disini adalah sesuai dengan tuntunan wahyu.
Amr bi al-ma’ruf berarti memerintahkan sesama manusia untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai wahyu.
Nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat merupakan manifestasi hati-hati nurani masyarakat tersebut dalam konteks kondisi lingkungan yang melingkupi masyarakat tersebut. Kondisi lingkungan yang berbeda pada masyarakat yang berbeda akan menyebabkan variasi pada nilai-nilai kepantasan yang dianut. Karena itu, tradisi pada suatu masyarakat bisa berbeda dengan tradisi pada masyarakat yang lain.
Sebagai sebuah contoh, apabila Al-Qur’an menyatakan “wa ‘asyiru hunna bi al-ma’ruf (=Dan pergaulilah isteri-isteri kalian secara ma’ruf)” maka yang dimaksud adalah tuntutan kepada para suami untuk memperlakukan isteri-isteri mereka sesuai dengan nilai-nilai kepantasan yang berlaku dalam masyarakat, yang mana nilai-nilai itu bisa jadi berbeda dengan yang ada pada masyarakat lainnya. Namun perlu diingat bahwa nilai-nilai kepantasan itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi).
Secara terminologi pandangan fuqaha dan usuliyun terhadap al-Adah, yaitu sesuatu yang telah familiar, menjadi biasa, dalam masyarakat dan melekat sehingga menjadi tradisi. Definisi ini mencakup kebiasan yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok, apakah perkara (adat) tersebut bersumber dari bersifat natural (alam) seperti perubahan iklim, atau perkara (adat) tersebut dari hawa nafsu seperti memakan harta dengan cara yang batil, melakukan kedhaliman kefasikan, kemaksiatan dan lain-lain.
Imam as-Syathibi dalam al-Muwafaqat membagi adat ke dalam dua bagian yaitu adat yang bersifat syar-i dan adat yang tidak bersifat syar-i. Adat yang bersifat syar’i dapat diukur dengan dalil-dalil syar’i secara langsung, mengingat teks-teks syariah memberikan penjelasan secara langsung baik itu bersifat perintah atau larangan, sedangkan adat yang tidak bersifat syar’i lebih dipengaruhi oleh kebutuhan insting dan biologis manusia seperti makan minum, berhubungan dengan istri dan situasi alam seperti perubahan iklim dan lain-lain, atau dengan kata lain adat yang tidak bersifat syar-i adalah yang tidak mendapatkan legitimasi dalil syar-i secara langsung.
Kalimat Al-Urf dalam bahasa Arab memiliki makna yang banyak namun secara garis besar kalimat tersebut memiliki makna yang bersifat hakiki dan majazi. Makna Urf secara hakiki menunjukkan tentang kejelasan, ketinggian. dan segala sesuatu yang menurut nurani manusia adalah kebaikan dan membawa ketenangan juga disebut Al-Urf.
Ibnu Faris di dalam kamusnya mencatat bahwa Kalimat Urf berasal dari ‘Arafa atau ‘Arfun yang keduanya menunjukkan sesuatu yang berkesinambungan berhubungan satu dengan lainnya atau membawa ketenangan dan ketentraman. Kalimat Al-‘Urf dalam penggunaannya lebih mencerminkan kepada kedua makna tersebut yaitu bersifat kontinyu dan berhubungan satu dengan lainnya.
Sedangkan makna Al-Urf secara terminologi memiliki banyak pengertian antara lain yang dikemukakan oleh An-Nasafi (710 H) yaitu sesuatu yang menetap dalam jiwa yang akal menerimanya dan sesuai dengan tabiat yang masih bersih. Dalam definisi tersebut terkandung beberapa aspek bahwa urf selalu sejalan dengan tabiat yang masih bersih sehingga jiwa merasa tenang yakni:
a. Dalam prosesnya urf membutuhkan waktu sehingga menjadi kebiasaan yang tetap dan jiwa menjadi terbiasa dengan sesuatu tersebut.
b. Dibenarkan oleh akal dan tidak bertentangan dengan ukuran-ukuran kebenaran dalam sebuah komunitas.
