Kamis, 28 November 2013

Disertasi: Nenek Moyang Baduy

Oleh: Abdurrahman Misno Bambang Prawiro

Nenek moyang orang Baduy dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu nenek moyang yang berasal dari masa para Batara dan masa para puun. Batara Tunggal digambarkan dalam dua dimensi, sebagai suatu kuasa dan kekuatan yang tak tampak tetapi berada di mana-mana, dan sebagai manusia biasa yang sakti. Dalam dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia di kabuyutan (tempat nenek-moyang), yaitu titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Mereka itu ialah:
1.    Batara Cikal, yang diberitakan tidak ada keturunannya.
2.    Batara Patanjala yang menurunkan tujuh tingkat Batara ketiga, yaitu:
a.    Daleum Janggala
b.    Daleum Lagondi
c.    Daleum Putih Seda Hurip
d.   Daleum Cinangka
e.    Daleum Sorana
f.     Nini Hujung Galuh
g.    Batara Bungsu.
Mereka itu yang menurunkan Bangsawan Sawidak Lima atau tujuh batara asal, nenek moyang orang Baduy. Daleum Janggala adalah batara yang tertua, dan yang menurunkan kerabat tangtu Cikeusik; Daleum Putih Seda Hurip menurunkan kerabat Kampung Cibeo. Para Batara tingkat ketiga lain masing-masing menurunkan jenis kerabat pemimpin lainnya.
Lima Batara tingkat kedua, saudara-saudara muda Batara Pantajala, yaitu Batara Wisawara, Batara Wishnu, Batara Brahmana, Batara Hyang Niskala, dan Batara Mahadewa, menurunkan kelompok kerabat besar di luar Baduy yang disebut salawe nagara (dua puluh lima negara), yang menunjukkan jumlah kerabat yang besar, dan menurut pengetahuan orang Baduy adalah wilayah yang sangat luas di sebelah Sungai Cihaliwung.[1] Kelompok kerabat itulah yang dianggap orang Baduy keturunan yang lebih muda.
Dari ketujuh orang batara tingkat ketiga nenek-moyang orang Baduy itu tampak bahwa hanya kerabat jaro dangka yang berasal dari garis keturunan perempuan. Lainnya diturunkan melalui garis keturunan patrilineal. Para puun adalah keturunan Batara Patanjala, dan sampai masa akhir abad ke-19 oleh Jacobs dan Maijer dicatat sudah terjadi 13 kali pergantian puun Cikeusik.[2] Menurut catatan tahun 1988, jumlah puun Cikeusik adalah 24 orang, dan yang terakhir adalah Puun Sadi.
Suatu konsep penting dalam religi orang Baduy ialah karuhun, yaitu generasi-generasi pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di Sasaka Domas, yaitu tempat di hutan tua di hulu Sungai Ciujung. Karuhun dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya menengok para keturuannya, dan jalan untuk masuk ialah melalui hutan kampung.
Dalam kaitan dengan konsep karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang, sanghyang, dan wangatua. Guriang dan Sanghyang dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi para keturunannya dari segala marabahaya, baik gangguan orang lain maupun mahluk-mahluk halus yang jahat (seperti dedemit, jurig, setan) wangatua ialah ruh atau penjelmaan ruh ibu bapak yang sudah meninggal dunia.
Kosmologi orang Baduy yang menghubungkan asal mula dunia, karuhun dan posisi tangtu, merupakan konsep penting pula dalam religi mereka. Karena itu wilayah yang paling sakral ada di Kanekes, terutama wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah terlarang) tempat kampung tangtu dan kabuyutan. Bumi dianggap bermula dari masa yang kental dan bening, yang lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak di pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buana tempat tujuh batara diturunkan untuk menyebarkan manusia. Tempat itu juga merupakan tempat nenek moyang. Kampung tangtu kemudian dianggap sebagai inti kehidupan manusia, yang diungkapkan dengan sebutan Pada Ageung yaitu tangtu Cikeusik, Cikertawana disebut Kadukujang, dan Cibeo disebut Parahyang, semua itu disebut Sanghyang Daleum.
Secara khusus posisi tempat nenek moyang (kabuyutan) dan alur tangtu dalam memperlihatkan kaitan karuhun, yaitu Pada Ageung-Sasaka Pusaka Buana- dangkanya disebut Padawaras. Kadukujang-Kabuyutan-ikut pada Cibeo dan Cikeusik dengan dangka-dangkanya yang disebut Sirah Dayeuh.[3]
Konsep buana (dunia) bagi orang Baduy berkaitan dengan titik mula, perjalanan, dan tempat akhir kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buana Luhur atau Buana Nyungcung (angkasa, buana atas) yang luas tak terbatas, Buana Tengah atau Buana Panca Tengah, tempat manusia melakukan sebagian besar pengembaraannya dan tempat ia akan memperoleh segala suka-dukanya. Buana Handap atau Buana Bawah ialah bagian dalam tanah yang tak terbatas pada luasnya. Keadaan di tiga buana itu adalah seperti halnya dunia ini, ada siang dan ada malam, dan keadaannya sebaliknya dengan di dunia.
Konsep lain dalam religi orang Baduy ialah kaambuan atau ambu (ibu, wanita, ibu suci).[4] Menurut orang Baduy ada tiga ambu yang penting (paling tidak yang ditakuti dan disegani) yaitu Ambu Luhur di Buana Luhur, Ambu Tengah di Buana Panca Tengah, dan Ambu Rarang di Buana Handap. Ambu Tengah ialah pemelihara kehidupan yang harus dihormati dengan kesungguhan melakukan pikukuh. Ambu luhur tidak hanya mengurus tempat orang Baduy setelah mati, tetapi juga dengan segala kekuatan dan kesaktiannya, Ambu Rarang dapat menyelesaikan setiap masalah kehidupan dengan menyebut namanya atau membaca mantera-mantera. Sedang Ambu Rarang adalah ambu yang menerima jasad dan ruh orang Baduy yang mati untuk diurus selama tujuh hari dan melepaskannya setelah 40 hari ke tempat akhir tetapi juga bentuk nyata dari Buana luhur.[5]
Pola kepercayaan ini saat ini mengalami beberapa perubahan terutama terindikasi dengan masuknya Islam, dari wawancara dengan Jaro Sami, Jaro Dainah, Jaro Alim, Jaro Sadi dan beberapa tokoh adat lainnya mereka sepakat bahwa agama dan kepercayaan mereka adalah Slam Sunda Wiwitan. Mereka meyakini bahwa leluhur mereka adalah Adam Tunggal yang sama dengan Nabi Adam dalam agama Islam. Wawancara dengan Jaro Sami sebagai Jaro Cibeo diketahui bahwa Adam bukanlah hanya satu pribadi melainkan ada empat sampai tujuh pribadi.  Masing-masing Adam memiliki tugas tersendiri yang diamanatkan oleh Tuhan. Adam Tunggal adalah leluhur Baduy yang diberi amanat untuk menjaga kabuyutan yang ada di wilayah Baduy maka keturunannya melanjutkan tugas tersebut menjaga keseimbangan alam (bertapa dengan beribadah kepada alam), selain itu tugas mereka yaitu ngasuh ratu nyanyak menak (menasehati raja dan penguasa negara).[6]
Sikap mereka terhadap Islam tercermin dari pengakuan mereka bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam adalah sebagai nabi penyempurna. Namun beliau tidak diutus untuk masyarakat Baduy, sehingga mereka tidak memiliki kewajiban untuk mengikutinya. Unsur Islam masuk ke dalam kepercayaan mereka secara perlahan dan tidak disadari oleh generasi berikutnya. Sehingga adanya konsep Adam dalam kepercayaan Baduy terindikasi karena interaksi mereka dengan Agama Islam.
Saat ini seluruh tokoh Baduy menyebutkan bahwa mereka beragama Slam Sunda Wiwitan, mereka berasal dari keturunan Adam Tunggal. Ayah Mursyid menyebutkan bahwa Adam Tunggal adalah utusan dari Sang Pencipta untuk meneguhkan dan mematuhkan wiwitan, menghayati, mengamalkan amanat awal yaitu Ngabaratapakeun, ngabaratanghikeun wiwitan atawa pikukuh karuhun. Patokan dan batasan dari pikukuh tersebut adalah:
“Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirakrak, mun ngadek kudu saclekna, mun neukteuk kudu sateukna mun nilas kudu sapasna, nu lain dilainkeun, nu enya dienyakeun ulah gorok ulah linyok”

Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, kalau menyabet atau menebang harus se-pasnya, kalau memotong harus seukurannya, kalau mengelupas harus se-pasnya, yang salah nyatakan salah, yang benar nyatakan benar, tidak boleh menipu dan berbohong.[7]  

Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa pada masyarakat Baduy tidak boleh terjadi perubahan atau jika terpaksa terjadi perubahan maka diusahakan sesedikit mungkin perubahan tersebut. Hingga saat ini keteguhan memegang adat-istiadat masih ketat dilakukan, walaupun bukan berarti tidak terjadi perubahan tersebut. Karena perubahan adalah sebuah keniscayaan maka pada masyarakat Baduy sendiri saat ini telah dan sedang terjadi perubahan tersebut, tentu saja perubahan yang paling tampak adalah dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh pada Baduy Luar mereka saat ini sudah banyak yang memiliki alat informasi dan komunikasi seperti Radio, TV dan juga hand phone. Pada masyarakat Baduy Dalam kepemilikan itu memang dilarang namun mereka terutama generasi mudanya sudah mulai suka menonton TV atau layar tancap di luar wilayah Baduy. Sehingga saat ini ada pemandangan menarik apabila terdapat layar tancap di sekitar wilayah Baduy maka akan terdapat beberapa orang Baduy baik luar ataupun dalam yang ikut menyaksikannya.[8]


[1] Judistira K Garna, Orang Baduy, (Bangi: Penerbit University Kebangsaan Malaysia) tahun 1987, hlm. 85.
[2] Jacobs dan Maijer, 1891: hlm. 13.
[3] Yudistira Garna, hlm. 75.
[4] R.Cecep Eka Permana, Kesetaraan gender dalam Adat Inti Jagad Baduy, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra), hlm. 67.
[5] Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia
[6] Wawancara Jaro Sami dan Jaro Alim pada April 2013
[7] Wawancara dengan Ayah Mursyid wakil Jaro Cibeo pada Mei 2013.
[8] Wawancara dengan Nurdin, warga Ciboleger Lebak dan disaksikan penulis sendiri pada saat ada layar tancap di Ciboleger pada 15 Agustus 2013.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...