Selasa, 28 Mei 2013

Format Partai Politik dalam Sejarah Politik Islam

Penulis : Imam Yahya

Bagi sebagian kalangan, kehadiran partai politik Islam seperti Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Bulan Bintang, atau Partai Keadilan Sejahtera dalam kancah perpolitikan di Indonesia sekarang ini merupakan fragmentasi partai politik Islam tahun 1955-an. Saat itu partai Islam meliputi Masyumi, NU, PSII Partai Syarikat Islam Indonesia, PERTI Perhimpunan Tarbiyah Islamiyah, serta Partai Persatuan Thariqat Indonesia. Tokoh-tokohnya tidak beranjak dari para pimpinan organisasi sosial keagamaan yang menjadi cikal bakal pendiriannya. Tentunya harapan terhadap tokoh-tokoh berlatar belakang agama itu akan bisa memberikan nuansa religius dalam berbagai kegiatan partai politik.
Namun partai politik jelas berbeda dengan organisasi sosial keagamaan seperti NU, `Muhammadiyah maupun lainnya. Organisasi sosial keagamaan menjadikan tokoh-tokohnya untuk berkonsentrasi di bidang keagamaan dan kemasyarakatan. Sedang dunia politik adalah bersifat profan yang meniscayakan adanya kepamrihan, penuh muatan politis, dan tendensius. Banyak politisi berlatar belakang agama, yang pada gilirannya menggiring ke arah logika kekuasaan (the logic of power) yang cenderung kooptatif, hegemonik, dan korup. Akibatnya, kekuatan logika (the power of logic) yang dimiliki tokoh agama, seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian menjadi sirna.
Masyarakat yang mempunyai persepsi bahwa berpolitik itu kotor, lantaran banyaknya prilaku politik dan prilaku politisi yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah politik yang benar. Di sisi lain tokoh agama dianggap sebagai penjaga moralitas umat yang bisa memberika uswah dalam berbagai perilaku kehidupan di masyarakat. Untuk itu tidaklah mungkin seorang tokoh agamawan bisa menjadi seorang tokoh politik pada waktu yang bersamaan.
Sepintas, argumen yang diajukan beberapa kalangan agar tokoh agama tidak berpolitik sangat luhur dan mulia. Sebagian kalangan itu sepertinya menghendaki agar kesucian, keluhuran moral, dan tugas mulia para kiai yang ada di dunia ‘lain’ harus tetap terjaga dari ‘kubangan’ politik yang penuh dengan kenistaan.
Berpolitik dan berdakwah bagi tokoh agama bagaikan dua sisi mata uang. Berdakwah dan berpolitik sama-sama pentingya. Sejarah politik Islam memberikan pelajaran kepada kita, ketika Nabi wafat persoalan yang pertama muncul adalah persoalan politis, yakni soal pengankatan wakil pemipin negara Madinah pasca Nabi. Namun dengan semangat kebersamaan, tokoh-tokoh politik kelompok anshar harus menerima pengangkatan Abu Bakar yang muhajirin untuk memimpin negara Madinah pasca Nabi.
Dengan paradigma tokoh-tokoh anshar di atas, berpolitik atau masuk ke salah satu parpol, diharapkan bisa menyuarakan kebenaran. Inilah mungkin prinsip-prinsip yang dipraktekkan Rasulullah SAW selama memimpin komunitas muslim di Madinah, bisa menjadi semangat berpolitik para tokoh agama.
Tentu benar bahwa ketika tokoh agama berpolitik, maka akan muncul permasalahan, baik berkaitan dengan penggunaan otoritas dan penggunaan legitimasi, maupun pada substansi keterlibatan tokoh agama dalam politik praktis. Tokoh agama harus melakukan perannya sesuai dengan posisi dan kedudukannya di partai politik dimanapun berada.
Peran itu berupa tugas pencerahan bagi umat manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai para pewaris Nabi. Peran itu biasa disebut dengan ‘amar ma’ruf nahi munkar. Sedang rinciannya adalah tugas untuk: (a) mendidik umat di bidang agama dan lainnya, (b) melakukan kontrol terhadap masyarakat, (c) memecahkan problem yang terjadi di masyarakat, (d) menjadi agen perubahan sosial. Kesemua tugas itu, akan berusaha dijalankan oleh para ulama’ sepanjang hidupnya, meski jalur yang ditempuh berbeda.
Tulisan ini bermaksud melakukan penelusuran konsep fiqh siyasah berkaitan dengan eksistensi partai politik dalam sejarah politik Islam. Hal ini penting agar prinsip-prinsip yang pernah dilakukan dalam sejarah bisa dijadikan sebagai reverensi bagi para tokoh agama yang bergelut di bidang politik sekarang dan masa yang akan datang. Partai politik Islam tidak haya berlebelkan Islam tetapi secara substansial partai politik Islam harus bisa mencerminkan nilai-nilai Islam yang humanis dan membumi.
Secara tegas sejarah politik Islam tidak memberikan contoh tentang partai politik. Partai politik baru dikenal pada masa moden ini. Apa yang bisa kita cari adalah benih-benih partai politik yang telah dilakukan pada masa lampau khususnya Islam awal.
Peristiwa tsaqifah bani saidah misalnya yang dikenal sebagai cikal bakal politik Islam, bisa menjadi model munculnya partai politik dalam sejarah politik Islam. Kelompok ansar yang merupakan penduduk asli Madinah secara bersama-sama atau berkelompok merasa bertanggungjawab atas keberlangsungan “negara” Madinah yang telah didirikan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Kelompok ini semula memandang bahwa secara politis negara Madinah harus duteruskan dengan cara mencari pengganti Nabi sebagai khalifah di Madinah. Nabi tidak pernah memberikan petunjuk atas apa yang harus dilakukan apabila kelak nanti sahabat ditinggalkan Nabinya. Mereka bermusyawarah dan berkesepakatan bulat memilih Abu Ubaidah sebagai pemimpin pengganti Nabi Muhammad. Hal ini didasarkan kepada integritas Abu Ubaidah sebagai sahabat senior dan mumpuni dalam persoalan politik kenegaraan.
