Selasa, 21 Mei 2013

Periode Sejarah Hukum Islam di Indonesia

BY ARMHANDO TOGATOROV

Perkembangan hukum Islam di Indonesia mengalami pasang surut. Sejak masuknya Islam ke wilayah nusantara hingga masa reformasi sekarang ini, hukum Islam mampu bertahan dan mewarnai sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan corak dan karakteristiknya, sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia dapat dibagi dalam empat periode, yaitu :
periode akulturasi, represi dan eliminasi, formatisasi, serta aktualisasi.

Fase akulturasi terjadi sejak kedatangan Islam hingga menguatnya kekuasaan kolonialisme Belanda di Indonesia. Pada masa ini hukum Islam berlaku sepenuhnya bagi umat Islam.

Corak hukumnya akulturatif, yaitu perpaduan antara mazhab Syafi’i dengan kebudayaan lokal. Bukti ini terlihat dalam hasil karya ulama yang berupa kitab-kitab fiqh yang menjadi pegangan bagi kerajaan-kerajaan Islam dan yang diajarkan di masyarakat. Fase represi dan eliminasi terjadi mulai masa penjajahan Belanda hingga masa kemerdekaan. Pemerintah kolonial menekan berlakunya hukum Islam dan mengeliminasi kekuasaan Pengadilan Agama. Hukum Islam selalu dikontradiktifkan dan disubordinatkan dengan hukum adat. Kondisi ini menjadikan hukum Islam terbatas cakupannya, yaitu hanya berlaku dalam bidang hukum keluarga. Periode formatisasi terjadi setelah Indonesia merdeka hingga masa orde baru. Pada masa ini muncul upaya melegislasikan hukum Islam dalam perundang-undangan. Formatisasi hukum Islam terjadi dalam dua bentuk, yaitu menjadi hukum nasional yang berlaku umum dan menjadi hukum khusus yang hanya berlaku bagi umat Islam. Fase terakhir adalah aktualisasi, yang terjadi sejak masa reformasi. Aktualisasi hukum Islam berakar dari ditetapkannya Undang-undang Otonomi Daerah. Sejak itu, umat Islam di berbagai wilayah mengaktualisasikan hukum Islam, baik melalui otonomi khusus meupun melalui peraturan daerah.

A.     Pendahuluan

Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke nusantara. Sejak agama Islam dianut oleh penduduk, hukum Islampun mulai diberlakukan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Norma atau kaidah hukum dijadikan sebagai pedoman kehidupan setelah terlebih dahulu mengalami institusionalisasi dan internalisasi. Dari proses interaksi sosial inilah hukum Islam mulai mengakar dan menjadi sistem hukum dalam masyarakat.

Penyebaran Islam di Indonesia yang berlangsung secara bertahap menyebabkan pemberlakuan hukum Islam pun mengalami pentahapan. Di sisi lain setiap masyarakat pada umumnya sudah memiliki aturan atau adat istiadat sendiri, sehingga ketika Islam datang terjadi akulturasi antara hukum Islam dengan hukum adat. Hal ini juga mengakibatkan variasi hukum Islam di kalangan masyarakat Islam di Indonesia.

Perkembangan hukum Islam juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintahan kolonial Belanda, yang berusaha menghambat berlakunya hukum Islam dengan berbagai cara. Segala kebijakan, terutama di bidang politik dan hukum, dibuat untuk mengebiri keberadaan hukum Islam. Di bidang politik misalnya, Belanda menjalankan kristeningpolitiek,[1] yaitu upaya mendukung misi zending dan penyebaran agama Kristen ke dalam masyarakat Hindia Belanda. Di bidang hukum, pemerintah Belanda berusaha mengkonfrontir hukum Islam dengan hukum adat dan mereduksi dalam pemberlakuannya.

Kedudukan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia mengalami pasang surut. Hukum Islam bukan satu-satunya sistem hukum yang berlaku, tetapi terdapat sistem hukum lain, yaitu hukum adat dan hukum Barat. Ketiga sistem hukum ini saling pengaruh mempengaruhi dalam upaya pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia. Hal ini terlihat ketika menjelang kemerdekaan, para founding fathers berbeda pendapat tentang bentuk dan dasar negara serta hukum yang akan berlaku di Indonesia.

Ketika Indonesia merdeka, kedudukan hukum Islam mulai diperhitungkan dan diakui keberadaannya sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku. Pada masa berikutnya hukum Islam mulai mewarnai hukum nasional. Banyak peraturan perundang-undangan yang disusun berdasarkan ketentuan hukum Islam, baik yang berlaku nasional maupun khusus bagi umat Islam. Gejala mutakhir perkembangan hukum Islam adalah munculnya gerakan otonomisasi hukum Islam di sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini ditandai dengan banyaknya aturan perundangan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah terkait dengan penerapan hukum Islam.

Tulisan ini menjelaskan bagaimana perkembangan hukum Islam di Indonesia sejak masa penetrasi atau kedatangan Islam hingga masa reformasi sekarang ini. Tujuannya adalah untuk memetakan bagaimana corak dan karakter hukum Islam dalam setiap periodisasinya. Disamping itu juga untuk menemukan faktor pendukung dan penghambat berlakunya hukum Islam, sehingga menimbulkan sustainsi dan resistensi dalam implementasinya.



B.     Fase Perkembangan Hukum Islam

Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia, jika dirunut dari mulai masuknya agama Islam hingga era reformasi dapat dibagi dalam empat tahap. Tahapan perkembangannya dimulai dari fase akulturasi, represi dan eliminasi, formatisasi, dan aktualisasi. Pembagian ke dalam empat periode ini didasarkan pada corak, karakter, dan bentuk implementasinya dalam realitas hukum yang berlaku.  Kebijakan politik pemerintah yang berkuasa dan keinginan umat islam menjadi faktor penentu corak dan karakter hukum Islam yang berlaku. Kedua faktor tersebut mempengaruhi pasang surutnya implementasi hukum Islam dalam sejarah pekembangannya di Indonesia.



1.      Fase Akulturasi (Abad XII – XVIII M)

Fase ini terjadi sejak masa penetrasi atau masuknya Islam ke Indonesia hingga masa kolonialisasi Belanda. Berdasarkan data sejarah, Islam mulai menampakkan pengaruhnya sekitar Abad XII hingga XIII M. Disebut fase akulturasi karena pada masa ini hukum Islam mengalami adaptasi dengan budaya lokal nusantara. Secara sosio-kultural, hukum Islam telah menyatu dan menjadi living law dalam masyarakat muslim Indonesia. Hal ini terlihat dari akulturasi yang terjadi antara Islam, sebagai agama, dengan kebudayaan lokal. Di beberapa daerah seperti Aceh, Makassar, Minangkabau, Riau, dan Padang, hukum Islam diterima tanpa reserve, sederajat dengan hukum adat. Hal ini dibuktikan dengan adanya pepatah adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah, syara’ mengata adapt memakai. Ungkapan ini menggambarkan bagaima  kentalnya hubungan antara hukum adapt dan hukum Islam.[2]

Catatan sejarah tentang berlakunya hukum Islam pada masa ini tidak banyak diketahui. Hanya ada beberapa naskah, khususnya naskah Jawa, yang dapat digunakan untuk mengungkap bagaimana pemberlakuan hukum Islam di masyarakat.[3] Namun demikian terdapat kemiripan pelaksanaan hukum Islam di berbagai kerajaan Islam di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh hukum tata negara Islam yang dianut oleh kerajaan-kerajaan tersebut. Ciri tata negara Islam adalah urusan agama merupakan bagian tak terpisahkan dari negara.[4] Di Jawa, ciri ini termanifestasi dalam gelar Raja Mataram yaitu: Ingkang Sinuhun (Yang dipertuan) Senopati Ing Ngalogo (Panglima Perang) Sayidin Panotogomo Kalipatullah (Pengatur Urusan Agama sebagai Pengganti Rasulullah).

