Selasa, 28 Mei 2013

Pemikiran Politik Islam, Dari Klasik Ke Modern


Pertumbuhan  pemikiran politik Islam, dalam  periode awal   banyak  dipengaruhi  oleh  pergulatan   kepentingan keagamaan.  Semenjak  Abu  Bakar  naik  sebagai   khalifah pertama Islam, diskursus politik sangat marak. Baik  dalam perbincangan  aktor,  apakah  Abu  Bakar  sebagai  seorang  kepala  pemerintahan saja atau sebagai sekaligus  pemimpin agama.  Di  mana ditandai dengan  perseteruan  yang  keras antara  kalangan  Muhajirin  yang  beretnis  Quraisy  yang merasa  sebagai  pembela  Islam  pertama  dengan  kalangan Anshor,  yang  merasa memiliki tanah  air  Islam  pertama.            

Bahkan  perbincangan  dengan  keputusan  Abu  Bakar untuk memerangi  orang  yang tidak membayar  pajak,  juga telah menimbulkan  sejarah baru tentang  perkembangan pemikiran politik.  Sebab  selama Rasul hidup, beliau  tidak pernah menjatuhkan  hukum  perang  kepada orang  yang tidak  mau membayar  zakat.  Sehingga  terdapat  ahli  sejarah,  yang mengkritisi fenomena dengan politis, bahwasannya Abu Bakar memeranginya  lebih  karena kepentingan  politik,  berupa loyalitas  kepada pemimpin, dari pada persoalan agama  an-sich.

Pergulatan   pemikiran  politik  Islam  juga   cukup menonjal  dalam  mensikapi pemerintahan Umar  bin  Khattab yang  sangat  tegas tetapi demokratis.  Banyak  kebijakan-kebijakan  politik Umar bin Khattab yang  berbeda  dengan  kebijakan  Nabi, semisal dalam persoalan  pembagian  harta rampasan perang. Apakah ini ijtihadi politik Umar sendiri, atau bukan ? Umar bin Khattab juga seorang pemimpin  yang ingin meletakkan politik dalam panggung keadilan, hal  ini tercemin dalam  sikap  Umar  ketika   dilantik   menjadi Khalifah.  Ia mengangkat  pedang  tinggi,  untuk  membela Islam,  jika  ia tidak  selaras  dengan  Islam,  maka  ia menyuruh masyarakat mengingatkannya dengan pedang pula.

Demikian  juga  dalam  masa  pemerintahan   Khalifah Utsman,   pemikiran  politik  tentang kualisi,   aliansi tampaknya  sangat menonjol. Posisi usia Utsman yang  sudah cukup  tua, yang kemudian dimanfaatkan oleh kerabat  dekat Utsman  untuk  mempengaruhi  roda  pemerintahan.

Di mana kemudian   ditandai   dengan   kondisi   nepotisme   dalam pemerintahan Utsman.
Situasi  yang  sangat kondusif  memunculkan  variasi pemikiran  politik  adalah  ketika  Ali  bin Abu  Thalib, diangkat menjadi Khalifah. Konflik politik  berkepanjangan berkaitan  dengan  pembunuhan  Utsman,  menjadikan   sebab timbulnya  perang  saudara di sesama Musli.  Bahkan  istri Rasulullah sendiri, Aisyah, ikut mempimpin perang  melawan Ali  dalam perang Jamal (Onta). Yang mana dikemudian  hari menjadi  diskursus  panjang  tentang  poleh  tidak  wanita menjadi  pemimpin suatu kaum. Dalam masa inilah  kemudian, perbedaan  kepentingan   aqidah  dipolitisir  lebih   jauh menjadi  sebuah  kepentingan  politik.  Dinamika   politik inilah  yang  kemudian  melahirkan  mazhab  politik  Islam klasik yang terbagi dalam tiga mazhab besar; yakni  Sunni, Syi'ah  dan  Khawarij. Dari tiga mazhab  politik  ini,  di kemudian  hari melahirkan derivasi pemikiran  yang  sangat kompleks  dan  berkelanjutan.  Dari  generasi  4  Khilafah Rasyidah  inilah,  ide  pemikiran  politik  Klasik  banyak dibangun.

Pemikiran Islam Klasik
Dalam  sejarah  pertumbuhan peranan  negara  --dalam pemikiran politik Islam klasik-- menduduki posisi  sentral dari keberlangsungan Islam sebagai ajaran yang total  dan fundamental.   Keberadaan  negara  dalam  batas   tertentu sebagai  penjamin  terlaksana  tidaknya  syari'ah   Islam. Bahkan  dalam pandangan Ibnu Taimiyyah  mendirikan negara adalah sebuah tugas suci dan rohani bagi setiap muslim.

