Minggu, 22 Desember 2013

Hukum Islam: Syariah dan Fiqh

 Hukum Islam
Oleh: Abdurrahman MBP, MEI

B. Hukum Islam
Hukum Hukum Islam adalah dua kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab. Dua kata tersebut terdiri dari kata "hukum" dan "Islam". Kata "hukum" berasal dari bahasa Arab yaitu al-hukm yang berarti kaidah, norma, ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda.[1] M. Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan bahwa istilah hukum Islam walaupun berlafadz Arab, namun telah dijadikan bahasa Indonesia, sebagai terjemahan dari Fiqh Islam atau Syariat Islam”.[2] Pendapat ini menguatkan teori mengenai bentuk hukum Islam berupa Syariah dan  fiqh yang merupakan perkembangan kontemporer dari hukum Islam.
Syariah menurut bahasa adalahالوارد  (al-warid) yang berarti jalan, dikatakan pulaنحو الماء  yaitu tempat keluarnya (mata) air.[3] Al-Raghib menyatakan syariah adalah metode atau jalan yang jelas dan terang.  Dikatakan :  شرعت له نهجا  (aku mensyariatkan padanya sebuah jalan),الشريعة  al-syari'ah bisa pula bermakna sebuah tempat di tepi pantai. Manna' Khalil Al-Qathan berkata : Syariat pada asalnya menurut bahasa adalah sumber air yang digunakan untuk minum, kemudian digunakan oleh orang-orang Arab dengan arti jalan yang lurus (al-syirath al-mustaqim) yang demikian itu karena tempat keluarnya air adalah sumber kehidupan dan keselamatan/kesehatan  badan, demikian juga arah dari jalan yang lurus yang mengarahkankan manusia kepada kebaikan, padanya ada kehidupan jiwa dan pengoptimalan akal mereka[4]
Kata atau lafadz "syariah" banyak terdapat di dalam Al-Qur'an, misalnya firmanNya dalam QS Al-Jatsiyah ayat 18 :
 ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ الَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Makna syariah pada ayat ini adalah peraturan atau cara beragama. Sedangkan dalam QS Asy-Syura ayat 13 bermakna memberikan tata cara beragama : 
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَاتَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Makna syariah yang serupa disebutkan firmanNya:    
أَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ وَلَوْلاَ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِىَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمُُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. QS Al-Syura: 21.
Berdasarkan beberapa ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa kata syariah bermakna peraturan, agama dan tata cara ibadah. Pengertian ini telah mengarah kepada makna secara istilah, karena khitab dari ayat-ayat tersebut adalah orang-orang yang beriman agar mereka dapat merealisasikan syariat tersebut.
Secara terminologi/istilah, syariat adalah “Seperangkat norma yang mengatur masalah-masalah bagaimana tata cara beribadah kepada Allah ta'ala, serta bermuamalah dengan sesama manusia”. Al-Fairuz Abady menyebutkan bahwa syariat adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada para hambaNya.[5]  Ibnu Mandzur menyatakan bahwa syariah adalah :
والشريعةُ والشِّرْعةُ ما سنَّ الله من الدِّين وأَمَر به كالصوم والصلاة والحج والزكاة وسائر أَعمال البرِّ
Segala sesuatu yang ditetapkan Allah dari dien (agama) dan diperintahkanNya seperti puasa, shalat, haji, zakat dan amal kebaikan lainnya.[6]
Definisi ini seperti yang disebutkan oleh Manna' Al-Qathan yang menyebutkan bahwa syariat secara istilah adalah “Setiap sesuatu yang datang dari Allah ta'ala yang disampaikan oleh utusan/RasulNya kepada para hambanya, dan Dia adalah pembuat syariat yang awal, hukumNya dinamakan syar'an.[7]  Mahmud Syalthut mendefinisikan syariah dengan "Sebuah nama untuk tata peraturan dan hukum yang diturunkan oleh Allah ta'ala dalam bentuk ushulnya dan menjadi kewajiban setiap muslim sebagai pedoman dalam berhubungan dengan Allah dan antar sesama manusia."[8] 
Para intelektual muslim Indonesia memberikan definisi dari syariah dengan beraneka ragam, misalnya Hasbi Ash-Shidieqy yang mendefinisikannya dengan “Segala yang disyariatkan Allah untuk kaum muslimin, baik ditetapkan oleh Al-Qur'an ataupun sunnah Rasul yang berupa sabda, perbuatan, ataupun taqrirnya”.[9]  Sedangkan M. Ali Hasan menyatakan bahwa syari'ah adalah : Hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah bagi hamba-hambaNya (manusia) yang dibawa oleh para nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut far'iyah amaliyah (cabang-cabang amaliyah) dan untuk itulah fiqh dibuat, atau yang menyangkut petunjuk beri'tiqad yang disebut ashliyah i'tiqadiyah (pokok keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid). Kata syariah juga bermakna “Semua yang disyariatkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur'an maupun melalui sunnah rasul.[10]