Pengaruh terkuat Islam di Indonesia dalam aspek hukum adalah dalam bidang hukum keluarga, khususnya perkawinan. Fungsi pemeliharaan dan penyelesaian hukum ini ditugaskan kepada para hakim atau qadhi, dan penghulu dengan para pegawainya. Para hakim atau qadhi diangkat langsung oleh para sultan dan peradilannya disebut dengan Peradilan Swapraja. Mereka memperoleh tanah jabatan (ambsterven) di belakang masjid besar yang disebut kampung kauman. Tugas mereka adalah melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga. Di tingkat terendah (pemerintahan desa) jabatan ini dipegang oleh modin, lebai, amil, kayim, kaum dan merbot. Kalau di Jawa disebut kaum, maka di Makassar disebut para mukim, di Sumatera dikenal dengan teuku meunasah, labai, malin, dan sebagainya.

Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, sebelum kedatangan VOC, telah memberlakukan hukum Islam yang pada umumnya menganut mazhab Syafi’i. Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Kesultanan Cirebon, Banten, Ternate, Buton, Sumbawa, Kalimantan Selatan, Kutai, Pontianak, dan Palembang. Kerajaan-kerajaan Islam tersebut memberikan wewenang penegakan hukum Islam pada kekuasaan pengadilan. Lembaga pengadilan ini didirikan untuk tujuan penegakan hukum Islam dan sebagai wadah pelayanan ulama terhadap umat. Beberapa nama peradilan yang didirikan menggunakan nama yang berbeda seperti Mahkamah  Syar’iyah di Sumatera, Kerapatan Qadhi di Banjar dan Pontianak, dan Pengadilan Serambi di Jawa.[5]

Bentuk peradilan pada masa kerajaan Islam memang tidak begitu jelas. Sewaktu Marcopolo singgah di Perlak pada tahun 1292 M, ia mendapatkan bahwa Perlak merupakan sebuah kota Islam, tetapi tidak disebut-sebut tentang bentuk pelaksanaan hukum Islam. Di Samudera Pasai, menurut catatan Ibnu Batutah –yang dalam perjalanannya ke Cina pada tahun 1345/1346 M melewati samudra- mendapati penguasanya seorang pengikut mazhab Syafi’i. Sultan Malik al-Salih (w. 1297 M), raja Samudera Pasai, menunjuk para hakim/qadhi dalam pelaksanaan hukum Islam. Di Kerajaan Islam Demak terdapat pertanda yang jelas tentang pelaksanaan hukum Islam. Sultan Demak memiliki gelar “Sayidin Panatagama” serta adanya jabatan penghulu yang menangani tugas-tugas di bidang agama.[6]

Di Kasultanan Yogyakarta, terdapat peradilan yang menangani masalah keagamaan yang disebut Pengadilan Serambi. Pengadilan ini diperkirakan telah ada sejak tahun 1737 (masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II). Pada awalnya kewenangan pengadilan ini adalah menangani masalah perkawinan, warisan dan juga perkara pidana.[7]  Sumber hukum yang digunakan sebagai dasar dalam memutuskan perkara adalah Kitab Angger-Angger[8] dan kitab-kitab Fiqh. Kitab-kitab fiqh tersebut adalah: Al-Muharror, Al-Mahalli, Tuhfah, Fathul Mu’in, dan Fathul Wahab.[9]

Pengadilan Serambi dipimpin oleh penghulu keraton yang berkedudukan sebagai penghulu hakim. Dalam menjalankan kewenangannya, penghulu hakim dibantu oleh Penghulu Pathok Negara yang juga bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Pengadilan Serambi khususnya di wilayah negaragung. Pelaksanaannya bertempat di serambi Masjid Agung Kasultanan Yogyakarta. Hal ini diperkuat dengan adanya prasasti di dalam masjid yang menyebutkan bahwa serambi ini disebut Al-Mahkamah Al-Kabirah. Pengadilan ini tetap berfungsi hingga tahun 1940-an meskipun dengan wewenang yang terbatas. Jika awalnya pengadilan ini berkompetensi memutus perkara pidana dan perdata, namun akibat inetrvensi kolonial akhirnya pengadilan ini hanya berwenang memutuskan perkara yang berkaitan dengan nikah, talak, rujuk, sesuai dengan hukum Islam.[10]

Corak hukum Islam pada masa ini adalah Syafi’iyah. Hal ini dikarenakan dasar dari pemberlakuan hukum Islam adalah kitab-kitab fiqh yang bermazhab Syafi’i, seperti Al-Muharror, Al-Mahalli, Tuhfah, Fathul Mu’in, dan Fathul Wahab. Namun demikian, corak Syafi’iyah hukum Islam di Indonesia memiliki ciri khusus karena mengalami akulturasi dengan kebudayaan masyarakat. Kondisi ini memunculkan adanya karakter hukum yang berbeda dan khas di setiap kerajaan Islam. Para ulama menjadi tokoh penting dalam upaya mengakulturasikan kitab fiqh dengan adat istiadat masyarakat. Hasil akulturasi hukum Islam dengan adat lokal tersebut terekam dalam sejumlah karya fiqh mereka.

Diantara kitab fiqh yang merupakan bukti akulturasi adalah kitab Siratal Mustaqim yang ditulis mulai tahun 1634 M hingga 1644 M oleh Nuruddin Ar-Raniry (w. 1068H/1658M). Nuruddin Ar-Raniry adalah mufti kerajaan  pada masa pemerintahan Sultan Iskandar II dari Kerajaan Samudera Pasai. Kitab Sirat al-Mustaqim bercorak Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat dari referensi yang dia gunakan dalam penyusunannya. Kitab-kitab rujukannya adalah Kitab Fiqh Syafi’iyah standar, seperti Minhaj at-Talibin karya Nawawi ad-Dimaski, Fath al-Wahab bi Syarhi Minhaj at-Tullab karya Zakariya al-Ansari, Hidayat al-Muhtaj Syarh al-Mukhtasar karya Ibnu Hajar, dan Nihayat al-Muhtaj karya ar-Ramli. Metode istimbatnya menganut pola bermazhab qauli dan manhaji ala Syafi’i.

Ar-Raniry berusaha menjadikan fiqh sebagai sarana social engineering. Contoh ketetapan hukum dalam kitabnya adalah: tidak sah salat seseorang yang bermakmum kepada kaum panteisme, penyembelihan hewan kaum wujudiyah juga tidak sah, nilainya sama dengan sembelihan orang musyrik. Dalam banyak hal fatwa Ar-Raniry terkesan provokatif, sehingga mengundang reaksi keras dari masyarakat Aceh sendiri. Karel Steenbrink menilai ar-Raniry sebagai tokoh yang keras dan kasar.[11]

Kitab lain adalah Mir’at at-Tullab fi Tasyi’ al-Ma’rifah al-Ahkam as-Syar’iyah li al-Malik al-Wahhab karya Abdur Rauf as-Sinkili (1024-1105 H). Kitab ini ditulis atas permintaan Sultan Aceh, yaitu Sayyidat ad-Din.[12] Pemikiran Hukum as-Sinkili lebih fleksibel dan akomodatif. Hal ini berbeda dengan pemikiran ar-Raniry. Kitabnya menjangkau pembahasan yang lebih luas, yaitu seluruh ajaran fiqh. Dalam bidang muamalah bahasannya melipitu: jual beli, riba, khiyar, syirkah, qirad, sulh, hiwalah, wakalah, dan iqrar.[13]

Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) menulis kitab Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquh fi Amr ad-Din. Kitab ini ditulis pada tahun 1193 H/1779 M sampai 1195H/1781 M. Tahun ini bertepatan dengan pemerintahan Tahmidullah bin Sultan Tamjidullah dari Kesultanan Banjar. Corak pemikiran hukumnya adalah syafi’iyah. Hal ini terlihat dari rujukan yang digunakan dalam menyusun kitabnya, yaitu Syarh Minhaj karya Zakariya al-Ansari dan Tuhfah karya Ibnu Hajar al-Haitami.