Pemikiran Poliitik Islam klasik setidaknya  diwarnai dengan beberapa corak pemikiran yang khas;
1. Terdapatnya  pengaruh yang signifikan  dari  pemikiran-pemikiran  Yunani,  terutama  Plato.  Interaksi  dengan pemikiran  Yunani ini tampak menonjol  dalam  masa-masa pemerintahan kekhilafahan Abbasiyah.
2. Pemikiran politik sebagian besar memberikan  legitimasi terhadap status quo. Baik dalam formulasi teoretik yang memberikan  dukungan  sampai  hanya  memberikan saran-saran.
3. Pemikiran   politik   Islam   lebih    berkecenderungan menampilkan  bentuk-bentuk yang idialis  daripada  yang lebih operasional.

Pemikiran   Islam  klasik  dalam  kaitannya   dengan managemen   kenegaraan   terdapat   variasi pendekatan: Sentralisme Khalifah , Institusionalisme, dan Organisme.

Managemen  kenagaraan dengan pendekatan sentralisme banyak  dikemukakan oleh para filsof baik dari Al-Farabi, Ibnu  Sina  maupun Al-Ghazali. Pandangan Farabi  dan Ibnu Sina  dalam batas tertentu terasa sangat idealis  di  mana khalifah harus dipegang oleh seorang filsuf sebagai bentuk pengaruh  pemikiran Yunani.

Pandangan Al-Ghazali  menjadi lebih realistis dibandingkan dengan mereka karena  Ghazali pernah  terlibat dalam  pemerintahan  dinasti  Abbasiyah, sekaligus teman karib dari Perdana Menteri Nizhamul  Mulk. Pandangan  kaum filsof menempatkan bahwa negara akan  baik dan  tidak sangat tergantung kepada sang  Khalifah,  jika khalifah  baik maka negara akan baik.  Khalifah  merupakan implementasi bayangan Tuhan di bumi.

Sentralnya peran Khalifah tercermin dalam pernyataan Ghazali  dalam  Mukadimmah  buku  "Al-Muhtazhir": Pertama, sesungguhnya  keberesan  agama  tidaklah  tercapai   kalau dunianya tidak beres, sedangkan keberesan dunia tergantung kepada  khalifah yang ditaati. Kedua,  ketentraman   dunia dan keselamatan  jiwa dan harta  hanyalah   dapat  diatur dengan adanya khalifah yang ditaati. Dengan  alasan  ini, Ghazali secara  tegas menyatakan syarat  menjadi  seorang khalifah adalah mewakili pribadi para shahabat utama,  di mana memenuhi syarat ilmiyah dan amaliyah. Syarat ilmiyah yang berkaitan dengan kepribadian  yang baik,  sedang  amaliyah yang  berkaitan  dengan  perasaan emphati  kepada lingkungan dengan baik. Di  mana  kemudian terangkum  ke  dalam syarat yang  4:  najah   (kemampuan bertindak, kewibawaan, wara' (jujur), dan ilmuan (cerdas). Jika  syarat-syarat  tersebut tidak terpenuhi maka ia akan  ditempatkan ke  dalam  level  yang lebih  rendah  wewenangnya   dalam kepemimpinan   sesuai dengan  gelarnya. Khalifah  bagi yang memenuhi syarat kesemuanya,  Imam Dharury, khalifah yang diangkat karena dharurat saja, Wali bisy-syaukah,  kepala negara yang merampas kekuasaan,  dan zus syaukah,   Sehingga   baik buruknya  akhlaq seorang kepala negara  menjadi  prasyarat utama  dari khalifah.

Sedangkan pendekatan institusional banyak dipelopori oleh   Imam  Mawardi,  karya  terbesarnya  dalam   politik terangkum  dalam "Al-Ahkam As-Sulthaniyyah". Bagi Mawardi yang  paling  penting  dalam  pengelolaan  negara adalah pemantapan  struktur  dan  fungsi  kelembagaan, terutama sekali  kelembagaan  kepala  negara  (khalifah)  dan yang memilih  kepala  negara  (ahl-ikhtiar).  Orang-orang yang tergabung  dalam kelembagaan ini adalah  orang-orang  yang terpercaya, ahlul hal wal aqdi (orang yang faham akan satu hal  (profesional) sekaligus orang yang  adil).  Pandangan Mawardi tidak banyak berbeda dalam memandang peran kepala negara (khalifah) sebagai bagian yang sentral.

