Senin, 29 Juli 2013

Kaidah-Kaidah Lughawiyyah dalam Islam

KAIDAH–KAIDAH LUGHAWIYAH
DALAM MEMAHAMI SUMBER HUKUM ISLAM
Oleh : Turmudi 
NIM : 06 EKNI 1023


  1. Pendahuluan
           Nash-nash  al Quran dan Hadis adalah berbahasa Arab, untuk memahami hukum dari kedua nash tersebut secara sempurna lagi benar tentunya haruslah memperhatikan pemakaian uslub-uslub (gaya bahasa) bahasa Arab dan cara penunjukan lafadz nash kepada artinya. Oleh karena itu para ulama ahli Ushul Fiqh mengarahkan perhatiannya kepada penelitian terhadap uslub-uslub dan ibarat-ibarat bahasa Arab yang lazim dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan Arab dalam menggubah syair dan menyusun prosa.
Dari kajian itu, para ulama Ushul Fiqh menyusun kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipergunakan untuk memahami nash-nash syari’at secara benar sesuai dengan pemahaman orang Arab itu sendiri, yang mana nash-nash itu diturunkan dalam bahasa mereka.
Ulama tersebut dalam pembahasannya memulai dari makna-makna dari suatu lafadz, karena lafadz-lafadz itu dalam bahasa adalah diciptakan untuk menyatakan makna-makna tertentu. Mereka membagi lafadz dalam hubungannya dengan makna kepada beberapa bagian.
Ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuk lafadz itu dibagi menjadi 3 bagian yaitu : Khash, Amm dan Musytarak. Ditinjau dari segi makna yang dipakai untuknya lafadz itu dibagi menjadi 4 bagian yaitu : Hakikat, Majaz, Sharih dan Kinayah. Ditinjau dari terang dan tersembunyinya makna, maka lafadz itu dibagi menjadi 2 bagian yaitu : Dhahir dan Khafi. Sedangkan ditinjau dari cara-cara penunjukan lafadz kepada makna menurut kehendak pembicara, lafadz itu dibagi menjadi 4 bagian yaitu : Dalalah ibarat, Dalalah isyarat, Dalalah dalalah dan Dalalah iqtidha’.[1]
Namun dalam makalah ini hanya akan membahas hubungan lafadz dengan makna ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuknya, yaitu : Khash, Amm dan Musytarak.
  1. Khash :
a.       Arti dan Hukum Lafadz Khash
Arti lafadz Khash adalah lafadz yang diciptakan untuk memberi pengertian satu satuan yang tertentu, baik menunuk pada pribadi seseorang, menunjuk macam sesuatu, menunjuk jenis sesuatu, menunjuk benda kongkrit, menunjuk benda yang abstrak atau penunjukan arti kepada satu satuan itu secara hakiki, atau secara I’tibari ( lafadz yang diciptakan untuk memberi pengertian banyak yang terbatas) seperti : tsalatsatun, mi’atun, jam’un dan fariqun.
Adapun hukum lafadz khash dalam nash syara’ adalah menunjuk kepada dalalah qath’iyah terhadap makna khusus yang dimaksud, dan hukum yang ditunjuknya adalah qath’I bukan zhanni, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna lain.
Contoh hukum lafadz tersebut adalah :
فمن لم يجد فصيام ثلا ثة ايام فىالحج    ……tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu)Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..(Qs.al Baqarah 196)
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       قلنا يانار كونى بردا وسلاما على ابراهيم                                                                                                                                                       
                                                                           فى كل اربعين شاة شاة   
Dan selain itu diantara dalil-dalil yang berhubungan dan tidak terpisah dari nash al ‘Am, yang paling jelas adalah istisna’(pengecualian),syarat,sifat dan al goyah.[2],artinya bahwa mukhashish ini tidak dapat berdiri sendiri sehingga maknanya berhubungan dengan sebelumnya (muttashil). Contohnya dalam al Qur’an adalah sebagai berikut :

                        الا ان تكون تجارة حا ضرة تد يرونها بينكم فليس عليكم جناح ان لا تكتبوها       

                        …kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kami jalankan
                        Diantara kamu, maka tak ada dosa lagi bagi kamu jika kamu tidak
                        Menulisnya ( Q.s al Baqarah 282)

واذا ضربتم فى الارض فليس عليكم جناح ان تقصروا من الصلواة ان حفتم انيتنكم الذ ين كفروا.

            Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidaklah mengapa
            Kamu mengkosorkan shalat mu jika kamu takut diserang orang kafir
            ( Q.s an Nisa’ 101)
                                                                   من نسا ئكم اللا تى دخلتم بهن               
            …Dari isterimu yang telah kamu campuri (Q.s an Nisa’ 23 )

                                                                                    وايد يكم الى المرا فق    
… dan tanganmu sampai dengan siku (Q.s. al Maidah 6)
Lafadz Khash itu kadang datang secara mutlak, tanpa diikuti oleh suatu syarat apapun, dan kadang muqayyad yakni dibatasi dengan suatu syarat. Kadang juga datang dengan shighat (bentuk) amr yakni  tuntutan untuk dilakukan suatuy perbuatan, dan juga terkadang dengan shighat nahi yang melarang mengerjakan suatu perbuatan.[3]
Pengertian lafadz khash yang mutlak adalah lafadz khash yang tidak diberi qayyid (pembatasan) yang berupa lafadz yang dapat mempersempit keluasan artinya, contoh :

فتحر ير رقبة من قبل ان يتما سا
 
….Maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak
Sebelum kedua isteri itu bercampur ….(Q.s al Mujadalah 3)

Sedangkan pengertian lafadz khash yang muqayyad adalah lafadz khash yang diberi qayyid yang berupa lafadz yang dapat mempersempit keluasan artinya, contoh :

ومن قتل مؤمنا خطا فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة الى اهله

…Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena salah hendaklah
Ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar
Diyah yang diserahkan kepada keluarganya ( Q.s an Nisa’ 92)

Adapun lafadz khash yang berbentuk Amr adalah dipergunakan oleh orang lebih tinggi kedudukannya untuk menuntut kepada orang yang lebih rendah derajatnya agar melakukan suatu perbuatan. Bentuk-bentuk lafadz amar itu adalah fi’il amr, fi’il mudhri’ yang dimasuki lam amr, sesuatu yang diperlakukan sebagai fi’il amr dan jumlah khabariyah yang diartikan selaku jumlah insyaiyah (kalimat yang mengandung tuntutan)dan ushlub yang dipakai oleh al Qur’an dalam menuntut untuk melakukan suatu perbuatan.[4]Contoh adalah sebagai berikut :
ولتكن منكم امة يد عون الى الخير وياء مرون بالمعروف وينهون عن المنكر والئك هم المفلحون        
يا ايها الذ ين امنوا عليكم انفسكم لا يضر كم من ضل اذا هتد يتم                                                 
والمطلقات يتر بصن با نفسهن ثلا ثة قروء                                                                          
ان الله ياء مركم ان تؤ دوا الاما نات الى اهلها                                                                      
 علمنا ما فر ضنا عليهم فى ازوا جهم                             

Sedangkan lafadz khash yang berbentuk nahi (larangan) adalah digunakan untuk menuntut agar meninggalkan suatu perbuatan. Bentuk-bentuknya adalah fi’il mudhari’ yang disertai la nahiyyah, jumlah khabariyah yang diartikan selaku jumlah –insyaiyyah dan ushlub yang dipakai dalam menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan. Contohnya adalah sebagai berikut :
لا تفسدوا فى الا رض                                                                                               
ولا يحل لكم ان تاء خذ وا مما اتيتمو هن شياء                                                                   
ولا تقربوا ما ل اليتيم الا با لتى هى ا حسن

3.‘Am :
           
Arti al ‘am secara terminologi adalah suatu lafadz yang maknanya meliputi satuan-satuan yang berhubungan dengan makna itu tanpa batas.[5] Contoh lafadz itu :

الزا نية والزانى فا جلد وا كل وا حد منهما ما ئة جلد ة                                                              
والسا رق والسا رقة فا قطعوا ايد يهما                                                                                    
Sedangkan menurut bahasa berarti menunjukkan atas mencakup dan menghabiskan semua satuan-satuan yang ada di dalam lafadz itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan itu. Maka lafadz  كل عقد  (setiap akad) di dalam pendapat ahli hukum Islam yang berbunyi “ untuk sahnya setiap akad disyaratkan sifat keahlian (kecakapan,cakap bertindak) dari pada orang-orang yang melakukan akad” sehingga lafadz ‘am yang menunjukkan atas tercakupnya segala sesuatu yang bisa dikatakan akad dengan tanpa membatasi pada kad tertentu.
Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa keumuman itu adalah termasuk sifat lafadz, karena keumuman itu merupakan dalalah lafadz atas mencakupnya kepada semua satuan-satuannya.