Karya ini merupakan anotasi (syarah) dari Kitab Siratal Mustaqimnya ar-Raniry. Meskipun kitab syarah, tetapi banyak perbedaan di dalamnya. Disamping itu juga terdapat beberapa pemikiran yang futuristik, spekulatif, dan dalam beberapa hal tidak berangkat dari realitas masyarakat Banjar.[14] Pemikiran fiqhnya berupaya menyantuni aspek lokal, seperti ketika dia mensahkan pembagia waris berdasarkan adat perpantangan. Dalam tradisi ini harta waris terlebih dahulu dibagi dua antara suami istri, setelah itu barulah hasil parohan itu dibagi kepada ahli waris. Hal ini merupakan pengembangan dari konsep fiqh klasik, bahkan keluar dari diktum tektual al-Qur’an.[15]

Ulama lain yang menulis kitab fiqh akulturatif adalah Abdul Malik bin Abdullah Trengganu (1138-1146 H/1725-1733 M). Kitab-kitab yang disusun adalah Risalah an-Naql, Risalat Kaifiyat an-Niyat, dan al-Kifayat. Ahmad Rifai Kalisasak (1786-1876 M) menulis kitab Tarjuman, Tasyrihat al-Muhtaj, Nazham at-Tasfiyah, Abyan al-hawaij, dan Tabyin al-Islah. Nawawi al-Bantani (1230-1316 H/1813-1898 M) menyusun Kitab ‘Uqud al-Lujain, yang menjadi bacaan wajib di berbagai Pesantren Jawa. Karya lain adalah kitab Syarah atau komentar, yaitu: Syarah Fath al-Qarib karya Qasim al-Ghazi, Nihayat az-Zein syarah Kitab Qurrat al-‘Ain karya al-Malibari, Safinat an-Najah syarah kitab Safinah as-Salat karya Abdullah Umar al-Hadrami, dan Kasifatus Saja’ syarah kitab Safinatun Najah karya Salim bin Abdullah bin Samir.

Kitab-kitab fiqh tersebut ada yang dijadikan sebagai undang-undang kerajaan dan ada pula yang ditulis untuk konsumsi masyarakat umum. Kitab Siratal Mustaqim dijadikan sebagai qanun resmi Kerajaan Samudera Pasai di Aceh, sedangkan Kitab Sabilal Muhtadin menjadi pegangan remi Kerajaan Banjar di Kalimantan. Kitab-kitab fiqh selainnya disusun oleh penulisnya sebagai jawaban bagi kebutuhan hukum di kalangan masyarakat. Kitab-kitab ini diajarkan di pesantren-pesantren maupun dalam pengajian-pengajian umum.


2.      Fase Represi dan Eliminasi (Abad XVIII-pertengahan Abad XX)

Fase ini berlangsung sejak Belanda secara de facto menancapkan kolonialismenya di Indonesia, yaitu sekitar abad ke XIX M hingga pertengahan abad XX, yaitu ketika Indonesia memperoleh kemerdekaannya. Dengan demikian tidak seluruh masa kolonialisasi mengakibatkan dampak negatif terhadap hukum Islam. Pada awal kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Indonesia, yaitu abad ke 17, mereka berkepentingan mengembangkan usaha perdagangan, terutama rempah-rempah. Dari niat berdagang ini lambat laun muncul keinginan untuk menguasai wilayah yang menjadi pusat rempah-rempah.  Hingga pertengahan abad ke 20 bangsa-bangsa asing yang berkepentingan menguasai nusantara adalah Portugis, Belanda, Inggris dan terakhir Jepang. Dari keempatnya, Belanda yang paling lama dan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam berbagai sistem kehidupan masyarakat, termasuk sistem hukum.

Sejarah perkembangan hukum Islam pada masa kolonial dapat dibagi dalam dua periode, yaitu periode receptio in complexu dan periode receptie. Periode pertama diimplementasikan pada fase pertama pemerintahan Belanda, yaitu awal abad ke-17 hingga akhir abad 18. Periode ini disebut juga dengan pemberlakuan hukum Islam sepenuhnya bagi orang Islam. VOC tidak turut campur dengan institusi hukum Islam. Hukum keluarga Islam, terutama yang menyangkut perkawinan dan kewarisan diaplikasikan sepenuhnya.[16]

Belanda tidak ikut campur dalam urusan hukum Islam. Bahkan pada tanggal 25 Mei 1670 Belanda memberikan pengakuan atas kedudukan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku. Melalui Kantor Dagang Belanda VOC dikeluarkanlah Resolute de Indeshe Regeering yang berisi pemberlakuan hukum waris dan hukum perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan nama Copendium Freijer, yang merupakan legislasi hukum Islam pertama di Indonesia.[17]

Legislasi lainnya adalah diterbitkannya Compendium der Voornaamste Javaansche Wetten nauwkeurig getrokken uit het Mohammedaansche Wetboek Mogharraer. Peraturan ini merupakan koleksi hukum Jawa primer yang diambil dari kitab Al Muharrar dan diberlakukan untuk Landraad (pengadilan umum) di Semarang pada tahun 1750.[18] Di Karisedenan Cirebon disusun Pepakem Cirebon, yang dibuat atas usul residen Cirebon, Mr. P.C. Hosselaar (1757-1765).[19] Aturan ini merupakan kompilasi kitab hukum Jawa Kuno, seperti: Kitab Hukum Jawa Niscaya, Undang-Undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa, dan Adilulah.[20] Aturan ini dipakai oleh enam menteri  pelaksana kekuasaan peradilan yang mewakili tiga sultan Cirebon (Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon), sebagai pedoman dalam memutuskan perkara perdata dan pidana di wilayah Kesultanan Cirebon. Pepakem ini kemudian diadopsi oleh Sultan Bone dan Goa untuk dijadikan undang-undang dan diberi nama Compendium Indianche Wetten bij de Hoven van Bone en Goa.

Kebijakan adopsi terhadap hukum Islam berlangsung hingga masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels (1808-1811). Hal ini tidak terlepas dari peran para ahli hukum Belanda, khususnya yang menulis tentang Islam di Indonesia. Diantaranya adalah J.E.W. van Nes (1850) yang menerbitkan buku Boedelsscheidingen of Java volgens de kitab Saphi’i. A. Meurenge juga mengeluarkan saduran Hanboek van het Mohammedansche Recht pada tahun 1844. Ahli hukum yang paling berjasa dalam hal ini adalah Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927) dengan teorinya yang bernama receptio in complexu. Dia juga mengkonsepkan Statsblaad 1882 No.152 yang berisi ketentuan bahwa yang berlaku bagi rakyat jajahan yang beragama Islam adalah hukum Islam.[21]

Peraturan lain yang menguatkan berlakunya hukum Islam sepenuhnya bagi umat Islam adalah Reglement of het Beleid der Regering ven Nederlandsch Indie atau disingkat regeringsreglement (RR). Peraturan ini dikeluarkan tanggal 2 September 1854 dan termuat dalam Stbl. 1854/2. RR ini berisi tentang peraturan tata pemerintahan daerah jajahan. Dalam Stbl. 1885 No.2 terutama pasal 75 yang menegaskan bahwa bagi hakim Indonesia hendaklah memberlakukan hukum agama dan kebiasaan penduduk Indonesia.[22]

Periode kedua ditandai dengan munculnya kebijakan yang sifatnya intervensionis terhadap hukum Islam dan hukum adat. Masa inilah terjadi represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum Islam. Periode ini dimulai ketika terjadi transfer kekuasaan dari VOC kepada pemerintah kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda melakukan represi terhadap hukum Islam dengan mengkonfrontasikannya dengan hukum adat, yakni hukum asli penduduk Indonesia sebelum kedatangan Islam. Kebijakan-kebijakan hukum pemerintah Belanda ditujukan untuk meminimalisir dan mengeliminir peran hukum Islam. Pada masa ini muncul peraturan-peraturan (staatsblad) yang mensubordinasikan hukum Islam di bawah hukum adat.