Pandangan seperti ini memancing kritik  bahwa Mawardi dalam   merumuskan  tulisannya  atas  dasar  apalogi dan legitimasi  kekuasaan  kekhalifahan,  terutama  dalam  hal pembenaran  pergantian khalifah secara turun-temurun  jika keadaan  terpaksa.

Pandangan   Mawardi  tidak  bisa   dilepaskan   dari kedudukan   Mawardi   sebagai   sebagai   seorang    Wazir (Penasehat)  dalam  masa khalifah al-Qadir   dan  al-Qasim pada pemerintahan Abbasiyah. Mawardi mendapatkan perintah dari khalifah bagaimana secara teoritis bisa  mempertahankan kelangsungan  kekhalifahan Sunni  yang  sedang  dalam kemunduran.  Nasehat-nasehat Mawardi ini di kemudian  hari disadur  oleh  Machiavelli dalam "Sang  Pangeran"  sebagai nasehat  kepada  raja bagaimana  menjalankan  pemerintahan yang diambang kemunduran

Nasehat Machiavelli adalah nasehat yang realisme dengan pernyataan  bahwa untuk mempertahankan kekuasaan seorang raja  lebih  harus ditakuti daripada  dicintai rakyatnya. Jika rakyat dicintai maka akan banyak menuntut dan berani. Sedangkan  dalam  pandangan Mawardi, raja yang  baik  demi mempertahankan  kekuasaan adalah raja yang lebih  dicintai rakyatnya dan tidak menimbulkan perasaan takut.

Pandangan   yang   ketiga  dikemukakan   oleh   Ibnu Taimiyyah  di  mana melandaskan pemikirannya  bahwa baik-buruknya  suatu pemerintahan tidak hanya  ditentukan  oleh kualitas  yang  baik dari kepala negara akan  tetapi  oleh organ  kenegaraan  secara luas. Pandangan  Ibnu  Taimiyyah banyak  dirujuk dari bukunya Minhajul Sunnah  dan Siyasah Asy-Syar'iyyah.  Fungsi  organisme yang  ditamsilkan  oleh hadis  tentang hubungan antar mukmin sebagai  saudara  dan bangunan  yang saling melengkapi disadurnya  dalam  bentuk pemerintahan. 

Dengan  pandangan ini Taimiyyah melakukan reformasi sekaligus   melakukan   kritik  sosial   terhadap   sistem kekhalifahan.  Runtuh  dan hancurnya  sistem  kekhilafahan pada  satu sisi disebabkan karena masalah akhlaq  pemimpin yang  merosot.

Akan tetapi tidak  berfungsinya  lembaga-lembaga  pendukung kekhilafahan yang selamanya ini  tampak
hanya  sebagai pelengkap saja. Ketergantungan  yang  besar kepada  sang  Khalifah dalam batas  tertentu  menghasilkan kinerja kekhilafahan yang sesukanya yang kemudian mengarah kepada dekadensi moral. Runtuhnya  kekhalifahan Abbasiyyah  sebagai   akibat serangan tentara Monghol secara mendadak karena terjadinya pengkhianatan   Wazir  terhadap kekhalifahan,   di   mana Khalifah  sendiri  tidak menyadarinya.

Dari  pijakan  ini  Taimiyyah  melakukan   reformasi terhadap  gejala  pengagungan Khalifah pada  mazhab  Sunni maupun Imam Ma'shum pada mazhab Syi'ah sekaligus melakukan kriitikan  kepada  mazhab Khawarij. Pandangan ini sebagai upaya  untuk  mengkatrol peran ummah sebagai bagian  yang spesfik  dari  negara  untuk  turut  menentukan kehidupan bernegara. 

Dalam  batasan  tertentu posisi kepala  negara  akan banyak ditentukan oleh Ummah yang terwakili dalam lembaga legistatif.  Posisi Ummah ini sebagai sarana  transformasi yang memiliki kedudukan suci sebagaimana kedudukan Nabi. Pemimpin  yang sudah terpilih oleh lembaga tersebut harus dibai'ah (disumpah dan dipersaksikan). Dalam proses bai'ah ini,  rakyat atau anggota masyarakat  diperkenankan tidak membai'ah  dan  tidak akan dikenakan penjara  dan ancaman subversif.