Sebelum Abu Ubaidah dibaiat kaum Anshar, Abu Bakar dan Umar dating dan menganulir kesepakatan yang dihasilkan. Mensikapi permintaan Umar ini kaum Anshar berselisih ada yang menerima dan ada yang menolak bahkan mengancam akan tetap mempunyai pemimpin dari kaum Anshar meski telah dianulir oleh sahabat Abu Bakar dan Umar.
Namun demi persatuan dan kesatuan umat Islam saat itu, mayoritas kaum anshar menerima permohonan Umar yang pada akhirnya meilih Abu Bakar sebagai khalifah pasca meninggalnya Nabi. Alasan Umar, Abu Bakar adalah sahabat yang paling pantas untuk memimpin umat Islam saat itu. Demi kebersamaan akhirnya kaum Anshar dan Muhajirin membaiat Abu Bakar sebagai khalifah.
Ketika dibaiat oleh kaum muslin di tsaqifah bani saidah, Abu Bakar meminta kepada seluruh kaum muslimin, apabila mendapatinya kesalahan dan kekurangan untuk segera mengingatkan atau mengkritiknya. Hal ini karena Abu Bakar menyadari bahwa dirinya adalah manusia biasa yang diberi amanat kaum muslimin untuk memimpin. Tak ada salahnya kalau kaum muslimin melakukan kritik demi kebaikan bersama.
Namun berbeda dengan Umar karena mengetahui keinginan dan harapan kaum Anshar, Khalid bin Walid dengan segala kelebihan dan kekurangannya diganti dengan Abu Ubaid yang dari Anshar. Ini adalah respon Umar atas aspirasi kaum anshar yang menginginkan ada ada rekrutmen kader dari kaum anshar.
Beberapa peristiwa politik yang terjadi pada zaman klasik bisa kita baca melalui tulisan-tulisan para pujangga politik muslim seperti Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun maupun Al-Mawardi dan Al-Farra. Tokoh-tokoh ini menjadi rujukan awal dalam sejarah politik di samping buku-buku sejarah klasik seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluknya al-Thabari, Ibn Atsir, dan Sirah Nabawi-nya Ibn Hisyam.
Al-Mawardi misalnya dalam buku al-Ahkam al-Sulthaniyah memperkenalkan konsep Makzul, yang menurunkan imam (khalifah) apabila seorang pemimpin itu kedapatan melakukan maksiyat terhadap Allah. Ini mengandung maksud bahwa seorang pemimpin harus mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan umat dan agamanya.
Sementara Ibn Taimiyah yang hidup pasca al-Mawardi mengalami masa yang dilematis. Sebagai seorang intelektual muslim, Ibn Taimiyah menginginkan system ketatanegaraan yang ideal. Kasus pemilihan kepala negara (khalifah) tidak harus didasarkan pada berbagai kualifikasi yang terukur. Untuk itu beliau hanya mensyaratkan dua sifat yakni; sifat amanah dan sifat quwwah. Namun ide Ibn Taimiyah yang fleksibel ini susah diwujudkan karena terbentur dengan beberapa hal, di antaranya suasana pemerintahan yang sedang mengalami kemunduran.

Gagasan Partai Politik
1). Pengertian Partai Politik
Partai politik secara etomologis berasal dari kata partai dan politik. Kata "partai" berasal dari bahasa Inggris "part" yang berarti menunjuk kepada sebagian orang yang seazaz, sehaluan, dan setujuan terutama di bidang politik. Sedangkan politik yang dalam bahasa Inggris politics berarti ilmu yang mengatur ketatanegaraan, atau seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan.
Jadi partai politik adalah perkumpulan orang-orang yang seidiologi atau tempat/wadah penyaringan dan pembulatan, serta tempat berkumpulnya orang-orang yang seide, cita-cita dan kepentingan.
Para ahli politik seperti PJ. Bouman, Carl J. Friedrich, dan Mac Iver juga mengartikan partai politik sebagai: sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.
Secara umum dapat dikatakan, partai politik adalah suatu kelompok yang teorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusionil, serta menumbuhkan partisipasi masyarakat.
Partisipasi politik merupakan salah satu bentuk dari berbagai kegiatan yang dilakukan partai politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan seperti turut serta dalam proses pemilihan pemimpin¬ politik baik secara langsung atau tak langsung, kegiatan memilih dalam pemilihan umum, duduk dalam lembaga politik seperti dewan perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan itu, berkampanye, menghadiri kelompok diskusi dan sebagainya.
Dalam kepustakaan ilmu politik, ditemukan beberapa definisi yang berbeda mengenai partai politik. Namun ilmuwan politik tersebut tidak menyertakan aspek ideologi dalam menyusun definisi partai politik. Ramlan Surbakti menduga, hal itu disebabkan oleh pengaruh pandangan di Barat bahwa ideologi telah mati. Padahal pada kenyataannya setiap negara pasti memiliki ideologi, apakah bersifat doktriner, pragmatis atau jalan tengah dari keduanya, dan hal ini tercermin dalam partai yang ada di negara bersangkutan, terlepas dari keragaman definisi ideologi yang dipakai oleh setiap partai politik.
Karena itulah Ramlan Surbakti merumuskan partai politik sebagai Kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun, sebagai hasil dari pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat.
Dari sinilah kemudian muncul istilah partai Islam, atau partai yang dilandasakan pada symbol-simbol Islam, penganut Islam maupun substansi ajaran Islam. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim tak bisa mengelakkan dengan menjamurnya partai-partai yang menamakan dirinya sebagai partai Islam, baik yang secara tekstuial maupun substansial.