3.1.Jenis-Jenis Bentuk Lafadz ‘Am

Jenis dan ragam lafadz ‘am adalah
- Lafadz متى    اين  ما   من    contoh dalam al qur’an adalah :

و ما تنفقوا من خير يو ف اليكم و انتم لا تظلمون                                 ان يعمل سو ءا يجز به                                                                                        
- lafadz       اى     كل   contoh dalam al Qur’an adalah :
كل نفس ذائقة الموت                                                                 ايا ما تد عوا فله الا سماء الحسنى                                                                                                                                  
-    Lafadz jama’ yang dita’rifkan dengan ‘idhafah atau dengan alif lam jinsiyah,contoh:

للر جال نصيب مما ترك الوالدان والاقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان والاقربون                          

-    Isim mufrad yang dita’rifkan dengan alif lam jinsiyah, isim-isim maushul seperti dalam contoh :
واحل الله البيع وحرم الربا                                                                                                                                                                                     
والذين يتو ؤون منكم ويذ رون ازواجا ىتربصن با نفسهن اربعة اشهر وعشر                                

واللائ يءسن منالمحيض من نسا ئكم ان ارتبتم فعد تهن ثلا ثة اشهر                                           
-    Isim-isim istifham dan isim nakirah, seperti dalam contoh :

قا لوا من فعل هذا با لهتنا                                                                                                 
ما ذا ارادالله بهذا مثلا                                                                                                      
لا هجرة بعد الفتح                                                                                                          
3.2.Macam-Macam al ‘Am :

Ditinjau dari penggunaannya, lafadz ‘am ada 4 (empat) macam yaitu :
1.      ‘Am yuradu bihi ‘amm ( yang benar-benar dimaksudkan untuk umum) yaitu yang disertai qarinah yang menghilangkan kemungkinan untuk dikhususkan, contoh :

وما من دابة فى الارض الاعلى الله رز قها                                                                      وجعلنا من الماء كل شيء حى                                                                  
2.      ‘Amm Yuradu bihi Khusus ( ‘amm tapi yang dimaksudkan adalah khusus), yaitu ‘amm yang disertai qarinah yang menghilangkan arti umumnya dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘amm itu adalah sebagian dari satuannya, contohnya :
و لله على الناس حج البيت                                                                      
             3.   ‘Amm Makhsush (‘Amm yang khusus untuk ‘amm),
yaitu ‘amm yang mutlak, artinya ‘amm yang tidak disertai qarinah yang menghilangkan kemungkinan dikhususkan dan tidak disertai pula qarinah yang menghilangkan keumumannya. Nash-nash yang didatangkan dengan sighat umum tidak disertai qarinah, sekalipun qarinah lafdziah, akliyah dan ‘urfiyah yang menyatakan keumumannya atau kekhususannya. Contoh pada lafadz al Muthallaqa tu ini :
           
            والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء                                    
              4.  Qashrul ‘Amm (mempersempit arti ‘amm) yaitu dipersempit perluasan   artinya     kepada sebagian satuannya dengan salah satu dari 4 hal yaitu :
a.       Kalam mustaqil munfasil (kalimat sempurna yang berdiri sendiri tetapi terpisah   dengan kalimat yang pertama) contoh :
والذين يرمون المخصنات ثم لم ياء توا باربعية شهداء فاجلدوا هم ثمانين جلدة               
b.      Kalam mustaqil muttashil (kalimat sempurna yang berdiri sendiri tetapi kalimat itu masih bersambung) contoh:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضا او على سفر فعدة من ايام اخر             
c.       kalam ghair mustaqil (kalimat yang tidak berdiri sendiri atau kalimat tidak sempurna)
d.      Maa laisa bikalam ( bukan berupa kalimat), contoh :
قل الله خا لق كل شيئ                   تد مركل شيئ بامره                 واتوا حقه يوم حصاده




4. Musytarak
4.1.Pengertian Musytarak
Musytarak menurut bahasa berarti sesuatu yang dipersekutukan adapun maknanya menurut istilah (term) adalah :
اللفض المو ضو عة لحققيقتين مختلفتين او اكثر                                              
lafadz yang diciptakan untuk dua hakikat (makna) atau lebih yang kontradiksi”
Sehingga perbedannya dengan lafadz Amm atau khash, bahwa amm adalah lafadz yang diciptakan untuk satu makna dan makna yang satu itu mencakup satuan-satuan makna yang tidak terbatas meskipun dalam kenyatannya dapat terbatas, khash adalah lafadz yang diciptakan untuk satu satuan dari satuan-satuan yang terandung dalam suatu makna.
Adapun musytarak adalah dicipta untuk beberapa makna yang penunjukannya kepada makna itu dengan cara pergantian.[6]Contohnya seperti lafadz ‘ain (عين ) yang secara bahasa mempunyai makna-makna antara lain : mata untuk melihat, mata air dan mata-mata begitupun juga dengan lafadz quru’ (قر ء) yang secara bahasa juga mempunyai makna lebih dari satu yaitu : suci dan menstruasi(haid) seperti :
و المطلقت يتر بصن با نفسهن ثلثت قرو ء                                                   
4.2.Sebab – Sebab Timbulnya Lafadz Musytarak
                        Yang menyebabkan lafadz itu menjadi musytarak antara lain adalah :
1.      Lafadz itu digunakan oleh satu suku dengan suku yang lain berbeda maknanya dan kemudian sampai kepada kita dengan kedua makna itu tanpa ada keterangan dari hal p[erbedaan yang dimaksud oleh penciptanya. Misalnya lafadz “ yad” satu kabilah memaknai dengan hasta seluruhnya tapi yang lain adalah telapak tangan sampai siku atau telapak tangan saja.
2.      lafadz itu diciptakan menurut hakikatnya untuk satu makna kemudia dipakai pula kepada makna lain tetapi secara majazi (kiasan)
3.      Lafadz itu semula diciptakan untuk satu makna kemudian dipindahkan kepada istilah syar’I untuk arti yang lain.[7]