Pandangan  Ibnu  Taimiyah ini sebagai  reaksi  dari masa  dis-integrasi kekhilafahan Abbasiyah dan  keimamahan Syiah. Ibnu Taimiyah yang besar dengan mazhab Hambali yang kritis   terhadap  pemerintahan  tidak  banyak melakukan pembelaan   akan  pemerintahaan  yang  ada   akan   tetapi melakukan pembenahan-pembenahan kenegaraan menurut pedoman Qur'an  dan Sunnah sekaligus dengan  menggunakan kekuatan akal.

Dasar-dasar   peletakan  pemikiran  Ibnu   Taimiyyah mengilhami penggalian-penggalian asas politik Islam secara lebih  cermat.  Seperti masalah keadilan,  Ibnu  Taimiyyah memberikan   peryataan  yang  cukup   kontroversi   dengan ungkapan  "Lebih baik dipimpin oleh orang kafir yang  adil daripada  dipimpin  orang Islam yang  zhalim".  Pernyataan seperti  ini  jelas  tidak  bisa  diterima  bagi  kalangan sentralisme khalifah dan institusionalis yang  mengedepan-kan syarat   keislaman  daripada   keadilan.   Pandangan kontroversi  ini  setidaknya  sebagai  akumulasi   masalah Taimiyyah yang menghadapi penguasa Islam yang zalim. Ibnu Taimiyyah yang bermazhab Hambali  sangat sering bersitegang  dengan  penguasa  yang  kemudian menghantarkannnya  ke penjara. Bahkan Taimiiyah maupun Imam  Hambali meninggal  di  penjara.

Konsep  syura  pada  akhirnya  menjadi  embrio  yang dikupas  oleh Taimiyyah. Dengan konsep Syura,  maka ummat akan   ditempatkan  sebagai  peran  yang   sentral   dalam kedudukan   pemerintahan  dan  negara. Syura diambil dari kata al-istikharaaj yang  maksudnya mengambil   madu sedikit demi  sedikit,   jika   hendak mengeluarkannya  dari sarangnya dan  memeriknya,  memilih sesuatu  untuk diketahui keadaannya. Atau Imam  al-Qurtubi berkata bahwa kata istisyarah diambil dari perkataan Arab: Syarratid   Dabbatu Wasyaurabika  idza'alimat   khabaraha bijarinau  ghairahu     ( menguji  hewan  untuk   mengetahui  sejauh  mana larinya atau lainnya.

Syura   kemudian mendapat peran yang legal untuk melakukan prinsip  politik Islam berupa bai'ah. Bai'ah  adalah berasal dari kata bay'a  yang  artinya menjual. Dalam praktek historis, bay'ah sudah dilaksanakan oleh Nabi selama 2 kali Bay'ah Aqobah I dan II) ketika  di Makkah dan kemudian dikembangkan dalam parktek berikutnya.

Dari ketiga perspektif pemikiran tersebut  tampaknya mempunyai  elan vital di jamannya.  Pemikiran  sentralisme khalifah dan institusionalisme melihat bahwa hanya  elemen pemimpin   negaralah  yang  mampu  mempertahankan negara ancaman  kehancuran  dari  luar.  Artinya  pemikiran ini sebenarnya  tidak  menafikan akan  arti  kelembagaan yang
lain.  Sedangkan pemikiran organis muncul  sebagai  bentuk terapi  untuk  membangun kembali sistem  kenegaraan  Islam yang  sudah tercabik-cabik, dengan   menempatkan  kekuatan organis sebagai penyangganya.

Pemikiran Islam Modern
Pemikiran Politik Islam modern mulai tampak  arusnya ketika  dunia Islam dalam kondisi terjajah  oleh  kekuatan barat.  Selama  ini  pemikiran  politik  Islam,   merespon persoalan  internal bergeser kepada  persoalan  eksternal. Kondisi  keterpurukan  dunia  Islam  menjadikan   pengaruh ajaran   Islam  dalam  keseharian  menjadi  pudar   bahkan terancam  punah  (perish). Hal ini  yang  mengilhami  para tokoh  pembaharu Islam seperti Jamaludin al-Afghani  untuk mengumandangkan  produksi  pemikiran dalam  mensikapi dan menggalang umat Islam dalam menghadapi.

Corak  yang  mendasar dari pemikiran  politik  Islam modern adalah sebagai berikut:
a. Formulasi  pemikiran  sedikit  banyak  sebagai   respon kekalahan  dunia  Islam  atas  Barat  daripada   sistem internal masyarakat Islam sendiri
b. Formulasi pemikiran sedikit banyak ingin  mengembalikan pelaksanaan ajaran Islam secara murni (salafi)
c. Dalam   sifat   kenegaraan,  terpusatkan   pada   usaha pembebasan negara.