Upaya pertama Belanda untuk mengurangi fungsi dan peran sistem hukum Islam adalah dengan memperlemah institusi peradilannya. Pada tahun 1824 fungsi penghulu sebagai penasehat hukum Islam dihapus. Hal ini kemudian dipertegas dengan keluarnya Stbl 1835 No. 56 yang menentukan kompetensi penghulu. Perselisihan tentang perkawinan, kewarisan yang terjadi diantara orang-orang Islam di Jawa dan Madura harus diselesaikan oleh penghulu. Sementara kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah pembayaran (uang) menjadi wewenang pengadilan umum.

Pada tanggal 24 Januari 1882 Belanda mengeluarkan Stbl 1882 No.152 tentang berdirinya peradilan agama di Jawa dan Madura (Bepaling Betreffende de Priesterraden op Java en Madoera).[23] Pembentukan priesterrad ini berdasarkan Koninkelijk Besluit (Keputusan Raja Belanda) No. 19 tahun 1882.[24] Pengadilan ini dipimpin oleh seorang penghulu dan dibantu para ulama sebagai anggotanya. Kompetensinya meliputi segala jenis perkara yang terjadi diantara orang Islam Indonesia.

Berdirinya lembaga ini menunjukkan adanya pengakuan yuridis pemerintah Belanda terhadap keberadaan hukum Islam. Namun di sisi lain mengindikasikan bahwa pemerintah kolonial ingin menguasai kontrol administrasi hukum Islam. Nama priesterrad yang berarti pengadilan pendeta, menunjukkan bahwa Belanda tidak memahami tradisi hukum Islam.  Pada awalnya lembaga ini dipahami sebagai suatu bentuk formalisasi dari adanya institusi Islam, namun secara langsung justru bertentangan dengan praktek Islam yang memberi penghulu jurisdiksi tunggal dalam perkara-perkara perkawinan, perceraian dan kewarisan.[25]

Akibat dari pelembagaan peradilan Islam adalah bahwa setiap keputusan priesterrad harus diratifikasikan kepada pengadilan umum sebelum diimplementasikan. Hal ini jelas merugikan penghulu, karena pada kenyataannya nasehat-nasehat dari penghulu sering dikesampingkan oleh pengadilan umum. Akibatnya terjadi ketegangan antara umat Islam dengan pemerintahan kolonial. Menyadari situasi ini pada tahun 1889 dibentuk Kantor Urusan Pribumi (Kantoor voor Inlandsche Zaken). Lembaga ini diharapkan mampu meningkatkan saling pengertian antara penjajah dengan masyarakat negeri jajahan.

Direktur pertama dari kantor ini adalah Dr. Christian Snouck Hurgronje (1867-1936). Inilah titik awal di mana studi ilmiah terhadap Islam di Hindia Belanda mulai semarak. Tugas dari lembaga ini adalah memberikan advis kepada pemerintah Belanda dalam merumuskan kebijakan terhadap umat Islam. Berdasarkan penelitiannya Snouck menemukan metode yang menjadi dasar kebijakan pemerintah yaitu toleransi dalam kehidupan agama dan kehati-hatian dalam menghadapi perluasan kontrol politik Islam.[26] Nasehat-nasehat Snouck menghasilkan beberapa peraturan. Diantaranya peraturan tentang administrasi peradilan Islam diratifikasikan menjadi undang-undang pada periode antara tahun 1929 dan 1938. Namun pengundangan peraturan ini sebenarnya justru mengurangi jurisdiksi pengadilan agama.

Menurut Snouck, hukum Islam baru berlaku bila diterima atau dikehendaki oleh hukum adat. Pendapat ini kemudian diberi dasar hukum dalam undang-undang dasar Hindia Belanda yang disebut Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (IS). IS merupakan pengganti regeringsreglement (RR) dan berisi peraturan ketatanegaraan Indonesia. Peraturan ini dikeluarkan tanggal 23 Juni 1925 dan termuat dalam Stbl. 1925/415 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1926.[27] Dalam Stbl. No.212 tahun 1929, hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat (2) IS disebutkan, “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”.[28]

Upaya mengontrol operasionalisasi hukum Islam juga dilakukan Belanda. Pada tahun 1929 muncul undang-undang perkawinan yang menempatkan penghulu sebagai pemerintah yang berada di bawah kontrol bupati. Dengan keadaan seperti ini memudahkan Belanda untuk menguasai dan mengintervensi pelaksanaan hukum Islam.

Pada tahun 1931 keluar Stbl No. 53 tahun 1931 yang berisi tiga hal, yaitu: (1) priesterrad akan dihapuskan dan diganti dengan pengadilan penghulu, di mana seorang hakim tunggal memecahkan kasus-kasus dalam masalah hukum Islam, (2) penghulu berstatus sebagai abdi pemerintah dan mendapatkan gaji tetap, (3) pengadilan banding akan dibentuk untuk mereview keputusan-keputusan dari pengadilan penghulu. Namun peraturan ini tidak pernah dilaksanakan karena Belanda mengalami kesulitan keuangan. Untuk mengobati kekecewaan umat Islam, pada tahun 1937 dikeluarkan Stbl. No. 610 tentang pembentukan Hof voor Islamietische Zaken atau Mahkamah Islam Tinggi untuk menerima perkara banding.

Pengebirian terhadap kewenangan lembaga peradilan Islam  diupayakan pemerintah Belanda dengan mengkonfrontasikannya dengan hukum adat. Melalui Stbl. No. 116 tahun 1937, yang merupakan pelaksanaan pasal 134 ayat (2) IS, pemerintah memindahkan penyelesaian masalah kewarisan dari peradilan Islam ke peradilan umum (landraad), di mana perkara tersebut diselesaikan dengan hukum adat.[29] Alasannya hukum Islam belum sepenuhnya diterima oleh hukum adat. Di sini terjadi perebutan supremasi hukum antara hukum adat yang diunggulkan Belanda dengan hukum Islam.

Reaksi pihak Islam terhadap campur tangan Belanda dalam masalah hukum Islam banyak ditulis dalam buku dan surat kabar waktu itu.[30] Jelas bahwa politik hukum yang menjauhkan umat Islam dari ketentuan-ketentuan agamanya adalah taktik Belanda untuk meneguhkan kekuasaannya di Indonesia. Tahun 1937 Belanda juga mengeluarkan ordonansi mengenai catatan perkawinan yang mengusulkan tentang penghapusan poligami. Tetapi peraturan ini ditarik kembali karena mendapat perlawanan yang besar dari umat Islam.

Di luar Jawa lembaga peradilan agama juga dibentuk oleh Belanda. Stbl. No. 638 tahun 1937 menyebutkan pendirian Pengadilan Kadhi untuk tingkat pertama di wilayah bagian selatan dan timur pulau Kalimantan. Di susul kemudian terbitnya Stbl. No 639 tentang pembentukan Kerapatan Kadhi Besar yang merupakan pengadilan tingkat banding di Kalimantan Selatan. Di wilayah lain, umat Islam mendirikan peradilan agama sendiri, seperti di Palembang dan Jambi untuk Sumatera, dan juga kota-kota pesisir di kepulauan Kalimantan dan Ternate.[31]

Meskipun pengadilan Islam banyak didirikan, kekuatan judisialnya sangat dibatasi. Institusi ini hanya mengurus permasalahan yang berhubungan dengan perkawinan, kewarisan, dan hal-hal yang menyangkut wasiat saja. Hal inipun masih harus diresipir dengan hukum adat. Inilah wujud dari adatrecht politiek Belanda, sehingga apapun dilakukan untuk menguatkan posisi hukum adat dan melemahkan kedudukan hukum Islam.

