Sabtu, 26 Oktober 2013

Sejarah Empat Mazhab Fiqih

Oleh: Muhammad Iqbal

A. PENDAHULUAN
Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi pemikiran Islam, atau lebih tepatnya actual working bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan secara amat dominan, fiqih -- terutama fiqih abad pertengahan -- mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.
Jika kita telusuri sejak saat kehidupan Nabi Muhammad saw, para sejarahwan sering membaginya dalam dua priode yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Pada periode pertama risalah kenabian berisi ajaran-ajaran akidah dan akhlaq, sedangkan pada periode kedua risalah kenabian lebih banyak berisi hukum-hukum. Dalam mengambil keputusan masalah amaliyah sehari-hari para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri, karena mereka dapat langsung bertanya kepada Nabi jika mereka mendapati suatu masalah yang belum mereka ketahui.
Sampai dengan masa empat khalifah pertama hukum-hukum syariah itu belum dibukukan, dan belum juga diformulasikan sebagai sebuah ilmu yang sistematis. Kemudian pada masa-masa awal periode tabi'in (masa Dinasti Umayyah) muncul aliran-aliran dalam memahami hukum-hukum syariah serta dalam merespon persoalan-persoalan baru yang muncul sebagai akibat semakin luasnya wilayah Islam, yakni ahl al-hadis dan ahl al-ra'y. Aliran pertama, yang berpusat di Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak menggunakan hadis dan pendapat-pendapat sahabat, serta memahaminya secara harfiah. Sedangkan aliran kedua, yang berpusat di Irak, banyak menggunakan rasio dalam merespons persoalan baru yang muncul.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum tersebut merupakan sebuah hasil penelitian (ijtihad), hal ini tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, akan tetapi sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi pada sebuah hadis :
اختلاف امتى رحمة (رواه البيهقى فى الرسالة الاشعرية(
Yang maksudnya : “Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyyah).
Ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.
Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar belakang dan sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih, bilkhusus pada empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali serta beberapa hal lain yang berhubungan dengan keempat mazhab tersebut.

B. POKOK PERMASALAHAN
Sebelum sampai kepada pembahasan, terlebih dahulu penulis tentukan pokok permasalahan sebagai tolak ukur agar pembahasan tidak melabar dan menyimpang. Sebagai pokok permasalahan dalam makalah ini adalah Bagaimanakah latar belakang dan sejarah munculnya empat mazhab fiqih? Selain itu adalah apakah dasar-dasar hukum empat mazhab?, karena bagaimanapun juga setiap imam mazhab pasti memiliki pendapat masing dalam hal pengambilan dan menetapkan pijakan dasar sebuah hukum.

C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Mazhab
Kata mazhab berasal dari bahasa Arab yaitu isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208).
Secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam .
Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci .
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395) .

2. Biografi Empat Imam Mazhab Fiqih
Mengingat betapa masyhurnya nama keempat imam mazhab ini, berikut akan dijelaskan lebih lanjut bagaimana pribadi dan pemikiran mereka.
a. Imam Hanafi (Tahun 80 – 150 H.)
Nama beliau yang sebenarnya adalah Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Sabit bin Zauti lahir pada tahun 80 H. di kota Kuffah pada masa Dinasti Umayyah . Semua literatur yang mengungkapkan kehidupan Abu Hanifah menyebutkan bahwa Abu Hanifah adalah seorang ‘alim yang mengamalkan ilmunya, zuhud, ‘abid, wara’, taqiy, khusyu’ dan tawadhu’.
Metode ushul yang digunakan Abu Hanifah banyak bersandar pada ra’yun, setelah pada Kitabullah dan As Sunnah. Kemudian ia bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan protes di kalangan para ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan Abu Hanifah. Begitu pula halnya dengan istihsan yang ia jadikan sebagai sandaran pemikiran mazhabnya, mengudang reaksi kalangan ulama .
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), shalat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya .
Pada akhir hayatnya Abu Hanifah diracuni, sebagaimana yang disampaikan dalam Kitab Al-Baar Adz-Dzahabi berkata, diriwayatkan bahwa khalifah Al-Manshur memberi minuman beracun kepada imam Abu Hanifah dan dia pun meninggal sebagai syahid. Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya. Latar belakang kematiannya karena ada beberapa penyebar fitnah yang tidak suka pada Abu Hanifah, memberi keterangan palsu pada Al-Manshur, sehingga Al-Manshur melakukan pembunuhan itu, dan ada sebuah riwayat shahih mengatakan bahwa ketika merasa kematiannya dekat, Abu Hanifah bersujud hingga beliau meninggal dalam keadaan bersujud .
Para ahli sejarah bersepakat beliau meninggal pada bulan rajab tahun 150 H dalam usia 70 tahun.