Tentunya pembahasan bagaimana format dan bentuk partai Islam tidak lepas dari pola hubungan Islam dan politik yang sekarang ini berkembang di tengah masyarakat Indoensia. Partai Islam semacam Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangaunan serta Partai Bulan Bintang secara tegas menamakan dirinya partai Islam. Sementara Partai Kebangkitan Bangsa serta Partai Amanat Nasional yang jelas berlatarbelakang dirinya organisasi sosial keagamaaan menamakan dirinya sebagai partai terbuka bagi penganut agama manapun.
Bentuk lain adalah partai seperti Partai Golongan Karya, atau Partai Demokrat yang banyak orang muslimnya bukan partai yang berdasarkan Islam. Namun sebagai pribadi-pribadi para anggota partai Golkar atau Demokrat banyakyang mencoba melakukan agregasi terhadap kepentingan-kepentingan umat Islam.
Untuk itu format dan bentuk partai Islam perlu dirumuskan baik sebagai kontektualisasi ajaran Islam maupun sebagai sumbangan Islam terhadap perkembangan politik di Indonesia.

2). Fungsi Partai Politik
Untuk mengetahui efgektif atau tidakny a sebuah partai politik, maka kita peerlu melihat kinerja maupun dfungsi-fungsi yang sudah dilakukan oleh sebuah partai politik.
Dalam Undang-Undang Partai Politik Nomor 31 tahun 2002, partai politik mempunyai beberapa fungsi di antaranya:
1. Pendidikan politik bagi anggotanya(political education);
2. Sebagai sarana persatuan dankesatuan bangsa
3. Penyalur aspirasi masyarakat
4. Partisipasi politik warga
5. Rekrutmen politik(political selection);
Dalam praktik politik di hampir negara-negara modern saat ini, baik yang bercorak demokratis maupun totaliter, kehadiran partai politik tidak dapat dielakkan. Di negara-negara demokratis, partai politik dipakai sebagai sarana untuk mewujudkan hak rakyat dalam menentukan figur-figur yang akan menjadi pemimpinrrya. Sedangkan di negara-negara totaliter, partai didirikan oleh elite politik dengan pertimbangan bahwa rakyat perlu dibina agar tercipta stabilitas yang berkelanjutan.
Di antara fungsi-fungsi sebuah partai poltik yang utama adalah sebagai berikut:
1. Partai politik adalah media penyaluran aspirasi
Dalam masyarakat modern pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok merupakan suara rakyat yang harus disalurkan sesuai dengan kran demokrasi. Sekecil apapun suara, suara rakyat harus mendapatkan porsi yang layak, karena sesungguhnya kebijakan negara akan kembali untuk kesejahteraan rakyat. Tentunya suara rakyat berbagai ragam macam dan bentuknya. Oleh karena itu partai politik harus mampu untuk menyeleksi dan mengambil yang paling aspiratif. Proses ini dinamakan "penggabungan kepentingan" (interest aggregation).
Setelah dilakukan interest aggregation, suara-suara ini harus menjadi kebijakan negara agar bias direalisasikan dalam kehidupan riil. Proses ini dinamakan "perumusan kepentingan" (interest articulation). Partai politik selanjutnya merumuskannya sebagai usul kebijaksanaan. Dengan demikian rakyat akan mengetahui dan bermnat untuk menggunakan partai politik sebagai wadah untuk menyampaikan unek-uneknya tanpa harus menggunakan kekerasan maupun protes bagai parlemen jalanan.
Di lain fihak partai politik berfungsi juga untuk memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi serta dialog dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, di mana partai politik memainkan peranan sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah, antara pemerintah dan warga masyarakat.

2. Partai sebagai sarana pendidikan politik
Fungsi partai politik adalah sebagai sarana sosialisasi politik. Di dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap phenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Di samping itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.
3. Partai politik sebagai sarana rekruitmen politik
Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik. Caranya ialah melalui kontak pribadi, persuasi dan lain-lain. Juga diusahakan untuk menarik golongan muda untuk dididik menjadi kader yang di masa mendatang akan mengganti pimpinan lama. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik (conflict management)

Partai Politik dalam Kajian Normatif
Dalam wacana politik Islam kita mengenal ada tiga pola hubungan Islam dengan politik yang dikenalkan oleh Abdurrahman Wahid atau Munawir Syadzali. Pertama pola integrative, yakni Islam dipandang sebagai agama yang kaffah sehingga Islam mengatur segala persoalan baik yang berdinensi ke-Tuhanan, maupun berdimensi keduniaan termasuk persoalan politik. Bagi kelompok ini aturan politik dalam Islam haruslah bersifat menyeluruh, sehingga bagi kelompok ini partai Islam harus berlandaskan kepada Alqur’an dan Assunnah.
Kedua, pola sekularistik yakni faham yang menyatakan bahwa Islam itu agama yang mengatur persoalan-persoalan individual yang berhubungan dengan Tuhannya. Persoalan keduniaan tidak diatur secara detail dan bahkan Tuhan memberikan kebebasan kepada umatnya. Oleh karena itu dalam persoalan politik tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk berpartai politik yang berlandaskan kepada ajaran-ajaran Islam. Apalagi wajib berlandasakan kepa Alqur’an dan Assunnah.
Ketiga, pola hubungan yang simbiotik di mana kelompok ini mengakui bahwa Islam adakah agama universal. Islam memberikan prinsip-prinsip kehidupan keduniaan termasuk bidang politik. Bagi kelompok ini partai politik adalah urusan keduniaan, sehingga ajaran Islam hanya mengatur prinsip-prinsip politik secara umum, seperti prinsip al-adalah, al-musawa, dan al-hurriyyah.