Pada masa Jepang tidak ada perubahan substantif terhadap peradilan Islam dan hukum Islam. Jepang hanya mengubah nama lembaga peradilan Islam dari priesterrad menjadi Sooryoo Hooin dan pengadilan Banding dari Hof voor Islamietsche Zaken menjadi Kaikyoo Kootoo Hooin.[32] Di Jawa dan Madura, lembaga ini menjalankan tugas menangani kasus-kasus perkawinan, dan kadang memberi nasehat dalam bidang kewarisan.


3.      Fase Formatisasi (1945 – 1998)

Berakhirnya kolonialisme di Indonesia sekaligus juga mengakhiri fase represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum Islam. Kedudukan hukum Islam pada masa kemerdekaan mengalami kemajuan yang berarti. Namun hal itu tidak berarti bahwa hukum Islam kembali pada kondisi reception in complexu. Lamanya Belanda menjajah mengakibatkan perubahan struktur politik dan sosial bangsa Indonesia. Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, tetapi bukan hal yang mudah untuk memberlakukan hukum Islam di Indonesia. Pelan tapi pasti, terjadi upaya formatisasi terhadap hukum Islam, sebagai konsekuensi dipilihnya Pancasila sebagai ideologi negara.

Sejak masa menjelang kemerdekaan keinginan kaum nasionalis Islam untuk memberlakukan hukum Islam begitu kuat. Meskipun untuk tujuan itu mereka harus berhadapan dengan kaum nasionalis sekuler. Hal ini terlihat dalam perdebatan di sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) maupun sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Perdebatan tersebut terjadi ketika para foundingfathers berusaha merumuskan dasar negara Indonesia.

Pada fase ini hukum Islam mengalami dua periode, yaitu periode persuasive-sources dan authoritative source. Periode persuasive adalah periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasive, yaitu sumber yang terhadapnya orang harus yakin dan menerimanya.[33] Masa ini berlangsung selama empat belas tahun, yakni sejak diterimanya Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPKI hingga keluarnya dekrit presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959. Semua hasil sidang BPUPKI adalah sumber persuasive bagi grondwetinterpretatie UUD 1945, sehingga Piagam Jakarta juga merupakan persuasive-source UUD 1945. Meskipun dalam UUD 1945 tidak dimuat tujuh kata Piagam Jakarta,[34] namun hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam berdasarkan pasal 29 ayat (1) dan (2).[35] Berdasarkan pasal ini pula, maka dibentuklah departemen agama pada tanggal 3 Januari 1946.[36]

Periode kedua, authoritative source dimulai ketika Piagam Jakarta ditempatkan dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Julu 1959. Dalam konsiderans Dekrit Presiden disebutkan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut”. Dekrit Presiden selain menetapkan Piagam Jakarta di dalam konsiderans, juga menetapkan dictum tentang berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian dasar hukum Piagam Jakarta dan UUD 1945 ditetapkan dalam satu peraturan perundangan yaitu Dekrit Presiden. Menurut hukum tata negara Indonesia, keduanya memiliki kedudukan hukum yang sama.[37] Hal ini berarti Piagam Jakarta, termasuk ketujuh katanya, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dalam UUD 1945.

Ketentuan di atas kemudian diwujudkan dalam politik hukum sebagaimana dirumuskan dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Ketetapan itu berbunyi bahwa penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris hendaknya juga memperhatikan faktor-faktor agama. Namun hingga tahun 1968, batas waktu berlakunya Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960, tidak satupun muncul undang-undang dalam bidang hukum perkawinan dan kewarisan.

Memasuki masa orde baru, pembangunan nasional dalam berbagai bidang terus diupayakan, termasuk dalam bidang hukum. Dalam rumusan Garis-Garis Besar Haluan Negara[38] yang merupakan haluan pembanguan nasional menghendaki terciptanya hukum baru Indonesia. Hukum tersebut harus sesuai dengan cita-cita hukum Pancasila dan UUD 1945 serta mengabdi kepada kepentingan nasional. Hukum baru Indonesia harus memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menampung dan memasukkan hukum agama (termasuk hukum Islam) sebagi umsur utamanya. Inilah dasar yuridis bagi upaya formatisasi hukum Islam dalam hukum nasional.  

Formatisasi hukum Islam dilakukan dengan upaya mentransformasikan hukum Islam ke dalam aturan perudangan. Dalam peraturan perundang-undangan kedudukan hukum Islam semakin jelas. Dari sinilah kemudian muncul legislasi hukum Islam yang bersifat nasional, yaitu UU No.1/1974 tentang Perkawinan dan Peraturan pemerintah No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Undang-undang ini berlaku efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975. Sebagai produk politik, undang-undang perkawinan ini merupakan kompromi berbagai kekuatan politik dengan aspirasi hukumnya masing-masing. Pasal 2 ayat (2) UU no.1/1974 menetapkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing.  Dengan ketentuan ini berarti terjadi perubahan hukum dari yang rasial etnis (pada masa kolonial) kepada hukum yang berdasar keyakinan agama.

Institusi peradilan Islam juga menempati posisi yang kuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) ditetapkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Jenis peradilan tersebut meliputi peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Penjelasan pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 menetapkan bahwa peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara merupakan peradilan khusus. Kompetensinya menangani perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan-golongan tertentu. Dengan demikian peradilan agama merupakan peradilan negara, yaitu peradilan resmi yang dibentuk oleh pemerintah dan berlaku khusus untuk umat Islam.[39]

Keberadaan Peradilan Agama semakin jelas dengan ditetapkannya Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang kekuasaan Peradilan Agama. Kompetensi Peradilan Agama memiliki dua ukuran, yaitu asas personalitas dan bidang hukum perkara tertentu.[40] Dalam Bab III pasal 49-53 kewenangan Peradilan Agama meliputi bidang-bidang hukum perdata antara lain: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, serta wakaf dan sadakah. Dari bidang-bidang tersebut dapat dikatakan bahwa jurisdiksi Peradilan Agama adalah bidang hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyah).

Berdasarkan kompetensinya, maka diperlukan hukum materiil sebagai pedoman bagi para hakim Peradilan Agama dalam menjalankan tugasnya. Dalam menangani perkara, hakim Peradilan Agama menggunakan kitab fikih klasik sebagai dasar putusannya.[41] Kitab fikih yang digunakan antara satu peradilan agama dengan peradilan agama yang lain tidak sama. Hal ini mengakibatkan adanya putusan yang berbeda dalam masalah yang sama. Kondisi ini memunculkan pemikiran untuk menyusun kodifikasi hukum Islam sebagai panduan dalam menangani perkara.

Berdasarkan pertimbangan di atas, dikeluarkanlah putusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25 tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Pengembangan Hukum Islam. Proyek ini dikenal dengan Kompilasi hukum Islam di Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan melalui empat jalur, yaitu jalur kitab fikih, wawancara, jurisprudensi dan studi komparatif ke negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kitab-kitab fikih yang digunakan sebagai dasar putusan hakim dan menyesuaikannya dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum nasional.  Setelah draft disetujui, maka dikeluarkanlah Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 sebagai dasar penyebarluasannya. Inpres ini kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. Format KHI teragi ke dalam tiga buku. Buku satu berisi tentang hukum perkawinan, buku dua tentang hukum kewarisan, dan buku tiga tentang hukum perwakafan.

Keinginan umat Islam untuk memberlakukan hukum Islam semakin menguat dan melebar ke berbagai bidang. Dalam hal obat dan makanan diwajibkan memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Produk Obat dan Makanan (LPPOM) Majlis Ulama Indonesia. Di samping itu juga muncul aksi-aksi sosial untuk menegakkan hukum Islam, seperti pelarangan SDSB, kebebasan berjilbab di sekolah dan kantor dan lain-lain. Disamping itu muncul perundang-undangan yang mendukung terlaksananya hukum Islam, seperti UU No.17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.

