Minggu, 25 Agustus 2013

Menembus Rimba Baduy

Oleh: Abdurrahman



Pegunungan Kendeng di Banten Kidul adalah sebuah kawasan tempat tinggal bagi suku terasing Baduy. Pegunungan ini memanjang dari mulai ujung barat pulau Jawa hingga mencapai wilayah Bogor, Cianjur, Bandung, Tasikmalaya, Garut hingga ke Cirebon. Pegunungan dengan alamnya yang masih terjaga dan hutan alam yang memberikan penghidupan bagi masyarakat Baduy khususnya yang tinggal di wilayah Kanekes. Adat-istiadat yang melarang untuk merusak hutan menjadikan wilayah ini sangat lebat dengan pepohonan besar, apalagi pada bagian timur dan selatan.
Eksotika pegunungan Kendeng seperti magnet yang menarik dengan kuat hasratku untuk menaklukannya. Dengan perbekalan apa adanya saya nekat berangkat ke sana dengan hanya bermodalkan uang beberapa puluh ribu rupiah. Perjalanan saya awali dengan naik kereta butut jurusan Tanah Abang Rangkas Bitung. Kereta kelas ekonomi dengan bagian belakang khusus digunakan untuk para pedagang buah pisang, salak, singkong dan bahkan kambing sebagai muatannya. Kereta ini memiliki harga tiket hanya Rp 4000 rupiah dengan perjalanan kurang lebih 2,5 Jam.
Perjalanan dengan menggunakan kereta adalah awal dari petualangan saya ke rimba Baduy. Keadaan penumpang kereta yang sesak ditambah dengan para pedagang asongan yang hilir mudik berteriak-teriak menjajakan dagangan. Para pengamen dan pengemis juga tidak kalah menjajakan suaranya yang semakin sumbang karena dari pagi suara itu sudah dinikmati oleh ribuan penumpang kereta sebelumnya. Beberapa anak muda dengan muka yang memelas menyapu sampah-sampah yang ada di bawah tempat duduk penumpang. Dengan tangan yang menjulur mereka memohon belas kasihan dari para penumpang yang sebenarnya juga membutuhkan belas kasihan. Seperti pada umumnya penumpang kereta api kelas super ekonomi memiliki langganan tetap para penumpang dari kalangan menengah ke bawah dengan perilaku dan gaya hidup yang apa adanya.
Sungguh keadaan yang tidak menyenangkan ketika naik kereta jenis ini, bukan hanya tingkah laku para pedagang yang sering kali menjajakan dagangannya tidak sopan, namun juga para pengamen dan pengemis yang cenderung memaksa para penumpang untuk memberikan donasinya. Namun yang lebih menyesakan dada adalah asap rokok yang mengepul di hampir seluruh sudut gerbong. Jika zaman dahulu kereta akan ngebul mengeluarkan asap hitam di atasnya maka saat ini setiap gerbong kereta ngebul karena sebagian besar penumpangan merokok. Tentu saja ini adalah sebuah perjuangan berat untuk bisa bernafas dengan udara segar tanpa terpolusikan oleh racun-racun yang berada di setiap kepulan asap rokok tersebut.
Setelah menahan penderiataan selama menaiki kereta kelas ekonomi tersebut akhirnya saya sampai juga di Stasiun Rangkas Bitung. Seluruh tubuh yang pegal-pegal dan nafas yang sesak akhirnya bisa bebas ketika menjejakan kaki di lantai stasiun tersebut. setelah keluar dari stasiun saya berjalan ke arah kanan, saya yakin ini adalah jalan yang benar. Panggilan dari para tukang ojek yang menawarkan jasa ojek tidak saya gubris, dalam hati saya berfikir “boro-boro buat ngojek buat makan aja mikir dulu”. Memang benar kerterbatasan uang yang saya bawa memaksa saya untuk sedikit “berpuasa” dengan tidak sembarangan jajan di luar “nanti sakit perut” begitu kata ibu biasanya. Nasehat ini sepertinya cocok buat keadaanku saat ini. Setelah berjalan ke sebelah kanan stasiun dan melewati kembali rel kereta akhirnya saya naik mobil angkutan umum jurusan Terminal Aweh. Syukurlah waktu itu BBM belum naik jadi ongkosnya masih Rp 2000. Selanjutnya saya mencari mobil elf untuk jurusan Ciboleger, sebuah mobil ¾ terparkir di sebuah terminal yang sepi dengan penumpang yang terbatas. Maklum terminal daerah sehingga mobil-pun hanya beberapa yang terparkir.
Saya sempat bertanya kepada salah satu pedagang asongan di sana, katanya mobil ke Ciboleger hanya 3 kali ada. Keberangkatan pertama pukul 10.00 atau 11.00 selanjutnya pukul 12.00-13.00 dan kadang-kadang ada tambahan kalau hari sabtu dan ahad. Ah… penderitaan saya bertambah lagi, ternyata mobil tersebut lama sekali berangkat saya sudah menunggu kurang lebih 2 jam mobil tersebut belum juga berangkat. Ketika kesabaran ini hampir habis baru seorang sopir menyalakan mesin, namun ternyata bukan untuk berangkat tetapi hanya menarik perhatian penumpang yang masih berjumlah 5 orang. Butuh waktu 0,5 jam lagi untuk bisa meninggalkan terminal yang sepi itu hingga akhirnya setelah penumpang dirasa cukup mobil tersebut melaju kea rah timur. Baru beberapa injakan gas oleh supir mobil itu mengambil jalan pinggir dan berhent tepat di depan toko Indomaret, lagi-lagi mobil itu mencari penumpang tambahan. Beberapa puluh menit saya terpaku di dalam mobil itu, perasaan jengkel dan kesal begitu berkecamuk dalam dada ini. Namun tidak ada yang bisa saya lakukan selain bersabar, semoga saja penumpang yang lain segera naik dan mobil ini segera berangkat.
Akhirnya doa saya terkabulkan mobil itu perlahan beranjak dengan jalan-jalan aspal yang telah mengelupas sehingga kerikilnya bertebaran terlindas ban mobil tersebut. entah sudah menjadi tradisi atau terpaksa ketika mobil itu berjalan kurang lebih 500 meter ia berbelok ke sebelah kanan, ke sebuah pom bensin yang ramai oleh mobil-mobil lain yang mengular untuk mengisi bahan bakarnya. Lengkap sudah penderitaan saya. Seperti di kereta tadi lagi-lagi nafas saya terasa sesak dengan dua orang bapak yang dengan santainya merokok di sebelah saya. Saya selalu teringat dengan sebuah pesan di media masa bahwa perokok pasif lebih berbahaya dari perokok aktif “Kalau begitu kenapa saya ga jadi perokok aktif saja” hixhixihixix
Kurang lebih memerlukan waktu kurang lebih 2,5 jam untuk sampai ke Ciboleger tempat awal perjalanan nekat saya ke rimba Baduy. Tidak seperti yang saya bayangkan ternyata jarak ke wilayah Baduy dalam harus melewati hutan rimba dan naik gunung turun gunung yang sangat jauh. Cerita itu saya dengar dari seorang teman yang pernah datang ke rimba Baduy. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...