Tiga pola ini yang secara paradigmatik menjadi dasar tulisan ini dalam melakukan format ulang terhadap partai politik perspektif Islam.
a. Prinsip-prinsip politik dalam Islam
Sebagai sebuah ajaran yang universal, Islam memberikan pedoman bagi seluruh kehidupan umat manusia, baik kehidupan di dunia ini maupun kelak di akhirat nanti. Ajaran Islam selalu berdimensi dunia dan akhirat, meski terkadang kita umat Islam belum mampu mengungkap dimensinya. Rukun Islam yang lima seperti shalat misalnya, tidak saja berarti ibadah mahdhah kepada Allah, tetapi juga mempunyai dimensi keduniaan seperti kedisiplinan waktu, kebersamaan dalam berjamaah dan sebagainya. Zakat dan haji juga kental dengan dimensi duniawinya.
Begitu juga dengan prinsip-prinsip politik yang terdapat dalam ajaran Islam mempunyai nilai ibadah sekaligus nilai-nilai keduniaan yang humanis dan fleksibel. Beberapa prinsip yang ada antara lain: prinsip persatuan dan kesatuan (QS. Al-Baqarah; 213), kepastian hukum dan keadilan (QS. An-Nisa:58), kepemimpinan (QS, Nisa:59), musyawarah (QS. As-Syura: 38), persaudaraan (QS. Al-hujurat:2), dan tolong menolong (QS. Al-Maidah:2).
Negara Islam Madinah yang berdiri setelah Nabi dan sahabatnya hijrah ke Madinah, merupakan kesempatan pertama kepada Nabi Muhammad untuk membuktikan bahwa Islam bukan saja sebagai agama ritual, sebagaimana agama-agama sebelumnya. Islam adalah agama sekaligus mengajarkan tuntunan bernegara dan bermasyarakat.
Tentu saja format pemerintahan yang digagas oleh Nabi tidak secara mutlak ditetapkan dalam Al-Qur’an karena sesungguhnya Al-Qur’an adalah korpus yang bisa diinterpretasikan oleh umat Nabi hingga akhir masa. Islam hanya mengajarkan nilai-nilai universal yang berkaitan dengan konsep negara Islam.
Sebagai seorang pemimpin pemerintahan, Nabi berpegang kepada ajaran-ajaran Islam dalam Al-Qur’an dan Assunnah. Konsep kepemimpinan yang dikembangkan oleh Nabi adalah konsep yang menekankan pada aspek musyawarah dan menghargai heteroginitas. Hal ini tercermin dalam banyak perilaku politik yang dilakukan oleh Nabi.
Pada saat awal Nabi masih di Madinah adalah mendirikan Masjid dan membuat Perjanjian Madinah atau dikenal dengan : “Piagam Madinah”. Pembuatan masjid di Madinah merupakan upaya Nabi baik secara keagamaan maupun politis menggalang persatuan ummat atau kaum muslimin yang sudah menjadi satu daerah yaitu Madinah. Sebagaimana kita ketahui suku Quraisy yang berasal dari Makkah terdiri dari suku Aus dan Khzraj, dua suku kuat yang hingga masuk Islam masih sering terjadi kontak senjata antar dua suku. Melalui media Masjid, Nabi berupaya untuk mempertemukan sesering mungkim kaum muslimin untuk memikirkan bersama keberlangsungan Islam atau negara Islam Madinah di tengah ancaman kaum musyrik Makkah.
Sementara untuk menggalang persatuan antar penduduk muslim dan non-muslim yakni kaumYahudi di kota Madinah, Nabi membuat piagam Madinah yang menjadi symbol kebersamaan antar ummat dengan kaum Yahudi. Di sinin jelas bahwa Nabi Muhamad menjunjung pluralitas suku agama dan bangsa. Perjanjian Madinah inilah yang hingga kimni masih banyak dicontoh sebagai landasan menjalin ukhuwwah wathaniyah sesama warga negara. Inilah yang oleh Phillip K Hitti disebut sebagai miniatur negara bangsa Madinah.
Sebagai seorang pemimpin pemerintahan, Nabi memimpin jalannya pemerintahan negara Madinah. Namun sebagai orang yang menjunjung musyawarah dan kebersamaan, Nabi Muhammad membuat strata pemerintahan. Beberapa prinsip pemerintahan yang dikembangkan oleh Nabi berdasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an seperti:
1. Prinsip equality (Al-Musawa)
2. Prinsip Independen (Al-Hurriyyah)
3. Prinsip Pluralisme (Taaddudiyah)
Prinsip-prinsip ini yang kemudian dikembangkan menjadi prinsip berbangsa dan bernegara hingga sekarang ini kita kenal. Universalisme prinsip ini tidak saja bias dikembangkan di negara-negara Islam tetapi juga di negara-negara non-muslim.
b. Latar belakang sosial-historis
Secara tegas sejarah politik Islam tidak memberikan contoh tentang partai politik. Partai politik baru dikenal pada masa moden ini. Apa yang bisa kita cari adalah benih-benih partai politik yang telah dilakukan pada masa lampau khususnya Islam awal.
Peristiwa tsaqifah bani saidah misalnya yang dikenal sebagai cikal bakal politik Islam, bisa menjadi model munculnya partai politik dalam sejarah politik Islam. Kelompok ansar yang merupakan penduduk asli Madinah secara bersama-sama atau berkelompok merasa bertanggungjawab atas keberlangsungan “negara” Madinah yang telah didirikan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya.
Kelompok ini semula memandang bahwa secara politis negara Madinah harus duteruskan dengan cara mencari pengganti Nabi sebagai khalifah di Madinah. Nabi tidak pernah memberikan petunjuk atas apa yang harus dilakukan apabila kelak nanti sahabat ditinggalkan Nabinya. Mereka bermusyawarah dan berkesepakatan bulat memilih Abu Ubaidah sebagai pemimpin pengganti Nabi Muhammad. Hal ini didasarkan kepada integritas Abu Ubaidah sebagai sahabat senior dan mumpuni dalam persoalan politik kenegaraan.