Jadi menetap dan diterimanya sesuatu tersebut karena seringnya dilakukan dan meluasnya dalam suatu komunitas. Ketika sesuatu yang menetap pada jiwa tersebut tidak memenuhi syarat-syarat di atas, misalnya terjadi hanya pada orang tertentu atau belum menjadi sesuatu yang familiar dalam prilaku atau akal tidak membenarkan seperti kebiasaan minum-minuman keras prilaku jahat dan seterusnya itu semuanya tidak termasuk urf.
Dalam definisi yang lain ditambahkan syarat kesesuaiannya dengan syariah seperti yang kemukakan oleh Ibnu Athiyah bahwa “Urf adalah segala sesuatu yang familiar pada jiwa manusia dan tidak bertentangan dengan syariah”.
Definisi sejenis juga dikemukakan Ibnu Dhofar (565 H) bahwa Urf adalah sesuatu yang menurut akal dibenarkan dan ditetapkan oleh syariah. Dalam dua definisi tersebut mengangkat syarat kesesuaian dengan syariah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Jika dilihat dari kronologisnya maka definisi ini merupakan definisi yang belum dikenal sebelumnya oleh karena itu muallif kitab Asar Al-Urf memberikan definisi yang lebih luas yaitu bahwa urf adalah sesuatu yang menetap pada jiwa manusia yang dibenarkan oleh akal sehat dan diterima oleh tabiat yang masih bersih dan bersifat turun-menurun yang tidak bertentangan dengan syariah.
Dari hasil perbandingan kedua definisi urf dan adat dapat kita simpulkan hal-hal sebagai berikut: Pertama: Antara adat dan urf keduanya harus bersifat terus menerus dan berulang-ulang dalam masalah yang tidak ada dalil syar-i secara eksplisit. Hal itu sesuai dengan pendapat sebagian ulama seperti An Nasafi (710 H), Ibnu Abidin (125 H) dan para ulama lainnya yang memandang bahwa Urf dan adat merupakan dua istilah yang sama.
Kedua: Pada dasarnya urf menurut pandangan Ibnu Hamam (861 H) lebih umum dibanding dengan Al Adah karena Urf mencakup qauli dan amali sedangkan adat hanya pada tataran amali saja. Dengan demikian setiap adat adalah urf tetapi tidak setiap urf adalah adat, antara keduanya memiliki irisan di mana urf bersifat lebih umum.
Ketiga: Adat bisa bersifat pribadi namun urf harus bersifat kolektif. Meski demikian keduanya (Urf dan al Adah) bersifat tiqrar (berulang-ulang), ilfun (mudah dijalankan), adah (kebiasaan), melekat dengan kehidupan masyarakat. Dan yang patut dicatat bahwa dalam prakteknya antara keduanya hampir tidak terbedakan apalagi keduanya harus melalui proses yang sama.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat atau tradisi bermakna kebiasaan perilaku yang dijumpai secara turun-temurun. Karena bermula dari kebiasaan dan itu merupakan warisan dari pendahulu, maka akan terasa sangat ganjil ketika hal itu tidak boleh dilakukan atau dilakukan tapi tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.
Dalam aspek keseusian dengan syariah ‘urf dan adat terbagi menjadi dua yakni:
1. Urf Shahih (Kebiasaan atau adat yang benar). Urf Shahih yaitu urf yang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syariah meskipun tidak ada dalil secara spesifik. Dengan demikian seluruh urf yang muncul karena maslahat atau tidak bertentangan kaidah-kaidah syariah baik yang bersifat maslahat maupun menolak mafsadat masuk dalam kategori ini dalam aspek ini contohnya sangat banyak antara lain munculnya berbagai aturan dalam hidup, dalam organisasi, pendidikan, dan lain-lain (dikutip dari al Bahusein dalam bukunya al-qaidah muhakkamah).
2. Urf Fasid (kebiasaan atau adat yang rusak atau batal). Yaitu urf yang bertentangan
dengan kaidah-kaidah syariah atau dianggap batal oleh nushus syariah seperti munculnya urf berpakaian yang membuka aurat atau berbagai macam kesenian yang mungkar dan lain-lainnya.


[1] Ibn Mandzur, Lisaan Al-Arab, 1990. hal. 316.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...