Dalam  perkembangan  lanjut  terjadi  dinamika  yang cukup  beragam dalam meletakkan landasan  dasar  formulasi pemikiran.  Setidaknya formulasi pemikiran terpilah  dalam dua kelompok besar; pertama, Kalangan-kalangan yang  ingin meletakkan  usaha  permurnian  ajaran  Islam  (Purifikasi) sebagai  jalan  satu-satunya usaha menghadapi  Barat.  Ada kecenderungan kalangan ini bersikap selektif bahkan sampai menolak   pemikiran  Barat,  dalam  kerangka   pembangunan masyarakat.  Pemikiran  ini  sedikit  banyak   mendapatkan pengaruh  dari pemikiran Imam Hambali, Ibnu Taimiyyah,  di masa  klasik. Gerakan purifikasi tampak  difahami  sebagai sarana mengembalikan kejayaan Islam di masa sebelumnya.

Sedangkan  kalangan yang kedua, yakni kalangan  yang sebelumnya melakukan kritik terhadap pemahaman Islam yang cenderung  konservatif. Kalangan ini  menjadi tercerahkan atau    dalam   penilaian   kelompok   purifikasi telah terbaratkan.  Setidaknya pandangan ini berawal dari sikap akomodatif  kepada Barat, di mana tercermin  dengan sikap untuk  membangkitkan Islam setidaknya meniru  model Barat dan  membangun  peradaban  Renaisance.  Hal  inilah yang kemudian mengilhami konsep sekulerisasi pemikiran politik Islam  yang selama ini difahami digunakan  secara sepihak oleh penguasa demi kelangsungan status quo. Pandangan  ini menemukan  titik  sentralnya dalam tulisan politik  Islam sekuler  pertama  yang  dilakukan oleh  Ali Abdul  Raziq, seorang  hakim  syari'ah  dan  dosen  di  Al-Azhar   dalam Kitabnya Al-Islam Al-Ushul Wa Al-Hukmi. Dengan gerakan ini maka  pengadopsian  pemikiran  Barat menjadi  salah  satu kebutuhan yang mendasar untuk membangun masyarakat Islam.

Dalam  dinamika berikutnya, pemikiran politik  Islam tidak hanya merespon intervensi eksternal, yang selama ini dituduh sebagai sumber malapetaka di dunia Islam. Kekuatan eksternal  juga  telah memapankan eksistensinya  di  dunia Islam  dengan membentuk seperangkat sistem kemasyarakatan  yang  cukup  kokoh  dalam  menyebarkan pengaruhnya.  Dari persoalan  inilah  muncul  pemikiran Islam,  yang   lebih spesifik  yang lahir dari gerakan-gerakan sosial  (harakah Islamiyyah), yang berusaha melakukan kritisi terhdap regim pro Barat.

Format  yang  digunakan oleh organisasi  sosial  ini setidaknya terpilahkan dalam 2 pola besar, yakni: pertama, pola Ishlah (pembaharuan, memperbaiki sistem  (evolusi)). Kedua, pola inqilabiah (perombakan total, revolusi).  Dari dua pola  besar tersebut akhirnya terpola  dalam  4  pola besar:
1. Gradualis-Adaptis, di mana organisasi yang termasuk  di dalamnya  adalah  Ikhwanul  Muslimin  di  Maghribi  dan Jama'at Islami di Pakistan
2. Revolusioner  Syi'ah, di mana organisasi yang  termasuk di dalamnya adalah Partai Republik Islam  Iran,  Hizbi Ad-Da'wa  di  Iraq,  Hizbullah  Libanon,  Jihad   Islam Libanon
3. Revolusioner Sunni, di mana organisasi yang termasuk di dalamnya  adalah AL-Jihad Mesir, Organisasi  Pembebasan Islam  Mesir, Ikhwanul Muslimin Siria, Jama'a Abu  Dzar Siria, Hizbi Tharir Jordania dan Siria
4. Messianis-Primitif, di mana organisasi yang termasuk di dalamnya  adalah  Al-Ikhwan Saudi  Arabia,  Tafkir  Wal Hijra Mesir, Mahdiyya Sudan, Al-Arqam.