Sebelum Abu Ubaidah dibaiat kaum Anshar, Abu Bakar dan Umar dating dan menganulir kesepakatan yang dihasilkan. Mensikapi permintaan Umar ini kaum Anshar berselisih ada yang menerima dan ada yang menolak bahkan mengancam akan tetap mempunyai pemimpin dari kaum Anshar meski telah dianulir oleh sahabat Abu Bakar dan Umar.
Namun demi persatuan dan kesatuan umat Islam saat itu, mayoritas kaum anshar menerima permohonan Umar yang pada akhirnya meilih Abu Bakar sebagai khalifah pasca meninggalnya Nabi. Alasan Umar, Abu Bakar adalah sahabat yang paling pantas untuk memimpin umat Islam saat itu. Demi kebersamaan akhirnya kaum Anshar dan Muhajirin membaiat Abu Bakar sebagai khalifah.
Ketika dibaiat oleh kaum muslin di tsaqifah bani saidah, Abu Bakar meminta kepada seluruh kaum muslimin, apabila mendapatinya kesalahan dan kekurangan untuk segera mengingatkan atau mengkritiknya. Hal ini karena Abu Bakar menyadari bahwa dirinya adalah manusia biasa yang diberi amanat kaum muslimin untuk memimpin. Tak ada salahnya kalau kaum muslimin melakukan kritik demi kebaikan bersama.
Masih dalam pandangan siyasah, Abu Ubaidah yang menjadi pemimpin Anshar tidak mendapat tempat di pemerintahan Abu Bakar. Abu Bakar lebih banyak mengutamakan sahabat-sahabat yang lebih dulu masuk Islam sebagai pejabat negara. Khalid bin Walid al-Makhzumi misalnya, diangkat sebagai panglima tertinggi angkatan perang. Umar Utsman dan Ali dijadikan sebagai staf ahlinya.
Namun berbeda dengan Umar karena mengetahui keinginan dan harapan kaum Anshar, Khalid bin Walid dengan segala kelebihan dan kekurangannya diganti dengan Abu Ubaid yang dari Anshar. Ini adalah respon Umar atas aspirasi kaum anshar yang menginginkan ada ada rekrutmen kader dari kaum anshar.
Sebagai khalifah yang dikenal aspiratif, Umar juga pernah menyatakan di saat baiat agar masyarakat jangan takut untuk mengkritiknya. Karena sesungguhnya khalifah adalah khadimul ummah, yang melayani umat Islam, sehingga tugas utamanya adalah memberikan solusi terhadap apa yang dirasakan umatnya. Sebagai manusia biasa beliau meinta kaum muslimin mengingatkan segala tindakannya agar tetap sesuai dengan ajaran Rasulallah SAW.
Beberapa peristiwa politik yang terjadi pada zaman klasik bisa kita baca melalui tulisan-tulisan para pujangga politik muslim seperti Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun maupun Al-Mawardi dan Al-Farra. Tokoh-tokoh ini menjadi rujukan awal dalam sejarah politik di samping buku-buku sejarah klasik seperti Tarikh al-Umam wa al-Muluknya al-Thabari, Ibn Atsir, dan Sirah Nabawi-nya Ibn Hisyam.
Al-Mawardi misalnya dalam buku al-Ahkam al-Sulthaniyah memperkenalkan konsep Makzul, yang menurunkan imam (khalifah) apabila seorang pemimpin itu kedapatan melakukan maksiyat terhadap Allah. Ini mengandung maksud bahwa seorang pemimpin harus mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan umat dan agamanya. Meski pemimpin telah dibaiat dan disepakati oleh kaum muslimin tetapi masyarakat harus melakukan kontrol bahkan boleh melakukan mosi tidak percaya atas perbuatan pemimpin yang dhalim.
Ajaran politik Islam bukanlah sebagai konsep langit, tetapi konsep bumi. Ini diharapkan bisa menjadi model bagi masyarakat bangsa menjadi politisi yang baik dan benar. Politik bukan selamanya kalah dan menang sebagaimana yang distigmakan sekarang ini. Tetapi sisi positif dari berpolitik itu lebih besar dari pada ungkapan streotip tadi. Meski baru mencari landasan normatif dan historis tetapi upaya ini perlu dilanjutkan dimasa yang akan datang.

Pemikiran Partai Politik dalam Sejarah Politik Islam
Salah satu ciri pemikiran politik sunni adalah menekankan pada faham khilafah centries, yakni kepala negara atau khilafah menempati posisi yang sangat kuat dalam politik kenegaraan. Sebaliknya, rakyat hanya dijadikan penonton yang harus mentaati segala perintah kepala negaranya. Ketaatan dan kepatuhan yang berlebihan ini di dasarkan pada teks-teks Al Qur’an seperti QS. Al-Nisa:59 dan QS Al-An’am: 165.
Pencirian tersebut tentunya didasarkan pada latar belakang dan kecenderungan tokoh-tokoh sunni dalam persoalan politik kenegaraan, semisal Al-Mawardi dan Ibn Taimiyah. Mereka berdua adalah tokoh ilmu politik Islam yang hidup di lingkungan negara Islam yang sedang mengalami kemunduran, terutama setelah berkobarnya perang suci atau perang salib antara tentara Islam dengan tentara.
Pembahasan tentang pokok-pokok pemikiran Ibn Taimiyah dan Al-Mawardi itu dirasa penting karena keduanya memiliki banyak kesamaan. Namun sebagai sebuah karya yang tidak dalam satu waktu dan tempat, keduanya memiliki beberapa perbedaan sesuai dengan latar belakang masing-masing.

1) Perdebatan tentang konsep Imamah
Sebelum masuk pada pembahasan tentang pokok-pokok pikiran tentang partai politik, perlu ditelusuri terlebih dulu pandangan al-Mawardi dan Ibn Taimiyah tentang institusi imamah. Pembahasan ini sangat penting karena beraitan dengan persoalan fundamental yang menyangkut hak-hak politik warga.
