Rabu, 11 September 2013

Menikah dengan Ahli Kitab

Oleh: Hamka

Sebelum membahas mengenai hukum menikah dengan ahli kitab menurut Hamka, maka terlebih dahulu dikemukakan mengenai pengertian ahli kitab yang dipahami olehnya. Hamka berpendapat bahwa ahli kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Ia tidak memberikan perincian lebih lanjut mengenai mereka, sehingga secara umum seluruh penganut agama Yahudi dan Nasrani adalah ahli kitab, baik yang hidup pada zaman Nabi atau pada saat sekarang ini. Sebagaimana diketahui bahwa orang-orang Nasrani saat ini telah menjadikan Al-Masih sebagai Putra Tuhan, namun terlihat dalam kasus ini Hamka tetap menganggap mereka sebagai ahli kitab bukan sebagai orang-orang musyrik. Hal ini bisa dipahami karena penyebutan secara global definisi dari ahli kitab tersebut.  
Hamka mencatat dalam tafsir Al-Azhar “Ada yang berkata bahwa Ahlul Kitab sama juga dengan musyrik, sebab mereka memperserikatkan Allah dengan Isa Al-Masih. Padahal soal ini telah diperbincangkan sebelum ini dalam surah al-Nisa dan akan dibicarakan lagi beberapa ayat sesudah ini di dalam surat ini sendiri. Soal orang Nasrani mempersekutukan Al-Masih dengan Tuhan Allah adalah masalah yang berdiri sendiri. Sekarang datang ayat ini menjelaskan soal makanan. Teranglah bahwa ayat ini menegaskan, meskipun mereka Nasrani atau Yahudi mempunyai kepercayaan lain terhadap Isa Almasih, namun makanan mereka halal kamu makan”.[1] Tafsir ini menunjukan bahwa Hamka konsisten dengan pendiriannya bahwa ahli kitab adalah mereka yang telah menerima kitab samawi dan mengamalkannya hingga hari ini. Walaupun pada beberapa bagian tafsir lainnya ia menyatakan bahwa kitab-kitab yang mereka pedomani saat ini telah dirubah. Demikian pula status mereka adalah kafir karena tidak mengikuti agama Islam ini.
Selanjutnya tentang hukum pernikahan beda agama, Hamka berpendapat bahwa hukum menikah antara seorang muslim dengan non-muslim diperbolehkan apabila seorang muslim tersebut adalah laki-laki dan istrinya ahli kitab. Namun Hamka memberikan suatu syarat yaitu laki-laki tersebut haruslah seorang yang memiliki ilmu dan keimanan yang kokoh dalam Islam.[2] Hal ini agar laki-laki tersebut bisa membimbing istrinya dan keluarganya ke jalan yang benar yaitu masuk Islam. Secara lengkap Hamka menyatakan “Kalau ada ‘pertemuan nasib’, mendapat jodoh perempuan Yahudi atau Nasrani dengan laki-laki Islam yang kuat keislamannya, tidaklah dilarang”. Bagi laki-laki muslim yang kuat agamanya, sehingga dia dapat membimbing isterinya dan keluarga isterinya tersebut ke jalan yang benar atau masuk Islam, maka perkawinan seperti itu tidak saja boleh tetapi bahkan merupakan “perkawinan yang terpuji dalam Islam”.[3]
Kebolehan pernikahan seorang laki-laki yang muslim dikuatkan dengan pendapat para ahli fiqh mengenai kebolehan seorang suami yang muslim untuk mengantarkan istrinya yang meminta untuk mengantarkannya ke gereja. Demikian juga ketika sang istri di rumah ingin beribadah sesuai dengan agamanya maka sang suami tidak diperkenankan untuk melarangnya.[4]
Pendapat Hamka mengenai pernikahan seorang wanita muslimah dengan laki-laki muslim adalah diharamkan dengan mutlak. Ia berargumentasi dengan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW dan atsar para shahabat, diantaranya adalah:
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْمُشْرِكَاتِ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَلَا أَعْلَمُ مِنْ الْإِشْرَاكِ شَيْئًا أَكْبَرَ مِنْ أَنْ تَقُولَ الْمَرْأَةُ رَبُّهَا عِيسَى وَهُوَ عَبْدٌ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ
Sesungguhnya Allah  telah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi  orang-orang yang beriman dan aku tidak pernah mengetahui sesuatu yang lebih besar (dosanya) pada kemusyrikan melebihi seorang wanita yang mengucapkan bahwa Rabb-nya adalah Isa, padahal dia adalah seorang hamba dari hamba-hamba Allah. HR. Al-Bukhary.
Hamka menjadikan argumentasi beberapa ahli fiqh untuk menguatkan pendapatnya tersebut seperti ucapan dari Jabir bin Abdillah ketika ditanya tentang (hukum) pernikahan antara seorang Muslim dengan Yahudi dan Nasrani, maka ia berkata, “Kami mengawini mereka ketika kami mengadakan peperangan di Kuffah bersama Sa’ad bin Abi Waqqash, dan (ketika itu) kami hampir tidak mendapatkan wanita-wanita muslimah. Ketika kami akan mengadakan perjalanan (pulang) dari Irak, kami menceraikan mereka. Dihalalkan wanita-wanita mereka bagi kita, akan tetapi tidak dihalalkan wanita-wanita kita (muslimah) bagi (laki-laki) mereka.[5]
Berdasarkan argumentasi tersebut dan pertimbangan lainnya maka Hamka berpendapat bahwa pernikahan antara seorang muslim dengan non muslim pada dasarnya tidak diperbolehkan, kecuali jika laki-lakinya adalah seorang muslim dan perempuannya non muslim. Hal ini juga dipersyaratkan laki-laki tersebut haruslah seorang yang memiliki keilmuawan dan keimanan yang kuat dalam Islam sehingga istri dan keluarganya bisa diajak masuk ke dalam Islam. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka ia berpendapat tidak boleh dilaksanakan pernikahan tersebut.
Pendapat Hamka tersebut menunjukan bagaimana pola penafsirannya masih terikat dengan pendapat-pendapat cendekiawan sebelumnya. Pola pendidikan yang didapatkan dari Mesir dan pergaulannya dengan tokoh-tokoh masyumi waktu itu mengkristalkan pendapatnya tersebut. Selain itu setting sosial pada waktu itu yang mengharuskan pendapat ini adalah banyaknya gerakan kristenisasi  di beberapa wilayah di Indonesia.


[1] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2003), Cet. V,  Juz VI, hal. 139.
[2] Ibid, Juz II, hal. 257.
[3] Ibid, Juz II, hal. 260.
[4] Ibid, Juz II, hal. 257.
[5] Muhyidin an-Nawawi, al-Majmuu’ Syarhu al-Muhadzdzab, (Beirut: Daar al-Fikr, 1425 H/2005 M), juz XVII, hal. 399.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...