4.3. Hukum Lafadz Musytarak
            Apabila terdapat persekutuan arti lafadz musytarak pada suatu nash syar’i itu terjadi antara makna lughawi dengan makna ishtilahi syar’i maka hendaklah diambil makna menurut istilah syar’i. Misalnya lafadz “ shalat” yang menurut bahasa diartikan dengan do’a dan menurut syara’ diartikan ibadah yang sudah tertentu itu, maka dalam hal ini hendaklah diartikan menurut arti istilah syar’i.
Dan apabila persekutuan arti lafadz musytarak pada suatu nash syar’i itu terjadi antara beberapa makna lughawi, maka seseorang wajiblah berijtihat untuk menentukan arti yang dimaksud, sebab syari’ tidak menghendaki seluruh arti lafadz musytarak melainkan salah satu arti dari beberapa arti yang banyak itu. Dalam hal ini mujtahid harus sanggup menunjukkan qarinah atau dalil yang dapat menentukan arti yang dikehendaki.[8]
Jika tidak ada qarinah yang menunjukkan kepada arti yang dimaksud, maka para ulama berlainan pendapat dalam menentukan arti yang dikehendaki :
a.       Menurut ulama hanafiyah dan sebagian Syafi’iyah, lafadz musytarak itu tidak dapat digunakan untuk seluruh arti yang banyak itu dalam satu pemakaian. Andai kata dimaksud untuk arti keseluruhan, lafadz itu disebut  ‘amm, bukan musytarak lagi dan bukan pula majaz
b.      Menurut jumhur ulama aliran Syafi’iyah dan sebagian Mu’tazilah, bila tidak ada qarinah yang menunjukkan kepada arti yang dikehendaki, maka lafadz musytarak itu hendaklah diartikan kepada seluruh artinya, selagi arti-arti itu dapat digabungkan. Seperti dalam Q.S al Hujjaj 18 :
ا لم ترا ان الله يسجد له من في السموات و من في لارض
Lafadz “yasjudu” dalam ayat tersebut adalah musytarak artinya antara makna “meletakkan dahi diatas tanah” dengan “ketundukan pada sunnah Allah”. Arti keduanya memang dikehendaki, sebab kalau diartikan menurut arti yang pertama saja tentu perbuatan itu tidak bisa dijalankan oleh benda-benda yang tidak berakal dan bukan pula diartikan menurut arti yang kedua saja, sebab tentu tidak layaklah dikhitabkan Tuhan.

5. Penutup.

Demikian makalah yang serba singkat ini, pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna maka masukan dan respon dari kawan-kawan adalah hal yang saya harapkan untuk menyempurnakan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA


            Al Qattan, Mana’ : Mubahits fi “ulumul Qur’an; Mansyuratul ‘asharil Hadist, Beirut, tt.
            Farid, Miftah dan Agus Syihabuddin : al Qur’an Sumber Hukum Islam Yang Pertama, Bandung, Pustaka tahun 1989.
            Khallaf, Abdul Wahab : al Ilmu Ushul al Fiqh, terj. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fikih), cet III, Jakarta, Raja Grafindo Persada tahun 1994.
            Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam, Cet III, Bandung, al Ma’arif tahun 1993.
           


[1]Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman : Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,(Bandung, al Ma’arif) cet ke 3 Tahun 1993.h. 178-180
[2]Abdul Wahab Khallaf : Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul fiqh), terj, Ilmu Ushulul Fiqh (Jakarta, Raja Grafondo Persada 1993) cet ke 3 h. 310
[3]Yahya dan Fatkhurrahman, Dasar-Dasar  h.183
[4]Ibid. h. 191 - 192
[5]Mana’ al Qattan : Mabahits fi ‘Ulumuil Qur’an ; Mansyuratul ‘Ashril Hadist, Beirut tt, h. 221
[6]Miftah Faridl dan Agus Syihabuddin : Al Qur’an Sumber Hukum Islam Yang pertama, ( Bandung, Pustaka, 1989 ) h. 186  
[7]Yahya dan Fatkhurrahman, Dasar-Dasar …… h.225
[8]Ibid. 256 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...