Berdasarkan deskripsi diatas, formatisasi hukum agama Islam dalam hukum nasional dapat berupa hukum umum yang berlaku nasional atau menjadi hukum khusus yang berlaku bagi umat Islam saja. Hukum Islam yang berlaku nasional tercermin dalam UU No. 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan, PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan, dan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, di mana di dalamnya diakui keberadaan Bank Islam). Formatisasi yang berupa hukum khusus terlihat dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, UU No.17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, dan UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.



4.      Fase Aktualisasi (1998 – sekarang)

Ketika masa reformasi menggantikan orde baru (tahun 1998),  keinginan mempositifkan hukum Islam semakin kuat. Pada awalnya muncul pemikiran untuk menghidupkan lagi Piagam Jakarta. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa umat Islam adalah mayoritas di Indonesia, sehingga wajar jika hukum agamanya diberlakukan. Kondisi ini terjadi terutama di daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Nangroe Aceh Darussalam dan Makassar.

Perkembangan hukum Islam pada masa ini mengalami kemajuan. Secara riil hukum Islam mulai teraktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi masuk dalam ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya undang-undang tentang Otonomi daerah. Undang-undang otonomi daerah di Indonesia pada mulanya adalah UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, yang kemudian diamandemen melalui UU No. 31 tahun 2004 tentang otonomi daerah. Menurut ketentuan Undang-undang ini setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam bidang hukum.

Akibatnya bagi perkembangan hukum Islam adalah banyak daerah menerapkan hukum Islam. Secara garis besar, pemberlakuan hukum Islam di berbagai wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu penegakan sepenuhnya dan penegakan sebagian. Penegakan hukum Islam sepenuhya dapat dilihat di provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Provinsi ini memiliki otonomi khusus dalam menyusun dan memberlakukan hukum Islam di wilayahnya.[42] Penegakan model ini bersifat menyeluruh, karena bukan hanya menetapkan materi hukumnya, tetapi juga menstruktur lembaga penegak hukumnya. Daerah lain yang sedang mempersiapkan adalah Sulawesi Selatan (Makassar) yang sudah membentuk Komite Persiapan Penegakan Syari’at Islam (KPPSI), dan Kabupaten Garut yang membentuk Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI).[43]

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah terdepan dalam pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang nomor 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keistimewaan tersebut meliputi empat hal, (1) penerapan syari’at Islam di seluruh aspek kehidupan beragama, (2) penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan syari’at Islam tanpa mengabaikan kurikulum umum, (3) pemasukan unsur adat dalam sistem pemerintahan desa, dan (4) pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.[44]

Tindak lanjut dari undang-undang di atas adalah ditetapkannya Undang-undang Nomor 18/tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintah Aceh kemudian menindaklanjuti dengan membuat peraturan daerah guna merinci pelaksanaan dari undang-undang ini. Maka lahirlah empat perda, yaitu (1) Perda nomor 3 tahun 2000 tentang organisasi dan tata kerja Majelis Permusyawaratan Ulama, (2) Perda nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, (3) Perda nomor 6 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, dan (4) Perda nomor 7 tahun 2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat.

Fenomena pelaksanaan hukum Islam juga merambah daerah-daerah lain di Indonesia, meskipun polanya berbeda dengan Aceh. Berdasarkan prinsip otonomi daerah maka muncullah perda-perda bernuansa syari’at Islam di wilayah tingkat I maupun tingkat II. Daerah-daerah tersebut antara lain: Provinsi Sumatera Barat, Kota Solok, Padang Pariaman, Bengkulu, Riau, Pangkal Pinang, Banten, Tangerang, Cianjur, Gresik, Jember, Banjarmasin, Gorontalo, Bulukumba, dan masih banyak lagi. [45] Pada umumnya perda-perda syari’ah yang ditetapkan oleh pemda mengatur tiga aspek, yaitu: (1) menghapus kejahatan sosial seperti prostitusi dan perjudian, (2) menegakkan ibadah ritual di kalangan muslim, seperti membaca Al-Qur’an, salat jum’at, dan puasa Ramadan, dan (3) mengatur tata cara berpakaian muslim/muslimah, khususnya penggunaan jilbab dalam wilayah publik.[46].

Materi perda syari’at Islam tidak bersifat menyeluruh, tetapi hanya menyangkut masalah-masalah luar saja. Jika dikelompokkan berdasarkan aturan yang tercantum dalam perda-perda syari’at tersebut, maka isinya mencakup masalah: kesusilaan, pengelolaan Zakat, Infaq dan Sadaqah, penggunaan busana muslimah, pelarangan peredaran dan penjualan minuman keras, pelarangan pelacuran, dan sebagainya.

Fenomena munculnya perda-perda syari’at di satu sisi menunjukkan arah baru perkembangan hukum Islam di Indonesia. Namun di sisi lain banyak ekses yang ditimbulkan terkait dengan munculnya perda-perda ini. Menurut Muhyar Fanani, keberadaan perda-perda syari’at ini tidak akan berlangsung lama. Hal ini dikarenakan oleh tiga hal, Pertama, perda-perda tersebut tidak menyentuh langsung kebutuhan mendesak masyarakat seperti pemberantasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, dan sebagainya. Kedua, perda-perda tersebut belum tampak efektif terutama menyangkut perilaku para pengelola pemerintahan. Ketiga, perda-perda tersebut tidak didukung oleh nalar publik. Aturan dalam perda lebih mengedepankan kulit dan tidak menyentuh substansi syari’at. Karena terjebak pada kulit sehingga menimbulkan polemik, termasuk di kalangan umat Islam sendiri.[47]


C.     Sustainsi dan Resistensi Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia

Membaca sejarah perkembangan hukum Islam di atas, memunculkan satu pertanyaan tentang bagaimana masa depan kedudukan dan keberlakuannya di Indonesia. Jawaban pertanyaan ini tentu tidak mudah, karena harus melihat berbagai faktor yang mendukung adanya penerimaan (sustainsi) dan juga faktor yang menghambat atau melakukan resistensi. Kedua faktor ini perlu dipertimbangkan mengingat dua hal, yaitu bentuk negara dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Bentuk negara Indonesia sudah diangap final, dan pluralitas masyarakat juga sebuah kenyataan sosial. Dengan demikian yang dapat dilakukan adalah membaca berbagai peluang atau prospek sekaligus melihat penghambat bagi implementasi hukum Islam di Indonesia.

 Secara politis maupun sosiologis terdapat faktor-faktor yang dianggap sebagai peluang bagi pemberlakua hukum Islam di Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah: kedudukan hukum Islam, penganut yang mayoritas, ruang lingkup hukum Islam yang luas, serta dukungan aktif organisasi kemasyarakatan Islam. Kedudukan hukum Islam sejajar dengan sistem hukum yang lain, dalam arti mempunyai kesempatan yang sama dalam pembentukan hukum nasional. Namun, hukum Islam mempunyai prospek yang lebih cerah berdasarkan berbagai alasan, baik alasan historis, yuridis maupun sosiologis. Nilai-nilai hukum Islam mempunyai lingkup yang lebih luas, bahkan sebagian nilai-nilai tersebut sudah menjadi bagian dari kebudayaan nasional. Sedangkan hukum adalah bagian dari kebudayaan. Hukum merupakan penjelmaan dari struktur ruhaniyah suatu masyarakat atau sebagai penjelmaan dari nilai-nilai sosial budaya dari golongan yang membentuk hukum tersebut.[48]

Di sisi lain, kenyataan bahwa Islam merupakan agama dengan penganut mayoritas merupakan aset yang menjanjikan. Dengan modal mayoritas ini, umat Islam bisa masuk dalam berbagai lembaga pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, yang mempunyai kewenangan menetapkan politik hukum. Logikanya semakin banyak populasi muslim, maka semakin banyak aspirasi yang masuk dan terwakili. Namun realitas ini tidak serta merta menjadi niscaya, karena sangat tergantung pada bagaimana keinginan dan upaya umat Islam mengimplementasikannya. Perdebatan pada saat menentukan bentuk negara dapat menjadi cermin bagaimana menyatukan umat Islam dalam visi dan misi yang sama tentang pemberlakuan hukum Islam di Indonesia.

