Senin, 09 September 2013

Selamat Tinggal Ust. Saepuddin Mamad

Oleh: Abdurrahman



Matahari belum lagi muncul dari peraduannya ketika suara HP saya berdering, suara seorang perempuan terdengar mengucapkan salam “Assalamualaikum, afwan ustadz saya mau mengabarkan bahwa Ustadz Saepudin Mamad meninggal dunia”. Suara itu tampak berat, mungkin menahan kesedihan yang sangat. “Ya, Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un” jawab saya turut terbawa nuansa kesedihan wanita itu. Setelah beberapa saat berbincang kemudian wanita itu menutup telfon-nya. Saya berjanji tadi akan memberitahu teman-teman yang lain tentang berita duka ini.
Tanpa membuang waktu lagi saya segera mengirim beberapa SMS ke teman-teman yang saya pikir kenal dan dekat dengan beliau, staff Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hidayah dan Staff Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah. Beberapa teman memberikan respon yang kurang lebih sama, sebagian menanyakan dulu mengenai sumber berita ini. Kebetulan saya menggunakan nomor HP Simpati jadi beberapa teman tidak tahu kalau saya yang mengirimkan berita tersebut. ada dua orang yang merespon dengan cepat yaitu Bapak Ust. M. Hidayat Ginanjar sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hidayah dan Ust. Kusmana Abu Fauzan.
Pak Ginanajar langsung menelepon saya dan menanyakan kebenaran berita tersebut, “ya Ust. Saya tadi ditelfon oleh seorang wanita, mungkin istrinya” begitu jawab saya ringkas. Sementara Ust. Kusmana sempat membalas SMS saya dan bertanya tentang siapa pengirim SMS tersebut, setelah saya balas bahwa saya yang mengirimkan SMS, akhirnya beliau datang ke rumah. Setelah berbincang sejenak dengan beliau akhirnya kami sepakat untuk menghadiri pemakaman Ust. Saepuddin Mamad.
Sebelum berangkat mengajar ke MTs Ibnu Taimiyah, saya masih sempat mengirim SMS ke beberapa teman lagi untuk menyebarkan berita duka tersebut. lebih dari 50 orang saya kirim, sebagian mereka merespon dengan baik walaupun lagi-lagi ada yang bertanya tentang identitas pengirimnya. Setelah mengajar tiga jam pelajaran akhirnya saya memutuskan untuk memberikan tugas untuk siswa saya. Saya berangkat bersama Ust. Kusama ke rumah duka dengan membawa motor Revo milik Ust. Kusamana.
Sedikit terburu-buru karena menurut kabar jenazah sudah dibawa ke masjid Ar-Rayyan Taman Cimanggu Bogor untuk dishalatkan. “Yang penting kita sudah berusaha untuk datang, nanti sudah selesai atau belum kalau sudah sampai sana itu tidak masalah” begitu pikir kami berdua. Tujuan utama kami adalah ke Masjid Ar-Rayyan, dan itu memang arah yang saya ketahui. Setelah melewati Kota Bogor dan memasuki wilayah Taman Cimanggu Bogor kami menyusuri Jalan Johar. Saya sempat ingat bahwa masjid Ar-Rayyan itu berada di belokan ke kanan di Jalam Johar yang banyak pohon di pinggirnya. Sempat kelewat beberapa meter akhirnya saya yakin bahwa di perempatan itu seharusnya kami belok ke kanan. Kami mundur dan membelokan motor ke arah kanan. Saya ingat dulu sekitar tahun 1998-an saya ke Masjid Ar-Rayyan di dekat jalan yang menurun. Lagi-lagi saya kelewatan jalan dan bertanya ke seorang penjual di jalan. “Oh ya meninggal, dari sini bapak balik lagi, kalau ke masid Ar-Rayyan belok kanan kalau ke rumahnya belok kiri” begitu kata seorang penjual yang kami Tanya. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali sesuai petunjuk pedagang tersebut.
Sempat ragu apakah mau ke masjid atau ke rumah, akhirnya kami memutuskan belok kiri dan menuju rumah duka. Baru beberapa meter rupanya jalan tersebut buntu dan hanya tersisa jalan setapak dengan pavling blok. Syukurlah ada seorang ibu dari dalam rumah yang keluar dan memberitahu bahwa jenazah sudah dishalatkan dan sudah dibawa ke rumah. Tanpa membuang waktu kami segera menyusuri jalan kecil itu dan menuju ke rumah duka.