Bagi al-Mawardi, institusi imamah diwujudkan dalam rangka melindungi kepentingan agama dan mengatur kehidupan dunia. Hal ini didasarkan pada ijma ulama yang menganggap bahwa perwujudan itu bersifat fardu kifayah. Di samping itu juga didasarkan pada realitas empirik selama masa Nabi, al-khulafa al-rasyidin, dan imperium bani Abbasyiyah dan Umayyah yang merupakan lambang kesatuan politik Islam.
Pandangan ini memberikan implikasi bahwa sejarah politik pada masa Nabi, khalifah, dan pasca khalifah menjadi ”sunnah” yang wajib diikuti oleh kaum-kaum sesudahnya. Fakta ini menjadi terjemahan atas teks-teks agama yang secara umum mewajiban kepatuhan rakyat atas penguasa.
Menghukumi fardu kifayah dalam persoalan institusi imamah merupaan contoh tentang pendekatan fiqh dalam politik di kalangan ulama sunni. Meski seharusnya fiqh bersifat mengikat bagi kaum muslimin, namun kefarduan imamah ini lebih didasarkan pada alasan sosiologis, bukan alasan teologis. Sekelompok manusia yang berkumpul lebih dari dua maka seharusnya salah satu menjadi pemimpin. Karena tanpa ada pemimpin kelompok atau komunitas itu akan hilang dengan sendirinya.
Dalam perspektif ilmu politik kepemimpinan dibutuhkan manakala terjadi perkumpulan antara beberapa orang yang mempunyai tujuan bersama. Sekelompok manusia yang berkelompok menjadi sebuah komunitas politik. Dan komunitas politik itu dapat membentuk Negara manakala memenuhi unsur-unsur terbentuknya suatu Negara; yakni pertama, adanya wilayah yang meliputi wilayah darat, laut, dan udara. Kedua, adanya rakyat, yakni semua orang yang ada di wilayah Negara itu dan yang tunduk pada kekuasaan dari Negara tersebut, baik menggunakan asas ius sanguinis (keturunan) maupun asas ius soli (tempat tinggal/tempat kelahiran). Ketiga terwujudnya pemerintahan yang berkuasa atas seluruh rakyat dan daerahnya, dan keempat terpenuhinya pengakuan dari Negara lain atas eksistensi Negaranya sendiri.
Sekadar menjelaskan, bahwa al-Mawardi mendasarkan teori politiknya atas kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran perbaikan atau reformasi, misalnya dengan mempertahankan status quo. Dia menekankan, bahwa khalifah harus tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy. Wazir Tafwidh atau pembantu utama Khalifah dalam penyusunan kebijakan harus berbangsa Arab, dan bahwa perlu ditegaskan persyaratan bagi pengisian jabatan kepala negara serta jabatan pembantu-pembantunya yang penting.
Bagi al-Mawardi, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya yang keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga. Dengan demikian, al-Mawardi memberikan juga baju agama kepada jabatan kepala negara di samping baju politik. Kemudian dipertegas lagi bahwa Allah mengangkat seorang pemimpin untuk umatnya sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan agama, dengan disertai mandat politik. Di sinilah muncul pemahaman bahwa seorang imam di satu pihak adalah pemimpin agama, dan di lain pihak adalah pemimpin politik.
Sebelumnya, al-Mawardi menjelaskan bahwa diperlukan dua hal dalam proses pemilihan atau seleksi. Pertama, ahl al-ikhtiar atau mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat. Mereka harus memenuhi tiga syarat: 1). memiliki sikap adil; 2). memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk diangkat sebagai imam; dan 3). memiliki wawasan yang luas dan kearifan yang memungkinkan mereka memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam, dan paling mampu mengelola kepentingan umat di antara mereka yang memenuhi syarat untuk jabatan-jabatan itu.
Kedua, ahl al-imamah, atau mereka yang berhak mengisi jabatan imam. Mereka harus memiliki tujuh syarat: 1). sikap adil dengan segala persyaratannya; 2). ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad; 3). sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya; 4). Utuh anggota-anggota tubuhnya; 5). Wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum; 6). keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan mengenyahkan musuh; dan 7). Keturunan Quraisy.
Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, al-Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahl al-halli wa al-‘aqdi). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model “ahl al-Ikhtiar”. Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya (wasiat imam sebelumnya). Dalam hal ini, model pertama dinilai memang selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, al-Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan Khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar Ash Shiddiq. Sebelumnya juga ada rujukan sejarah, lewat pemilihan “dewan formatur” yang memilih khalifah Utsman juga dipilih oleh khalifah sebelumnya, Umar bin Khattab.
Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, al-Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondisi dirinya, dan karenanya Ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh.
Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan). Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.
Berbeda dengan Ibn Taimiyah yang berpendapat bahwa mengatur urusan umat memang merupakan bagian dari kewajiban agama, namun hal ini bukan berarti bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara. Untuk itu Ibn Taimiyah mendapat bahwa ijma bukan sebagai dalil kewajiban tersebut. Sebaliknya Ibn Taimiyah menolak ijma dan menawarkan pendekatan sosiologis dalam mengatur urusan umat.
Bagi Ibn Taimiyah penegakan imamah itu tidak berdasarkan pada ijma tetapi pada kebutuhan praktis sosiologis. Implikasinya Ibn Taimiyah menolak kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasyiyah sebagai pijakan dalam persoalan-persoalan keagamaan.
Meski demikian menurut Ibn Taimiyyah, imamah atau kepemimpinan dalam sebuah komunitas masyarakat merupakan kewajiban yang amat penting. Menurutnya sebuah komunitas masyarakat tanpa pemimpin akan berujung pada kondisi chaos, karena pada dasarnya manusia memiliki sifat homo homini lupus, siapa yang kuat dia-lah yang akan berkuasa. Oleh karena itu kondisi tanpa pemimpin lebih jelek daripada sebuah komunitas yang dipimpin oleh orang yang dhalim dan bodoh.