Sedangkan  diskursus tentang besar  pemikiran  Islam tentang managemen kenegaraan dalam masa modern ditunjukkan oleh peristiwa keruntuhan khilafah Turki Utsmani di  1924. Hancurnya  model  kekhilafahan  klasik  ini memungkinkan munculnya   pemikiran-pemikiran  baru. Respon   terhadap fenomena  ini  muncul beberapa model pengelolaan  negara: Subtansialisme dan formalisme.

Aliran   subtansialisme   berkecenderungan   melihat negara  sebagai  sesuatu yang otonom.  Negara  tidak  bisa dipengaruhi   oleh  keyakinan  ataupun   agama   tertentu. Kalaupun ada pengaruh sebatas pada dataran semangat  tidak sampai  menyentuh pada seluruh aspek.  Pandangan  substan-sialisme tercerahkan dengan semangat sekularisasi di dunia Islam.  Faham  ini dilontarkan pertama kali  oleh  seorang Hakim sekaligus dosen Universitas Al-Azhar dalam  karyanya Al-Islam  Ushul  Wa  Al-Hukmi,  Ali  Abdur  Raziq.   Dalam pemikiran  Ali Abdur Raziq, managemen negara Islam  selama ini  hanya  terpaku  kepada  ijtihad  ulama.  Kekhilafahan selama  lebih dari 8 abad tidak lebih dari  produk  ulama.  Dan sejarah masyarakat Islam adalah tidak layak  digunakan sebagai  pembenaran  sebuah kebijakan  masa  kini.  Banyak sekali  kebijakan  despotis negara berlangsung  dan  kebal kritik  karena didukung ulama atas nama  agama.

Usulan  yang kontroversial dalam usaha merespon  dan sejajar  dengan  managemen kenegaraan  Barat,  maka  dunia Islam  harus  merubah pola  managemen  kenegaraan  seperti Barat. Dengan semboyan, Serahkan Hak Tuhan Pada Tuhan, dan Serahkan Hak Kaisar Pada Kaisar.

Aliran  formalis berkecenderungan  melihat  kesamaan pola  bahwa keberadaan negara tidak bisa  dipisahkan  dari agama  seperti halnya pemikiran Islam Klasik. Agama  dalam batas  tertentu harus terlibat  dalam  urusan  kenegaraan, simbol-simbol  agama  dimungkinkan tercermin  dalam  aspek kelembagaan  negara.  Pandangan formalis  ini  tercerahkan dengan    semangat Pan-Islamisme   (Persatuan    Islam). Kepeloporan   Pan-Islamisme  dikibarkan  oleh   Al-Afghani maupun  Sayyid Rasyid Ridha. Sebelum  runtuhnya kekhilafahn  Utsmani,  Al-Afghani sering  diundang  ke  Turki untuk  mempertahankan  secara teroritis   dan  konseptual tentang  legitimasi   lembaga kekhilafahan  yang  sedang mengalami  krisis  kepercayaan.

Pan-Islamisme  dalam  batas tertentu  adalah  sebagai terapi  terakhir  untuk  mencoba menghidupkan semangat kekhilafahan di dunia Islam. Dalam pemikiran formalisme ini mendapat  klarifikasi dari  Sayyid Abul A'la Al-Maududi. Maududi  melihat  bahwa organisasi kenegaraan adalah sesuatu yang integral  dengan kekuasaan   Tuhan.  Suatu negara  itu  ada   karena   ada kedaulatan Tuhan atas negara, sehingga aturan-aturan dalam negara harus mencerminkan kedulatan Tuhan. Ungkapan ini kemudian diistilahi dengan istilah  theo-Demokrasi, sebagai bentuk pendefinisian kembali demokrasi menurut pandangan Islam.

Pada akhirnya pandangan  formalis  Maududi adalah bagaimana  mengformat sebuah  negara adalah sebagai negara dunia  (world-state). Dan  ini  tidak bisa dipisahkan dari konsep  kekhilafahan dalam   pemikiran   Islam  klasik. Sekaligus   Maududi memberikan klarifikasi tentang fenomena kerajaan di  dunia Islam,  secara  tegas Maududi  mengatakan bahwa  Khilafah Bukan Kerajaan. Khilafah dipandu oleh musyawarah sedangkan kerajaan dipandu oleh kepentingan kaum tertentu.  Kerajaan pada akhirnya hanya akan mengambalikan kekuasaan ke  dalam batas  wilayah,  ras dan kepentingan  tertentu.  Pandangan formalis  kemudian  banyak berdekatan  dengan   pemikiran fundamentalisme  Islam yang ingin meletakkan urusan  agama dan negara adalah urusan yang satu (din wa daulah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...