Rabu, 08 Mei 2013

Perkembangan Bank Syariah di Indonesia

Oleh: Asep

Kehadiran Bank Syariah Mandiri sejak tahun 1999, sesungguhnya merupakan hikmah sekaligus berkah setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997-98. Sebagaimana diketahui, krisis ekonomi dan moneter sejak tahun 1997, yang disusul dengan krisis multi-dimensi termasuk di panggung politik nasional telah menimbulkan beragam dampak negatife yang sangat hebat terhadap seluruh tatanan ekonomi negara.
Kondisi perbankan yang mengalami likuiditas mendorong dunia perbankan untuk menaikan suku bunga yang tinggi di mana hal tersebut ditujukan untuk menarik dana para nasabah agar menanamkan dananya di bank dengan iming-iming mendapatkan bunga yang lebih tinggi. Bahkan perbankan konvensional menawarkan kepada kreditur nilai nominal bunga yang di dapat sebesar 60%. Hal ini mengakibatkan perbankan konvensional menjadi tempat yang tidak menyenangkan bagi pelaku usaha yang ingin meminjam dana untuk kebutuhan produktif maupun konsumtif sehingga banyak bank yang diguncang isu yang menyebabkan rush dan berkurangnya kepercayaan rakyat terhadap bank. Guna menjamin dan memulihkan kepercayaan tersebut banyak bank yang ditutup atau diambill alih oleh pemerintah. Karena dibutuhkan biaya yang besar melalui program restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan.
Upaya intensif pendirian bank Islam disebut oleh peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai “Bank syariah” di  Indonesia dapat ditelusuri sejak 1988, yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang mengatur deregulasi perbankan di Indonesia. Setelah adanya rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua (Bogor) pada 19-22 Agustus 1990, yang kemudian diikuti dengan diundangkannya UU No. 7/1992 tentang Perbankan  di mana perbankan bagi hasil mulai diakomodasi, maka berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang merupakan bank umum Islam pertama yang beroperasi di Indonesia. Sejak saat itulah perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menjadi salah satu pilar penyangga ekonomi bangsa dan Negara yang berfalsafahkan Pancasila, di samping tetap menjaga eksistensi ekonomi syariah yang telah berjalan pada bank konvensional yang ada selama ini.
Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) merupakan fenomena yang cukup menarik di tengah-tengah upaya bangsa kita keluar dari krisis ekonomi. Industri perbankan syariah tumbuh dengan berbagai produknya di tengah-tengah masyarakat untuk berinvestasi di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan menerapkan sistem ekonomi syariah dalam aktivitas ekonominya.
Selama  Lebih dari enam tahun beroperasi, kecuali UU No. 7/1992 dan Peraturan Pemerintah No. 72/1992 praktis tidak ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mendukung beroperasinya Perbankan Syariah. Ketiadaan perangkat hukum pendukung ini memaksa perbankan syariah menyesuaikan produk-produk mereka dengan hukum positif (peraturan umum perbankan) yang berlaku di Indonesia, yang notabene berbasis bunga/konvensional. Akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat padanya menjadi tersamar dan Bank Islam di Indonesia tampil seperti layaknya Bank Konvensional. Dengan diundangkannya UU No. 10/1998 tentang Perubahan UU No. tentang perbankan, maka secara tegas Sistem Perbankan Syariah ditetapkan sebagai bagian dari Sistem Perbankan Nasional. UU tersebut telah diikuti dengan ketentuan pelaksanaan dalam beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yaitu tentang Bank Umum, Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR berdasarkan prinsip syariah.
Keleluasaan yang diberikan oleh perundang-undangan yang baru tersebut telah mendapat tanggapan yang positif dari kalangan perbankan yang kemudian munculah Bank Syariah Mandiri (BSM) yang merupakan bank umum yang beroperasi secara penuh berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Sebagai lembaga intermediasi, bank konvensional menerima simpanan dari nasabah dan meminjamkannya pada nasabah (unit ekonomi) lain yang membutuhkan dana. Atas simpanan dana para nasabah itu, bank memberi imbalan berupa bunga. Demikian pula, atas pemberian pinjaman itu bank mengenakan bunga kepada para peminjam. Diakui bahwa peran bank konvensional itu telah mampu memenuhi kebutuhan manusia dan aktivitas perbankan dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada pelaksanaan kegiatan tolong-menolong dan menghindari adanya dana-dana yang menganggur (idle) sesuai dengan pelaksanaan dua ajaran al-Qur’an yaitu:
1)        Prinsip at-Ta’awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama di antara anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam al-

“…..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….” (QS 5:2).
2)        Prinsip menghindari Al-Iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan membiarkannya menganggur (idle) dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum, sebagaiman dinyatakan dalam al-Qur’an:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu….” (QS 4:29).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...