Selain syariah, bentuk dari hukum Islam adalah Fiqh. Kata Fiqh secara etimologi adalah الفهم  mengerti, faham. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
فَمَالِ هَٰٓؤُلَآءِ ٱلْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًۭا
Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” QS.An Nisa: 78.
Ayat ini mengandung makna fiqh secara bahasa yaitu pemahaman seseorang atas sesuatu. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah haditsnya bersabda:
إِنَّ طُولَ صَلاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ
Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya. HR. Muslim dan Ahmad.
Maka, fiqh secara bahasa adalah pemahaman akan sesuatu, baik pemahaman itu secara mendalam ataupun hanya pemahaman yang terbatas. Sedangkan definisi fiqih secara terminologi, ialah suatu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syari’at atau hukum Islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia, baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial. Atau pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
Beberapa ulama’ mendeskripsikan ilmu fiqih sebagai berikut, Prof. Dr. TM Hasbi ash Shidieqy: Fiqih merupakan suatu kumpulan ilmu yang sangat besar pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai ragam jenis hukum Islam dan bermacam aturan hidup, untuk keperluan seseorang, golongan dan masyarakat umum. Jadi secara umum ilmu fiqih itu dapat disimpulkan bahwa jangkauan fiqih sangat luas, yaitu membahas masalah-masalah hukum Islam dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Ust. Abdul Hamid Hakim: “Fiqih menurut bahasa adalah faham, maka tahu aku akan perkataan engkau, artinya faham aku”. “Fiqih menurut istilah ialah mengetahui hukum-hukum agama Islam dengan cara atau jalannya ijtihad”.
Daud Ali mencatat bahwa hukum Islam adalah seperangkat tingkah laku yang mengatur tentang hubungan seorang manusia dengan Tuhan, sesama  manusia dan alam sekitarnya yang berasal dari Allah ta'ala”.[11] Adapun Hasbi Ash-Shidieqy menyatakan bahwa hukum Islam adalah “Hukum-hukum yang bersifat umum dan kulli yang dapat diterapkan dalam perkembangan hukum Islam menurut kondisi dan situasi masyarakat dan masa.[12] Hukum Islam dalam literatur klasik adalah syariah Islam, yaitu "Seluruh peraturan dan tata cara kehidupan dalam Islam yang diperintahkan oleh Allah ta'ala yang termaktub di dalam Al-Qur'an dan Al-Sunnah". Hal ini sesuai dengan pengertian hukum dalam bahasa Indonesia yaitu “Seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa, baik berupa hukum tertulis ataupun tidak tertulis seperti hukum adat”. Berdasarkan hal tersebut maka hukum Islam yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah syariah Islam, walaupun cakupan makna syariah tentu lebih luas dari pada pengertian hukum itu sendiri. Penyandaran hukum kepada Islam (hukum Islam) berarti hukum tersebut sesuai dengan syariah Islam.
 Hukum Islam dalam perkembangannya berupa Syariah, Fiqh dan Qanun. Syariah adalah nilai-nilai Ilahiyah yang bersifat universal yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sedangkan Fiqh adalah hasil ijtihad para mujtahid dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang tidak ada nash-nya secara qath’i di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sementara Qanun adalah hukum Islam yang telah bertransformasi menjadi undang-undang dan peraturan pemerintah dalam sebuah negara modern (modern state). Ketiganya merupakan cabang-cabang dari hukum Islam. Pada pengertian yang lebih spesifik maka hukum Islam dipahami sebagai fiqh Islam.


[1] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 44.
[2] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah hukum Islam, Jakarta : PT Bulan Bintang,  1986. hlm. 44.
[3] Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz VII,  hlm. 86
[4] Manna' Khalil Al-Qatan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa Manhajan, Mesir : Maktabah Wahbah, 2001, hlm. 13. 
[5] Al-Fairuz Abady, Al-Qamus Al-Muhith,  hlm. 732.
[6] Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz V, hlm. 86.
[7] Manna' Khalil Al-Qathan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa manhajan, hlm. 14.
[8] Mahmud Syalthut, Al-Islam Aqidah Wa-Syari'ah, hlm. 73.
[9] Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar hukum Islam, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra), 2001. hlm. 18.
[10] M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada), tahun 1995, hlm. 5.
[11] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, hlm. 40.
[12] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah hukum Islam, Jakarta : PT Bulan Bintang, 1986. hlm. 44. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...