Faktor pendukung lain terletak pada cakupan bidang hukum yang luas. Dengan keluasan bidangnya, hukum Islam merupakan alternatif utama dalam pembentukan tata hukum, karena mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan hukum masyarakat. Nilai, asas dan karakteristiknya dapat menjadi landasan dan sumber hukum. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan mengabil nilai-nilai Islam yang bersifat universal (sebagai norma abstrak) untuk dijadikan sebagai konsep teoritis untuk dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Penuangannya dapat melibatkan nilai-nilai budaya lokal yang telah berlaku dalam masyarakat, sehingga warna Indonesia sebagai identitas budaya tetap terwujud.[49]

Faktor keempat yang juga penting adalah peran aktif lembaga atau organisasi Islam. Secara struktural keberadaan organisasi-organisasi Islam dalam sistem politk Indonesia menjadi pengimbang bagi kebijakan pemerintah. Kontribusi nyata dari berbagai organisasi Islam setidaknya dapat menjadi daya tawar dalam pengambilan berbagai keputusan yang menyangkut kepentingan umum. Dengan daya tawarnya organisasi Islam dapat menyalurkan aspirasi anggotanya dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan politik.

Keempat faktor di atas memberikan gambaran betapa hukum Islam memiliki peluang yang besar untuk menjadi hukum nasional. Namun semua itu tergntung bagaimana umat Islam mengelola potensi tersebut. Hal yang terpenting adalah menyatukan visi tentang Islam, terutama diantara kalangan yang disebut fundamentalis dengan meeka yang modernis atau liberalis. Tanpa kesatuan visi, maka cita-cita untuk mengimplementasikan hukum Islam hanya akan menjadi angan-angan, atau hanya tampil dalam wacana diskusi-diskusi di kalangan umat Islam.

Di samping peluang atau prospek positif di atas, perlu dicermati juga sejumlah hambatan yang menjadi penghalang bagi berlakunya hukum Islam di Indonesia. Secara sederhana faktor yang kurang mendukung prospek hukum Islam di Indonesia terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari kurang ‘kafahnya’ institusionalisasi dan pandangan dikotomis terhadap hukum Islam. Sedangkan faktor eksternalnya adalah pengaruh politik hukum pemerintah terhadap bidang-bidang hukum tertentu. 

Belum kaafaahnya pelembagaan hukum Islam di Indonesia terlihat dari pandangan dikhotomis dalam implementasinya. Hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah perdata atau hubungan antar pribadi hampir sepenuhnya mendapatkan perhatian khusus. Namun hukum-hukum selainnya seperti hukum pidana dan ketatanegaraan belum tersentuh atau minim perhatian. Sehingga penetapan peraturan-peraturan atau hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut belum ada campur tangan yang serius.[50] Hal ini tidak lepas dari peran kolonial Belanda yang melakukan represi dan eliminasi terhadap hukum Islam. Pada masa kerajaan Islam, hukum Islam berlaku sepenuhnya, dalam arti menjadi pegangan para hakim/qadhi untuk memutuskan semua jenis perkara, baik perdata maupun pidana. Intervensi penjajah dengan kekuatan politiknya menyebabkan terjadinya dikhotomis, di mana hukum pidana dan tata negara digantikan dengan sistem hukum Barat/Eropa.  

Pola dikhotomi hukum privat dan publik ini berlanjut setelah Indonesia merdeka. Pemerintah yang baru hanya memberikan kewenangan pemberlakuan hukum perdata Islam. Hukum publik tetap menjadi monopoli pemerintah, yang masih tetap memberlakukan hukum peninggalan Belanda. Pengadilan Agama, sebagai institusi resmi, hanya berwenang menangani perkara-perkara yang terjadi diantara orang-orang yang beragama Islam, dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah, wakaf serta sodaqoh yang dilaksanakan menurut hukum Islam.[51]

 Kurang melembaganya hukum publik Islam ini juga dipengaruhi oleh faktor politik hukum. Negara Indonesia bukanlah negara agama, permasalahan penetapan hukum adalah kekuasaan negara, termasuk masalah agama menjadi wewenang negara. Sehingga dalam hal ini umat Islam sepenuhnya tunduk kepada undang-undang yang diberlakukan oleh negara. Menyikapi hal ini perlu adanya penegasan kaidah agama dengan cara penegakan diri agar para penganutnya tidak melanggar ajaran agamanya. Pola penegakan hukum preventif dari kaidah agama tersebut sangat efektif dalam membantu menetapkan pola penegakan hukum negara secara prefentif-represif, agar masyarakat memahami dan mentaati kaidah hukum negara dan kaidah agama. Dengan demikian syariat Islam tidak hanya didakwahkan tetapi diaktualisasikan dan disosialisasikan guna membatasi kelemahan dan kekurangan hukum positif.


D.    Penutup

Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada dasarnya ditentukan oleh dua hal, yaitu keinginan umat Islam sendiri serta kebijakan pemerintah yang berkuasa.  Ketika kedua hal tersebut bergayut, maka pemberlakuan hukum Islam menjadi mudah. Namun sebaliknya, jika kedua hal tersebut bertentangan orientasinya, maka pemerintah menjadi pihak yang menentukan kedudukan hukum Islam. Kondisi inilah yang mewarnai sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia sejak masa awal hingga masa kontemporer sekarang. Seberapa besar keinginan umat Islam dan seberapa kuat bargaining powernya menjadi faktor yang menentukan eksistensi hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Adurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 1991

Ahmad Azhar Basyir, “Nilai-nilai Dasar Hukum Nasional”, dalam Artidjo Al-Kostar (ed), Identitas Hukum Nasional, Yogyakarta: FH UII, 1997

Amrullah Ahmad et.al., Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Pers, 1996



Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985



Ario Sosroatmojo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang,  1988



Bolland, BJ., Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: Graffiti Press, 1995.
C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, Julid II, Jakarta: Balai Pustaka, 1993
Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia, Berkeley: University of California Press, 1972
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1983
Dewi Candraningrum, “Unquestioned Gender Lens in Contemporary Indonesian Shari’ah-Ordinances (Perda Syari’ah)”, dalam Al-Jami’ah, Journal of Islamic Studies, vol. 45, no. 2, 2007 M/1428 H, hlm. 294
Eddi Rudiana Arief dkk., Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994



Faozi Barkah, “Implementasi Penegakan Syari’at Islam di Garut, Studi Atas Gerakan Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI)”, dalam Jurnal Penelitian Agama, vol. XV, No. 2 Mei-Agustus 2006
Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun, The Hague and Bandung: W. Van Hoeve Ltd., 1958
H.J. de Graaf/Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Jakarta: Grafiti Press, 1986
Muhyar Fanani, Membumikan Hukum Langit, Nasionalisasi Hukum Islam dan Islamisasi Hukum Nasional, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009.
Nur A. fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia, Medan: Pustaka Widyasarana, 1995
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995.
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Seri  XXXV, Jakarta: INIS, 1998
Riswinarno, “Pengadilan dan Peradilan di Kasultanan Yogyakarta”, dalam jurnal Thaqafiyyat, Vol.5, No.1 Januari-Juni 2004
Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1991
Supriatna, dkk., Perkembangan Berlakunya Hukum Islam di Yogyakarta, Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga, 1991
Soepomo dan Djokosutono, Sejarah Politik Hukum Adat, 1609-1848, Jakarta: Djambatan, 1955
Soepomo, Sistim Hukum Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke-II, Jakarta: Pradnja Paramita, 1972
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali, 1987.
Taufiq Abdullah (ed), Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
opo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Jakarta: Gema Insani Pers, 1996



Zulfran Sabrie (ed), Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila, Jakarta: Pustaka Antara, 1992



Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama di Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983

Kompas, 12 April 2007.