Tampak di depan rumah duka, beberapa motor diparkir, setelah tanya kepada seorang ibu yang ada akhirnya kami memutuskan untuk langsung ke kuburan. Ditemani dua orang anak kecil kami diantar menuju pemakaman. Alhamdulillah, acara pemakaman belum selesai, beberapa laki-laki baru saja mengubur liang lahad, sementara beberapa perempuan berdiri menghadap ke kuburan. Beberapa dari mereka memakai kerudung berwarna gelap, sementara beberapa laki-laki berjenggot dan tidak isbal juga berada di sekitar pemakaman.
Saya sempat berbincang dengan seorang tua yang duduk di sudut makam, “Pak Saepuddin itu keponakan saya, jadi saya ya mamangnya” begitu kata laki-laki tersebut membuka pembiacaraan. Tidak menyia-nyiakan kesempatan saya segera bertanya mengenai penyebab kematian Ust. Saepuddin. “Awalnya dia sedang naik motor, terus melihat seorang anak yang menyeberang, karena khawatir menabrak anak tersebut akhirnya dia membanting setang motornya ke arah kanan dan ternyata terjatuh dan kepalanya terbentur benda keras. Walapun terjatuh tapi kemudian dia melanjutkan perjalana ke toko” begitu ceritanya. “Istrinya sempat nanya apakah luka-luka atau merasa sakit, dia menjawab “nggak apa-apa” akhirnya dibiarkan” lanjut lelaki itu serius. “Namun tidak begitu lama dia muntah darah…., hingga akhirnya pagi-pagi sekali sekitar pukul 04.00 dibawa ke rumah sakit, namun beberapa rumah sakit seperti PMI menolaknya sehingga terpaksa dibawa ke Rumah Sakit Daerah Cibinong, namun ternyata setelah sampai di sana nyawanya tidak tertolong” lelaki itu mengakhiri ceritanya.
Kami sempat ngobrol beberapa hal lainnya hingga acara pemakaman selesai, terdengar seorang Ust. Mengucapkan salam dan memberikan nasehat-nasehat tentang kematian. Suara ust. Itu khas suara orang timur (mungkin Makasar, Sulawesi atau Lombok) terdengar menarik dan ingin mengambil hikmah dari tausiahnya, saya melangkah mendekati makam dan mendengarkan dengan khusyu’. Sebuah nasehat yang luar biasa tentang kematian bahwa ternyata kata “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi raji’un” memiliki makna yang berkesinambungan. Seseorang tidak akan meyakini “Inna Ilaihi raji’un” tanpa terlebih dulu meyakini “Inna lillahi” artinya bahwa seseorang yang yakin bahwa ia akan kembali kepada Allah ta’ala harus yakin bahwa ia adalah milik Allah ta’ala. Untaian nasehat dari ust. Tersebut betul-betul menyentuh jiwa saya, slama ini saya terlalu mengikuti hawa nafsu saya dan cenderung memuaskan setiap keinginan yang ada. Padahal belum tentu hal tersebut bermanfaat bagi akhirat, karena semua kita akan kembali kepadaNya. Sehingga setiap aktifitas kita yang tidak bermanfaat bagi akhirat sudah selayaknya untuk ditinggalkan atau minimal dikurangi. Saya juga sadar bahwa selama ini mungiin saya lalai dari kematian sehingga seolah-olah kematian itu jauh, padahal ia dekat bahkan terlalu dekat dengan diri kita.
Nasehat ustadz tersebut yang mengena kepada saya juga bahwa ternyata musibah itu harus dihadapi dengan iman, bukan dengan perasaan atau akal pikiran. Jika kita menghadapi segala sesuatu dengan iman niscaya semuanya akan terasa mudah dan indah. Saya jadi teringat dengan diri saya sendiri yang selama ini selalu mengedepankan perasaan dan hawa nafsu. Saya terlalu perasa dan selalu mengikuti perasaan itu, padahal belum tentu perasaan itu baik dan membawa kebaikan. Perasaan yang hanya ingin bertemu dengan seseorang padahal belum tentu hal tersebut membawa kebaikan adalah satu hal yang selama ini mengganggu perasaan saya, padahal jika hal tersebut disikapi dengan iman niscaya rasa itu tidak akan datang.
Kematian Ustadz Saepuddin Mamad memberikan begitu banyak pelajaran buat saya bahwa ternyata hidup itu memamg harus dihadapi dengan iman, bukan dengan perasaan atau akal pikiran, jika iman dikedepankan niscaya semua kejadian yang kita alami akan terasa mudah, indah dan penuh berkah. Mari kita mengambi hikmah dari setiap kejadian yang ada di sekitar kita….

1 komentar:

Please Uktub Your Ro'yi Here...