Minggu, 26 Mei 2013

Marunda Pulo


Daerah di ujung timur pantai utara Jakarta, merupakan bagian wilayah Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, di sebelah selatan dengan Kelurahan Sukapura, Kelurahan Cilincing di sebelah selatan, dan Desa Segera makmur di sebelah timur.

Marunda Pulo sebagai sebuah perkampungan nelayan berada di wilayah pesisir yang sangat terbuka. Daerah ini memiliki rumah bersejarah peninggalan "Si Pitung", didominasi oleh rawa-rawa dan empang tempat pembiakan ikan bandeng. Perkampungan yang ada terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu. Untuk mencapai perkampungan ini harus menyusuri sungai ke arah muara dengan menggunakan perahu. Di halaman rumah panggungnya yang khas Betawi sering terlihat alat-alat untuk menangkap ikan juga kegiatan penjemuran ikan hasil tangkapan.

Beberapa versi asal nama Marunda dapat dikelompokkan dalam tiga tipologi. Tipe pertama mengacu pada peristiwa sejarah dan dikombinasikan dengan perubahan kata akibat pengucapan yang menyimpang. Berawal dari peristiwa penyerangan Banten ke Sunda Kelapa. Versi ini bisa juga dihubungkan dengan tulisan F. de Haan yang menyebut daerah Marunda sebagai tempat konsentrasi gerilyawan Islam dari Banten di abad XX. Tipe kedua berupa cerita rakyat. Disebutkan bahwa "marunda" berasal dari sebuah pesan gaib yang terlontar oleh dukun setempat yang kesurupan. Pesan itu menyatakan bahwa orang yang mengangkut barang ketika melintasi suatu tempat harus "menunda" perjalanan. Tempat itu sekarang disebut Marunda. Kata Marunda juga berasal dari kebiasaan penduduk untuk bersopan santun, bersikap "merendah". Kata "merendah" lama-kelamaan berubah menjadi Marunda. Versi lain menyebutkan bahwa kata marunda berasal dari kata "meronda". Tipe ketiga lebih merupakan pendapat pribadi. Berawal dari kebiasaan menyingkat kalimat, dari "ke rumah Pak Marunda" diganti menjadi "ke Marunda".

Pemukiman di Marunda Pulo bermula dari dua saudara, H. Safiudin dan H. Sajidin. Sampai sekarang penduduk Marunda Pulo tidak memiliki tanah secara pribadi tetapi berstatus menumpang atas izin H. Idup sebagai pewaris terakhir.

Melihat bentuk Marunda Pulo yang berbentuk segitiga bisa dikatakan pulau ini terbentuk dalam laguna. Marunda Pulo terbentuk dari endapan Sungai Marunda di muaranya. Pengendapan itu dipercepat oleh melambatnya aliran sungai dan dangkalnya laut pantai. Tanah endapan yang telah mengeras itu dapat ditanami kaktus, akasia, kembang sepatu, dan bougenville. Tanah di seberang timur Marunda Pulo masih berupa lumpur yang ditumbuhi pohon bakau, sedang tanah di sebelah barat berupa pasir lepas yang terus terkikis. Cabang barat Sungai Marunda relatif lurus dan arusnya lebih deras ketimbang cabang timur. Tanahnya yang berseberangan dengan Pulau Jawa terdiri dari pasir pantai yang belum memadat dan terus mengalami abrasi. Dulu di bagian utara jauh menjorok ke laut banyak pohon api-api yang berfungsi sebagai pelindung dari abrasi. Tetapi makin berkurang akibat penggalian beting pasir pantai yang membuat terpaan ombak lebih leluasa.

Penduduk Marunda Pulo diidentifikasi sebagai orang Betawi walau beberapa orang tua sering menyebut diri sebagai orang Melayu (karena menggunakan bahasa Melayu kasar/Melayu Ora) dan golongan muda lebih suka sebutan sebagai orang Jakarta. Umumnya bahasa yang dipergunakan sama dengan orang Betawi dengan pengucapan yang kasar khas orang pantai. Sistem kekerabatan menggunakan prinsip bilineal yang batasnya dikenal dengan istilah permili. Kesenian yang hidup di Marunda Pulo antara lain rebana, ketrimping, lenong, dan tanjidor. Sistem pengetahuan, khususnya yang berkenaan dengan penanggalan, musim, waktu produksi, dan saat pasang surut banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Cina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...