b. Imam Maliki (Tahun 93 – 179 H.)
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan julukan Abu Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H, Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah .
Dalam sumber lain menyebutkan bahwa nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Al Himyari Al Ashbahi Al Madani .
Malik bin Anas lahir di Madinah pada tahun 93 H. Sejak muda ia sudah menghafal Al-Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu pengetahuan. Ia dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Karya-karya Imam Malik begitu banyak, di antaranya yang paling populer adalah Al Muwatta’ yang berarti ‘kemudahan’ atau ‘kesederhanaan’. Keistimewaan Al-Muwatta’ adalah bahwa Imam Malik merinci berbagai persoalan kaidah-kaidah fiqhiyah yang di ambil dari hadits-hadits dan atsar.

c. Imam Syafi’i (Tahun 150 – 204 H.)
Ia bernama Abu Abdullah, Muhammad ibnu Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Saaib bin ‘Abiid bin Abdu Yazid bin Hasim bin Muthalib bin Abdu Manaf, yang merupakan kakek dari kakek Nabi .
Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafi’i lahir di daerah Ghazza, Syam (Palestina) dari keturunan Quraisy dan Nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad saw. pada kakeknya, Abdi Manaf ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa oleh ibunya untuk pindah ke Makkah .
Pada umur sekitar tujuh tahun Imam Syafi’i sudah menghafal Al-Qur’an, selain itu ia juga banyak menghafal hadits-hadits Nabi. Selain pengembaraan intelektual dan keilmuan yang sedemikian rupa , fiqih Imam Syafi’i juga merupakan refleksinya. Dengan kata lain, kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk pemikiran dan mazhab fiqihnya. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa ia amat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar terbukti dengan munculnya dua kecendrungan dalam mazhab Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim (mazhab lama) dan qaul jadid (mazhab baru).
Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafi’i dibangun di Irak pada tahun 195 H. Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Al-Amin itu melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional Irak.
Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya. Pemikiran-pemikiran baru Imam Syafi’i di antaranya di muat dalam bukunya Al-Umm. Pada tahun 195 H. ia kembali ke Baghdad dan berdiam di sana selama tiga tahun.
Karakteristik pemikiran Syafi’i tahapan kedua ini lebih bersifat pengembangan atau pengetrapan pemikirannya yang global terhadap masalah-masalah furu’iyah. Pluralisme pemikiran yang ada di Irak adalah faktor utama yang menyebabkan kematangan pemikiran Syafi’i.
Kemudian pada tahun 199 H. ia pindah ke Mesir hingga wafat pada tahun 204 H. Tahun-tahun terakhirnya di Mesir ia gunakan sebagian besar untuk menulis dan merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya. Bukunya Ar-Risalah yang ditulis ketika di Makkah direvisi ulang, dikurangi dan ditambah sesuai dengan perkembangan baru di Mesir .

d. Imam Hambali ( Tahun 164 – 241 H.)
Nama lengkap imam besar ini adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah bin Hayyan ibn Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban. Ia terlahir di Baghdad Irak pada tahun 164 H/780 M . Ayahnya meninggal dunia ketika Ahmad masih kecil, ia kemudian diasuh oleh ibunya.
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Beliau telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini beliau pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria).
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah: Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Asy-Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin Ma’qil
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah: Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad, Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal, Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal, Keponakannya, Hambal bin Ishaq.
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.

