Senin, 02 September 2013

Hubungan Sunda, Melayu dan China

"SUNDA-MELAYU-CINA"
Prof. Undang A Darsa

Nama sunda pertama kali ditemukan tercatat hingga kini terdapat pada prasasti masa pemerintahan Suryawarman (535-561 M) raja Tarumanagara ke-7 yang ditemukan dari tepi sawah di kampung Pasirmuara (Cibungbulang) desa Kebonkopi distrik Leuwiliang Bogor. Lokasi itu sekitar satu kilometer dari tempat prasasti Ciaruteun peninggalan Purnawarman (395-434 M) raja Tarumanagara ke-3 (band. Danasasmita, 1984: 24). Para arkeolog dan filolog umumnya sepakat bahwa batu bertulis itu berbahasa Melayu Kuno dan disebut sebagai prasasti Juru Pangambat atau Kebonkopi II, namun sayangnya prasasti tersebut kini telah hilang?! F.D.K. Bosch (1941: 49-53) mempelajarinya melalui lembar foto yang dimuat dalam laporan kepurbakalaan (0.V. 1923, halaman 18 nomor 6888). Prasasti itu dipahatkan pada sebongkah batu yang bentuknya tidak beraturan, terdiri atas 4 baris tulisan yang transliterasinya (band. Atja, 1986; AyatrohaƩdi, 1988; Hasan Djafar, 1991) sebagai berikut.

// ini sabdakalanda rakryan juru panga-
mbat i kawihaji panca pasagi marsa-
n desa barpulihkan haji su-
nda //

Sebelum memberi terjemahan, Bosch terlebih dulu mengemukakan catatan, antara lain sebagai berikut.
1) sabdakalnda adalah kata majemuk-tatpurusa: sabda ‘bunyi, kata, perintah’; kala dalam cakakala atau sakakala ‘waktu, saat yang pantas untuk diperingati, sesuatu untuk diperingati’; akhiran -nda menunjukkan prefiks honorifik orang ketiga. Akhiran orang ketiga yang demikian ditemukan pula pada prasasti, antara lain, Talang tuwo: pranidhananda; dan pada prasasti Gandasuli: namanda dan ayanda;
2) pangambat dengan didahului gelar ‘rakryan juru’ menunjukkan bahwa ia seorang pembesar istana.

Candrasangkala kawihaji sepadan dengan kata bujangga yang bernilai angka = 8; panca bernilai angka = 5; dan pasagi ‘bujur sangkar’ bernilai angka = 4. Namun, berlainan dengan kaidah candrasangkala yang selazimnya, Bosch ternyata menetapkan untuk tidak membaca urutannya dari kanan ke kiri [(yang semestinya tersusun urutan angka 458 Saka, yang bila dokonversi pada kalender Gregorian mesti ditambah angka 78 menjadi tahun 536 Masehi)]. Menurut anggapannya, bentuk aksara di situ “terlalu muda” sehingga Bosch menetapkan dengan tanpa ragu-ragu bacaan susunan angkanya adalah 854 Saka (=932 M). Akan tetapi biarpun demikian, ia masih membuat kekeliruan pula dalam pengkonversiannya ke dalam siklus Masehi menjadi angka tahun 942 M, padahal bila ditambah angka 78 seharusnya menjadi 932 M, sebagaima yang juga pernah dikritisi oleh Setyawati Suleiman (1985). Setelah menyimak terjemahan yang dikerjakan oleh Bosch maka terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah demikian:

‘Ini tanda peringatan dari Rakryan Juru Panga-
mbat pada tahun 854 Saka (932 Masehi) menetap-
kan bahwa, Raja Sunda dikembalikan kepada
kedudukannya yang dahulu’.

Bunyi redaksi prasasti itu dianggap oleh Bosch berisi surat perintah dalam bahasa Melayu Kuno sehingga ia mengajukan dugaan bahwa, Sunda pada awal abad ke-10 Masehi secara kultural dan juga rupa-rupanya dari segi politik sudah berada dalam pengaruh kerajaan di Sumatera, Sriwijaya. Berkenaan dengan masalah ini telah terlebih dahulu diperbincangkan oleh N.J. Krom (1931: 211) dan kemudian dibicarakan pula oleh Moens (1937: 362). Dalam keterangan tersebut, Moens mengajukan dugaan dengan merujuk kepada tarikh Wangsa Leang dan Dinasti T’ang yang telah mencatat mengenai kedatangan duta-duta To-lo-mo yang berkunjung ke Cina pada tahun 528 Masehi dan 533 Masehi, juga antara tahun 666 Masehi dan 669 Masehi. Moens menduga To-lo-mo adalah transkripsi bunyi dari tulisan Cina untuk kata ‘Taruma’. Pendapat Moens itu ditentang oleh L.C. Damais (1957: 611), akan tetapi Wolters (1974: 205) tetap menyetujuinya.

Jadi dalam kaitan itu, duta-duta To-lo-mo ‘Taruma’ yang terdapat pada berita Cina tersebut berasal dari kerajaan yang sama, yaitu Kerajaan Tarumanagara dari keturunan raja Purnawarman. Dengan demikian, duta-duta yang tercatat pernah hadir di Kekaisaran Negeri Cina dari To-lo-mo itu terjadi pada masa pemerintahan: (1) Candrawarman (515-535 M) raja Taruma ke-6; (2) Suryawarman (535-561 M) raja Taruma ke-7; dan (3) Linggawarman (666-669 M) raja Taruma ke-12 atau raja Taruma yang terakhir.

Setahun setelah yang disebutkan paling akhir, perutusan itu tidak pernah datang lagi di Istana Kekaisaran Cina. Hal ini disebabkan Sriwijaya yang berdasarkan kesaksian dari prasasti Kedukan Bukit (683 M), telah merebut Palembang-Melayu. Pada waktu tidak terlalu lama kemudian di samping Palembang, Sriwijaya telah melebarkan pengaruhnya pula di wilayah Sunda (Jawa Kulon). Bosch berkesimpulan bahwa, prasasti yang ditemukan di Kebonkopi itu merupakan bukti yang kuat untuk mendukung pendiriannya itu, sekalipun ia tetap bertahan pada angka tahun 932 M...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...