2). Ahl Halli Wal Aqdi: Ide Partai Politik Versi Al-Mawardi
Apa yang digagas oleh dua tokoh Ibn Taimiyah dan al-Mawardi tentang Ahl Halli Wal Aqdi –atau ahl al-syaukah dalam bahasa Ibn Taimiyah--, memberikan pandangan bahwa cita-cita partai politik sudah dikonsepkan oleh dua tokoh tersebut.
Menurut al-Mawardi dlam pemilihan kepala negara harus ada dua institusi; ahl al-ikhtiyar (sekelompok orang yang berhak memilih) dan ahl imamah (sekelompok orang yang berhak menjadi imam). Selanjutnya al-Mawardi mensyaratkan ahl al-ikhtiyar harus adil, punya wawasan yang luas dan bijaksana, agar mampu memilih imam yang bagus. Bagitu juga ahl al-imamah harus memenuhi tujuh syarat di antaranya harus suku quraisy.
Ahl al-ikhtiyar atau selanjutnya disebut ahl al-hilli al-aqdi berhak memilih imam atau kepala negara. Bahkan menurut al-Mawardi mengangkat imam bisa juga diwasiatkan oleh kepala negara sebelumnya kepada calon imam yang aan datang. Menurutnya kebolehan ini berbdasarkan apa yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar ketika meninggalkan kekhalifahannya. Sebelum Abu Bakar meninggal beliau menunjuk Umar dan kemudian Umar dibaiat oleh kaum muslimin.
Baiat mutlak diperlukan sebagai tanda kesepakatan politik antara pemilih dan yang dipilihnya. Secara garis besar kepala negara terpilih mempunyai beberapa tugas dan kewajiban; memelihara agama, melaksanakan hukum yang adil, memelihara keamanan negara, menegakkan hudud, membentengi negara ari mususg, memungut fai dan zakat, membagian kepada mustahiq, menyampaikan amanah, memperhatikan rakyatnya secara politis. Dengan tugas dan kewajiban tersebut, maka ada hak bagi kepala negara untuk menuntut kesetiaan rakyat kepada pemimpinnya.
Al-Mawardi juga menegaskan apabila kepala negara di tengah jalan melanggar apa yang diwajibkan kepadnya seperti tidak adanya amanah maka hak masyaraat adalah memakzulkan imam, yakni menurunkan imam demi hukum.
Yang menjadi persoalan adalah ketidak tegasan al-Mawardi tentang prosedur pemilihan Ahl Halli Wal Aqdi. Prakteknya Ahl Halli Wal Aqdi diangkat oleh kepala negara, sehingga Ahl Halli Wal Aqdi tidak efektif sebagai alat kontrol bagi kepala negara. Karena mereka diangkat oleh orang yang dikontrolnya. Apalagi al-Mawardi juga berpendapat bahwq kepala negara bisa diangkat berdasarkan wasiat kepala negara sebelumnya.
Dalam bukunya Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, menyebutkan bahwa pemilihan kandidat diawali dengan meneliti persyaratan kandidat. Kandidat yang memiliki kualitas yang paling tinggilah yang akan dipilih sebagai kepala negara. Namun kesediaan kandidat juga menjadi pertimbangan tersebut. Karena hal ini merupakan kesepakatan kedua belah fihak; pemilih (ahl al-ikhtiyar) dan yang dipilih (ah al- imamah).
Menurut al-Mawardi, ahl imamah mempunyai beberapa tugas dan kewajiban, di antaranya: memelihara agama, melaksnakan hukum di antara rakyatnya dan menyelesaikan perkara yang terjadi agar tidak ada yang teraniaya dan menganiaya, memelihara keamanan dalam negeri, menegakkan hudud, membentuk tentara yang kuat untuk membentengi negara dari musuh, melakukan jihad terhadap orang yang menolak dakwah, memungut harta fai’ dan zakat dari para muzakki, membagikan zakat kepada para mustahiq, menyampaikan amanah, dan meningkatkan segala sesuatu yang dapat meningkatkan politik pemerintahannya.
Begitu juga dengan ahl al-ikhtiyar. Mereka wajib taat terhadap pemimpin negara selagi kepala negara tersebut masih dalam menjalankan tugas kenegaraan. Sebaliknya manakala kepala negara bisa dilengserkan manakala kepala negara menyimpang dari konteks keadilan, kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya atau tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai kepala negara.
Namun al-Mawardi tampak ragu dengan pernyataannya bahwa penyimpangan kepala negara secara otomatis bisa dijadikan dalalah untuk melengserkan kepala negara. Apabila dia bisa memberikan alasan yang rasional, maka perlu dipertimbangkan. Jadi, yang jelas bisa melengserkan adalah alasan-alasan fisikly, seperti hilangnya kesehatan atau berkurangnya fungsi organ tubuhnya. Di samping itu ketidakjelasan al-Mawardi karena beliau tidak menjelaskan bagaimana tehnis untuk pemilihan kepala negara.
Mungkin saja ketidakjelasan ini sebagai keberpihakan al-Mawardi terhadap kekhalifahan Abbasyiah yang disinyalir banyak melakukan pelanggaran dalam kekuasaan. Idealnya seorang khalifah bisa menentukan arah perjalanan pemerintahan secara independent, tanpa ada gangguan dari orang-orang dekatnya. Namun fakta pada masa Abbasyiah, khalifah tidak banyak melakukan apa-apa.
Mestinya andaikata al-Mawardi menjelaskan secara rinci ide-ide besarnya tentang good governance pada saat itu, banyak di antara khalifah dari bani Abbasyiah yang harus lengser demi hukum. Hal ini sangat mungkin karena al-Mawardi sendiri sebagai Qadhi al-Qudhat.