3. Sejarah Empat Mazhab Fiqih
Ilmu fiqih baru muncul pada periode tabi' al-tabi'in yaitu sekitar abad kedua Hijriyah, dengan munculnya para mujtahid di berbagai kota, serta terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukum-hukum syariah. Pada masa-masa itulah di Irak muncul seorang mujtahid besar bernama Abu Hanifah al-Nu'man ibn Tsabit (80-150 H atau 700-767 M) yang merupakan orang pertama yang memformulasikan ilmu fiqih, tetapi ilmu ini belum dibukukan.
Sementara itu, di Madinah muncul juga seorang mujtahid besar bernama Malik ibn Anas (93-178 H atau 713-795 M) yang memformulasikan ilmu fiqih dan membukukan kumpulan hadis berjudul al-Muwaththa', yang terutama berisi hukum-hukum syariah. Pembukuan kitab ini dilakukan atas permintaan khalifah Abu Ja'far al-Manshur (137-159 H atau 754-775 M), dengan maksud sebagai pedoman bagi kaum Muslimin dalam mengarungi kehidupan mereka.
Kitab ini kemudian menjadi dasar bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Hijaz (aliran ahl-hadis). Sedangkan yang menjadi pedoman bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Irak (aliran ahl al-ra'y) adalah buku-buku yang ditulis oleh murid-murid Abu Hanifah, terutama Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (102-189 H) dengan bukunya antara lain al-Jâmi' al-Kabîr dan al-Jâmi' al-Shaghîr dan Abu Yusuf (112-183 H) dengan bukunya berjudul Kitab al-Kharâj (Kitab tentang Pajak Penghasilan). Abu Hanifah sendiri pernah diminta menjadi qâdhî (hakim) oleh seorang khalifah Dinasti Abbasiyyah, tetapi permintaan ini ditolak, sementara Abu Yusuf pernah menjadi qâdhî pada masa khalifah Harun al-Rasyid. Baik Abu Hanifah maupun Malik ibn Anas kemudian oleh para pengikutnya masing-masing dijadikan sebagai pendiri mazhab Hanafi dan Maliki .
Sejak periode tabi'in sering terjadi perdebatan antara kedua aliran tersebut. Sementara kalangan ahl al-hadis mencela kelompok ahl al-ra'y dengan tuduhan bahwa ahl al-ra'y meninggalkan sebagian hadis, maka ahl al-ra'y pun menjawab dengan mengemukakan argumentasi tentang 'illah-'illah hukum (legal reasons) dan maksud-maksud syariah. Pada umumnya ahl al-ra'y dengan kemampuan debatnya dapat mengalahkan argumentasi ahl al-hadîts, sebagaimana contoh di atas. Maka munculnya Muhammad ibn Idris al-Syafi'i atau yang dikenal dengan Imam Syafi’i (150-204 H atau 767-820 M), yang di satu segi menguasai banyak hadis dan di lain segi memiliki kemampuan dalam menggali dasar-dasar dan tujuan-tujuan hukum, dapat menghilangkan supremasi ahl al-ra'y terhadap ahl al-hadis dalam perdebatan. Karena jasanya membela hadis, maka ia dijuluki sebagai "nâshir al-sunnah" (pembela Sunnah).
Keempat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) inilah yang sampai kini dianggap sebagai mazhab fiqih yang beraliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.