[1] Kristeningspolitiek merupakan sebutan dari kalangan umat Islam Indonesia tentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menunjang usaha kristenisasi. Lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 23

[2] Taufik Abdullah, “Adat dan Islam: Suatu Tinjauan tentang Konflik di Minangkabau”, dalam Taufiq Abdullah (ed), Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hl. 104-127.

[3] Diantara naskah tersebut adalah: Buku Peringatan 1000 hari Wafatnya Kanjeng Pengulu Tapsir Anom V, Pengulu Ageng Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Lihat Zaini Ahmad Noeh, “Kepustakaan Jawa sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, dalam Amrullah Ahmad et.al., Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), hlm. 69

[4] Ibid., hlm. 70.

[5] Ichtianto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia” dalam Eddi Rudiana Arief dkk., Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 118

[6] H.J. de Graaf/Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa (Jakarta: Grafiti Press, 1986), hlm.94

[7] Riswinarno, “Pengadilan dan Peradilan di Kasultanan Yogyakarta”, dalam jurnal Thaqafiyyat, Vol.5, No.1 Januari-Juni 2004, hlm. 45

[8] Dalam beberapa manuskrip kitab ini disebut juga Serat Angger-Angger. Isinya adalah kumpulan sumber hukum yang dipakai sebagi pedoman dalam menjalankan roda peradilan tradisional di Kasultanan Yogyakarta. Kitab ini terdiri dari enam bagian yaitu: Angger Arubiru, Angger Sadasa, AnggerRedi atau Gunung, Angger Nawala Pradata Dalem, Angger Pradata Akhir, dan Angger Ageng. Selengkapnya lihat Ibid., hlm. 38-41

[9] Supriatna, dkk., Perkembangan Berlakunya Hukum Islam di Yogyakarta (Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga, 1991), hlm. 75-76

[10] Riswinarno, Pengadilan dan Peradilan…, hlm. 47

[11] Karel Stenbrink, Kitab Suci atau Kertas Toilet? Nuruddin Ar-Raniry dan Agama Kristen (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 5.

[12] A Hasjmi, 50 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 109.

[13] Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Umat Islam di Nusantara, Sejarah dan Perkembangannya Hingga Abd ke-19 (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), hlm. 127.

[14] Karel Stenbrink, Beberapa Aspek Islam Indonesia Abad ke -19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 100.

[15] Abdurrahman Wahid, “Pengembangan Fiqh yang Kontekstual”, dalam Pesantren, No. 2/Vol. II/ Tahun 1985, hlm. 4.

[16] Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Seri  XXXV, (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 30

[17] Idris Ramulyo, Azas-azas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 145-146.

[18] Supomo dan Djokosutono, Sejarah Politik Hukum Adat, 1609-1848 (Jakarta: Djambatan, 1955), hlm. 30

[19] Ichtianto, Pengembangan Teori…,hlm. 119

[20] Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 108.

[21] Karya van den Berg dalam bidang hukum Islam antara lain Mohammedaansch Recht, yang berisi tentang asas-asas hukum Islam menurut ajaran Syafi’i dan Hanafi (1882), dan tentang hukum famili dan hukum waris Islam di Jawa dan Madura (1892). Dia juga menerjemahkan kitab Fathu al-Qarib dan Minhaaj at-Thalibin ke dalam bahasa Perancis. Lihat dalam Ichtianto, Pengembangan Teori…, hlm. 121

[22] Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam…, hlm. 131

[23] Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 84

[24] A. Wasit Aulawi, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam…, hlm. 55

[25] Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia (Berkeley: University of California Press, 1972), hlm. 18-19

[26] Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun (The Hague and Bandung: W. Van Hoeve Ltd., 1958), hlm. 20-26

[27] C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, Julid II (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm.6

[28] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam…, hlm. 132

[29] R. Soepomo, Sistim Hukum Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke-II (Jakarta: Pradnja Paramita, 1972), hlm. 85

[30] Aqib Suminto, Politik Islam…, hlm30-31

[31] Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam…, hlm. 37

[32] Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama di Indonesia (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983), hlm. 44

[33] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam…, hlm. 133

[34] Tujuh kata tersebut berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

[35] Pasal 29 ayat (1) berbunyi: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

[36] Deliar Noer, Administrasi Islam…, hlm. 13-14

[37] Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), hlm 27

[38] Berdasarkan Tap MPR No. II/MPR/1973, No. II/MPR/1978, No.IV/MPR/1982 dan No.II/MPR/1988.

[39] Yusril Ihza Mahendra, “Kedaulatan Negara dan Peradilan Agama”, dalam Zulfran Sabrie (ed), Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila (Jakarta: Pustaka Antara, 1992), hlm. 41

[40] Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm. 25-27

[41] Diantara kitab-kitab fikih yang digunakan adalah: Kifayat al-Ahyar, Fathu al-Mu’in, Syarh al-Tahrir, Syarh Kanz al-Raghibin, Fathu al-Wahab, Tuhfat al-Muhtaj, Targhib al-Mustaq, Qawanin as-Syar’iyah, Al-Faraid, Bughyat al-Mustarsyidin, Kitab al-Fiqh Ala al-Mazahib al-Arba’ah, dan Mughni al-Muhtaj. Lihat dalam Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Keranghka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia (Medan: Pustaka Widyasarana, 1995), hlm. 135

[42] Dasar pelaksanaannya adalah UU No. 44 tahun 1999 tentang kewenangan Aceh memberlakukan syari’at Islam.

[43] Tentang LP3SyI baca Faozi Barkah, “Implementasi Penegakan Syari’at Islam di Garut, Studi Atas Gerakan Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI”, dalam Jurnal Penelitian Agama, vol. xv, no. 2 Mei-Agustus 2006, hlm. 309

[44] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 109.

[45] Kompas, 12 April 2007.

[46] Lihat dalam Dewi Candraningrum, “Unquestioned Gender Lens in Contemporary Indonesian Shari’ah-Ordinances (Perda Syari’ah)”, dalam Al-Jami’ah, Journal of Islamic Studies, vol. 45, no. 2, 2007 M/1428 H, hlm. 294

[47] Fanani, Membumikan Hukum Langit, Nasionalisasi Hukum Islam dan Islamisasi Hukum Nasional (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), hlm. 167.

[48] Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat (Jakarta: Rajawali, 1987) , hlm. 33

[49] Dalam hukum Islam dikenal kaidah al-adat al-muhakkamah, adat itu dihukumkan. Artinya adat atau kebiasaan masyarakat (budaya lokal) adalah sumber hukum dalam Islam. Hal ini menunjukkan kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal. Unsur budaya lokal yang bisa digunakan sebagai sumber hukum adalah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Lihat Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 150.

[50] Pada masa-masa menjelang proklamasi kemerdekaan memang ada usaha untuk menjadikan hukum Islam sebagai ideologi atau dasar negara. Tetapi usaha ini gagal karena tidak didukung oleh golongan nasionalis yang anggotanya sebagian besar beragama Islam dan golongan non muslim. Kemudian muncul berbagai pemberontakan yang bertujuan mendirikan negara Islam seperti gerakan DI/TII. Namun usaha ini juga tidak berhasil. Setelah Indonesia merdeka belum ada perhatian yang khusus mengenai bidang hukum pidana dan ketatanegaraan. Hal ini disebabkan karena umat Islam sudah menerima konstitusi yang ada, di samping juga mulai mundur dari arena politik untuk lebih konsentrasi dibidang sosial budaya. Lihat BJ Bolland, Pergumulan Islam di Indonesia (Jakarta: Graffiti Press, 1995), hlm. 170-172.

[51] Mengenai kekuatan absolute PA selengkapnya terdapat pada pasal 49 dan 50 UU No.7/1989
Itulah PERIODE SEJARAH HUKUM ISLAM DI INDONESIA,
Semoga Menghibur dan Bermanfaat,
Oleh : www.armhando.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...