Oleh karena itu untuk mempertahankan prinsip di atas, al-Mawardi merumuskan konsep wazir tafwid dan wazir tanfidz dalam pemerintahan. Wazir yang pertama adalah kementrian yang memiliki kekuasaan yang agak luas. Wazir ini bisa menentukan kebiajkan politik sendiri. Karenanya al-Mawardi mensyaratkan jabatan diisi oleh orang-orang Arab yang setia kepada kepala negara. Sedangkan wazir bentuk kedua tidak memiliki kewenangannya tersendiri.

3) Ahl al-Syaukah, Partai Politik versi Ibn Taimiyah
Sementara itu, Ibn Taimiyah menolak pendapat al-Mawardi yang memberikan wewenang penuh kepada ahl ahl-hilli wa al-aqdi. Bagi Ibn Taimiyah posisi ini akan mengarah pada pengultusan ahl al-hilli, dan akan fatal akibatnya. Beliau menawarkan konsep ahl al-syaukah, yakni mereka yang mempunyai kekuatan. Mereka adalah orang-orang terpandang dari berbagai profesi dan latar belakang yang mempunyai pengaruh dan terpandang di masyarakatnya. Bahkan menurut Ibn taimiyah ebagaimana dikutip oleh Qamarudin khan, istilah ahl hilli tidak dikenal dalam awal sejarah Islam. Istilah ini mulai ditawarkan sejak Abbasyiyah berkuasa.
Pendapat ini berbeda dengan al-Mawardi yang meniscayakan pemilihan kepala negara ada di tangan Ahl Halli Wal Aqdi. Ibn Taimiyah tidak menerima teori khilafah sunni. Ibn Taimiyah menolak pengangkatan kepala negara oleh Ahl Halli Wal Aqdi karena bagi Ibn taimiyah keadaan Ahl Halli Wal Aqdi hanya sebagai stempel atas apa yang didiinginkan oleh kepala negara.
Menurut Qamarudin, Ahl Halli Wal Aqdi tidak dikenal dalam sejarah klasik pra Abbasyiah. Untuk itu perlu dilakukan penelitian ulang atas praktek Ahl Halli Wal Aqdi pada zaman Abbasyiyah. Sangat mungkin apabila Ahl Halli Wal Aqdi mengarah pada terbentuknya sistem kependetaan dalam Kristen, atau imamah di kalangan muslim Syi’ah.
Sebagai alternatif, Ibn Taimiyah menawarkan konsep al-Syaukah, yakni orang-orang dari berbagai profesi dan kedudukan yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Ahl al-Syaukah inilah yang memilih dan mengangkat kepala negara, kemudian diikuti sumpah setia oleh masyarakat untuk mentaati segala perintahnya. Seorang tidak bisa menjadi kepala negara tanpa dukungan dari ahl al-syaukah.
Pendapat Ibn Taimiyah ini didasarkan pada perilaku politik klasik pada masa al-khulafa al-rasyidun, sewaktu pengangkatan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Abu Bakar menjadi khalifah pertama kali pasca nabi bukan karena bay’at Umar, tetapi karena baiat sejumlah tokoh-tokoh sahabat senior yang selanjutnya diiringi sumpah setia oleh seluruh kaum muslim pada saat itu. Begiu juga Umar, diangkat sebagai al-khulafa bukan karena wasiat yang diberikan Abu Bakar, tetapi karena disepakati oleh para tokoh sahabat senior. Untuk itu mereka berdua tidak bisa menjadi khalifah tanpa ada baiat dari kaum muslimin.
Ibn Taimiyah menolak keabsahan kepala negara yang dipilih oleh dua atau empat oarang saja, sebgaimana dikemiukakan al-Mawardi. Karena cara-cara semacam bisa menjurus pada pembenaran terhadap pergantian kepala negara yang kekuasaannya dicapai dengan cara paksa.
Bila dikaitkan dengan latar belakang sosial Ibn Taimiyah, pandangannya merupakan refleksi atas kekecewaannya terhadap Abbasyiah. Sejak abad ke IX, sebenarnya bani Abbas sudah mulai mundur yakni pada masa khalifah al-Watsiq (842-874 M) sampai al-Mu’tashim. Mereka lebih banyak berlaku sebagai khalifah boneka, karena secara de facto mereka hanya diperintah oleh pejabat-pejabat di bawahnya.
Namun demikian Ibn taimiyah juga mengakui bahwa sedikit sekali pemimpin yang memiliki kualifikasi dunia sifat yakni wibawa dan adil.
Dari sini lahirnya kontrak antara kepala negara dan rakyat dan terjadilah hak dan kewajiban timbal balik antara keduanya. Kepala negara mempunyai hak untuk ditata dan berkewajiban untuk mencukupi segala kebutuhan warganya. Sebaliknya rakyat juga mempunyai kewajiban untuk taat kepada kepala negara.

Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut: Pertama, dalam tradisi fiqh siyasah partai politik diinspirasikan oleh institusi ahl al-halli wal aqdi sebagaimana disebutkan al-Mawardi, atau ahl al-syaukah dalam bahasa Ibn Taimiyah. Institusi ini bertugas untuk mencari, memilih dan menetapkan kepala negara.
Kedua, partai politik dalam perspektif Fiqh Siyasah mendasarkan pada keseimbangan urusan duniawi dan ukhrawi (siyasat al-dunya dan haratsat al-din). Hal ini penting agar partai politik tidak hanya mendasarkan pada idiologi who get what, atau idiologi menang kalah.
Ketiga, dalam pemilihan anggota partai politik, diharuskan diambilkan dari orang-orang yang berpengaruh di masyarakatnya. Apalagi menurut Al-Mawardi para tokoh politik harus memenuhi beberapa kriteria di antaranya adil, bijaksana punya integritas kepribadian, sehat jasmani dan rohani. Hal ini untuk menghindarkan partai politik hanya diisi oleh para pencar keuntungan pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...