1. Latar Belakang dan Sejarah Munculnya Empat Mazhab Fiqih
Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni :
1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an
2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW .
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabiin hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode ini. dan dari sini pula kita dapat merumuskan apa sebab-sebab munculnya mazhab pada periode ini. Namun mazhab-mazhab muncul pada periode ini tidak terbatas pada empat mazhab – Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali – seperti yang ada sekarang.
Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-‘Ulwani berkesimpulan bahwa saat itu muncul sekitar tiga belas mazhab yang semuanya berafiliasi sebagai mazhab yang “Ahlu Sunnah”, tetapi hanya delapan atau sembilan mazhab saja yang dapat diketahui dengan jelas dasar-dasar dan metode fiqhiyah yang mereka pergunakan. Para imam mazhab-mazhab itu adalah : Imam Abu Sa’id bin Yasar al-Bashir (wafat 110 H.), Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi (wafat 150 H.), Imam Auza’ie Abu Amr Abdur Rahman bin Amru bin Muhammad (wafat 157 H.), Imam Sufyan bin Said bin Masruq al-Tsauri (wafat 160 H.), Imam Laits bin Sa’d (wafat 157 H.), Imam Malik bin Anas al-Anshari (Wafat 179 H.), Imam Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H.), Imam Muhammad bin Idris al Syafi’ie (wafat 204 H.), dan Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal (wafat 241 H.) .
Muhammad Khudari Beik (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Yaitu Periode risalah, Periode khulafaurrasyidun, Periode awal pertumbuhan fiqih, Periode keemasan, Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqih, dan yang terakhir adalah periode kemunduran fiqih .
1. Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat.
3. Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
4. Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
6. Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.
Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
o Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab.
o Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.

4. Dasar-Dasar Fiqih Empat Mazhab
a. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hanafi
Abu Hanifah memang belum menetapkan dasar-dasar pijakan dalam berijtihad secara terperinci, tetapi kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar bangunan pemikiran fiqhiyah tercermin dalam pernyataannya berikut, “Saya kembalikan segala persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi, dan apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Nabi saw. maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi, dan tidak beralih pada fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim, Sya’bi, Hasan Ibnu Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib (semuanya adalah tabi’ien), maka saya berhak pula untuk berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
Dari sini kita ketahui bahwa dasar-dasar istidlal yang digunakan Abu Hanifah adalah Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika nash Al-Qur’an dan Sunnah secara jelas-jelas menunjukkan pada suatu hukum, maka hukum itu disebut “diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Tetapi bila nash tadi menunjukkan secara tidak langsung atau hanya memberikan kaidah-kaidah dasar berupa tujuan-tujuan moral, illat dan lain sebagainya, maka pengambilan hukum disebut “melalui qiyas”.
Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan imam-imam yang lain sebenarnya terletak pada kebenarannya menyelami suatu hukum, mencari tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyariatkannya suatu hukum. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan teori qiyas, istihsan, ‘urf (adat-kebiasaan), teori kemaslahatan dan lainnya. Perbedaan lebih tajam lagi adalah bahwa Abu Hanifah banyak menggunakan teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penerimaan hadits ahad. Tidak seperti imam yang lain, Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka illat, hikmah dan tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang dipahaminya .
Perlu ditambahkan bahwa betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang menyelami di balik arti dan illat suatu hukum serta sering mempergunakan qiyas, akan tetap itu tidak berarti ia telah mengabaikan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnahatau meninggalkan ketentuan hadits dan atsar. Tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Al-Qur’an dan Sunnah.
Bahkan jika ia menemukan pendapat atau qaul (pernyataan) sahabat yang benar, ia menolak untuk melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pemikiran fiqih Abu Hanifah tidak berdiri sendiri tetapi berakar kuat pada pendahulu-pendahulunya di Irak dan juga para ahli hadits di Hijaz. Muhammad bin Hasan seperti dikutip Abu Zahrah, membenarkan bahwa dalam masalah hukum seseorang yang berhubungan dengan istrinya sebelum tawaf ziarah, Abu Hanifah mengambil pendapat Ibnu Abbas, seorang ulama ahli hadits Makkah, dan menolak pendapat Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan pemikiran fiqih rasional kepadanya.

b. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Maliki
Seperti halnya Imam Hanafi, Imam Malik sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka mazhab ini, murid-murid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah Imam Malik kemudian menuliskannya.
Dari beberapa isyarat yang ada dalam fatwa-fatwanya dan bukunya Al-Muwattha’, fuqaha Malikiyah merumuskan dasar-dasar mazhab Maliki. Sebagian fuqaha Malikiyah menyebutkan bahwa dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu : Nash literatur Al-Qur’an, mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih alal ‘illah (pencarian kuasa hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma’ qiyas, tradisi orang-orang Madinah, qaul sahabat, istihsan, istishab, sadd al dara-i’, mura’at al khilaf, maslahah mursalah dan syar’u man qablana. Al-Qurafidalam bukunya Tanqih Al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki sebagai berikut : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, perbuatan orang-orang Madinah, qiyas, qaul sahabat, maslahah mursalah, ‘urf, sadd ad-dara’i, istihsan dan istihsab. Bahkan Syatibi, seorang ahli hukum mazhab Maliki, menyederhanakan dasar-dasar mazhab Maliki itu ke dalam empat hal, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan ra’yi (rasio) .


c. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Syafi’i
Bagi Imam Syafi’i Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan, istishab, dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral Al-Qur’an dan Sunnah ini merupakan karakteristik menarik dari pemikiran fiqih Syafi’ie. Menurut Syaafi’ie, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas di dalam Al-Qur’an, merinci yang global, mengkhususkan yang umum dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada di dalam Al-Qur’an.
Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologi Syafi’ie adalah pernyataannya, “Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan hukumnnya di dalam Al-Qur’an.” Untuk membuktikan hipotesanya itu, Syafi’ie menyebut empat cara Al-Qur’an dalam menerangkan suatu hukum. Pertama, Al-Qur’an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas, seperti nash-nash yang mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan haji, atau nash-nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah dan yang lainnya.
Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat dalam shalat, waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkan. Semua itu disebut secara global dalam Al-Qur’an dal Nabi-lah yang menerangkan secara terinci.
Ketiga, Nabi Muhammad saw juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya di dalam Al-Qur’an. Bentuk penjelasan Al-Qur’an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan menjauhi larangannya. Di dalam Al-Qur’an disebutkan : (4:80)

Yang maksudnya : “Barang siapa yang taat kepada Rasul, berarti ia taat kepada Allah.”
Dengan demikian, suatu hukum yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al-Qur’an, karena Al-Qur’an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi menjauhi yang di larang .
Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadits. Penjelasan Al-Qur’an dalam masalah yang seperti ini, yaitu dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan umum syariat), misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis, dalam Al-Qur’an di sebutkan dalan 4:59

d. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hambali
Sikapnya yang tegas dan fundamentalis tercermin pemikiran-pemikiran fikihnya. Para ulama Hanabilah berkesimpulan bahwa fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hambal dan pemikiran-pemikiran fiqihnya dibangun atas sepuluh dasar, yaitu lima dasar ushuliyah dan lima dasar lainnya sebagai pengembangan. Dasar-dasar mazhab Hambali aitu adalah : (1) Nushus, yang terdiri dari nash Al-Qur’an, Sunnah dan nash ijma’, (2) fatwa-fatwa sahabat, (3) apabila terjadi perbedaan, Imam Ahmad memilih yang paling dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah; dan apabila tidak jelas, dia hanya menceritakan ikhtilaf itu dan tidak menentukan sikapnya secara khusus, (4) hadits-hadits mursal dan dhaif, (5) qiyas, (6) istihsan, (7) sadd al-dara-i’, (8) istishab, (9) ibthal al ja’l, (10) maslahah mursalah.
Dari dasar-dasar dan metode-metode pengambilan hukumnya ini, terlihat bahwa Imam Ahmad bin Hambal mempersempit penggunaan rasio sampai pada batas tertentu. Ia lebih mendahulukan penggunaan qiyas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...