Kamis, 05 Desember 2013

Pemikiran Politik Islam Masa Klasik


Dalam  sejarah  pertumbuhan peranan  negara  --dalam pemikiran politik Islam klasik-- menduduki posisi  sentral dari keberlangsungan Islam sebagai ajaran yang total  dan fundamental.   Keberadaan  negara  dalam  batas   tertentu sebagai  penjamin  terlaksana  tidaknya  syari'ah   Islam. Bahkan  dalam pandangan Ibnu Taimiyyah  mendirikan negara adalah sebuah tugas suci dan rohani bagi setiap muslim.

Pemikiran Poliitik Islam klasik setidaknya  diwarnai dengan beberapa corak pemikiran yang khas;
1. Terdapatnya  pengaruh yang signifikan  dari  pemikiran-pemikiran  Yunani,  terutama  Plato.  Interaksi  dengan pemikiran  Yunani ini tampak menonjol  dalam  masa-masa pemerintahan kekhilafahan Abbasiyah.
2. Pemikiran politik sebagian besar memberikan  legitimasi terhadap status quo. Baik dalam formulasi teoretik yang memberikan  dukungan  sampai  hanya  memberikan saran-saran.
3. Pemikiran   politik   Islam   lebih    berkecenderungan menampilkan  bentuk-bentuk yang idialis  daripada  yang lebih operasional.

Pemikiran   Islam  klasik  dalam  kaitannya   dengan managemen   kenegaraan   terdapat   variasi pendekatan: Sentralisme Khalifah , Institusionalisme, dan Organisme.

Managemen  kenagaraan dengan pendekatan sentralisme banyak  dikemukakan oleh para filsof baik dari Al-Farabi, Ibnu  Sina  maupun Al-Ghazali. Pandangan Farabi  dan Ibnu Sina  dalam batas tertentu terasa sangat idealis  di  mana khalifah harus dipegang oleh seorang filsuf sebagai bentuk pengaruh  pemikiran Yunani.

Pandangan Al-Ghazali  menjadi lebih realistis dibandingkan dengan mereka karena  Ghazali pernah  terlibat dalam  pemerintahan  dinasti  Abbasiyah, sekaligus teman karib dari Perdana Menteri Nizhamul  Mulk. Pandangan  kaum filsof menempatkan bahwa negara akan  baik dan  tidak sangat tergantung kepada sang  Khalifah,  jika khalifah  baik maka negara akan baik.  Khalifah  merupakan implementasi bayangan Tuhan di bumi.

Sentralnya peran Khalifah tercermin dalam pernyataan Ghazali  dalam  Mukadimmah  buku  "Al-Muhtazhir": Pertama, sesungguhnya  keberesan  agama  tidaklah  tercapai   kalau dunianya tidak beres, sedangkan keberesan dunia tergantung kepada  khalifah yang ditaati. Kedua,  ketentraman   dunia dan keselamatan  jiwa dan harta  hanyalah   dapat  diatur dengan adanya khalifah yang ditaati. Dengan  alasan  ini, Ghazali secara  tegas menyatakan syarat  menjadi  seorang khalifah adalah mewakili pribadi para shahabat utama,  di mana memenuhi syarat ilmiyah dan amaliyah. Syarat ilmiyah yang berkaitan dengan kepribadian  yang baik,  sedang  amaliyah yang  berkaitan  dengan  perasaan emphati  kepada lingkungan dengan baik. Di  mana  kemudian terangkum  ke  dalam syarat yang  4:  najah   (kemampuan bertindak, kewibawaan, wara' (jujur), dan ilmuan (cerdas). Jika  syarat-syarat  tersebut tidak terpenuhi maka ia akan  ditempatkan ke  dalam  level  yang lebih  rendah  wewenangnya   dalam kepemimpinan   sesuai dengan  gelarnya. Khalifah  bagi yang memenuhi syarat kesemuanya,  Imam Dharury, khalifah yang diangkat karena dharurat saja, Wali bisy-syaukah,  kepala negara yang merampas kekuasaan,  dan zus syaukah,   Sehingga   baik buruknya  akhlaq seorang kepala negara  menjadi  prasyarat utama  dari khalifah.

Sedangkan pendekatan institusional banyak dipelopori oleh   Imam  Mawardi,  karya  terbesarnya  dalam   politik terangkum  dalam "Al-Ahkam As-Sulthaniyyah". Bagi Mawardi yang  paling  penting  dalam  pengelolaan  negara adalah pemantapan  struktur  dan  fungsi  kelembagaan, terutama sekali  kelembagaan  kepala  negara  (khalifah)  dan yang memilih  kepala  negara  (ahl-ikhtiar).  Orang-orang yang tergabung  dalam kelembagaan ini adalah  orang-orang  yang terpercaya, ahlul hal wal aqdi (orang yang faham akan satu hal  (profesional) sekaligus orang yang  adil).  Pandangan Mawardi tidak banyak berbeda dalam memandang peran kepala negara (khalifah) sebagai bagian yang sentral.

Pandangan seperti ini memancing kritik  bahwa Mawardi dalam   merumuskan  tulisannya  atas  dasar  apalogi dan legitimasi  kekuasaan  kekhalifahan,  terutama  dalam  hal pembenaran  pergantian khalifah secara turun-temurun  jika keadaan  terpaksa.

Pandangan   Mawardi  tidak  bisa   dilepaskan   dari kedudukan   Mawardi   sebagai   sebagai   seorang    Wazir (Penasehat)  dalam  masa khalifah al-Qadir   dan  al-Qasim pada pemerintahan Abbasiyah. Mawardi mendapatkan perintah dari khalifah bagaimana secara teoritis bisa  mempertahankan kelangsungan  kekhalifahan Sunni  yang  sedang  dalam kemunduran.  Nasehat-nasehat Mawardi ini di kemudian  hari disadur  oleh  Machiavelli dalam "Sang  Pangeran"  sebagai nasehat  kepada  raja bagaimana  menjalankan  pemerintahan yang diambang kemunduran

Nasehat Machiavelli adalah nasehat yang realisme dengan pernyataan  bahwa untuk mempertahankan kekuasaan seorang raja  lebih  harus ditakuti daripada  dicintai rakyatnya. Jika rakyat dicintai maka akan banyak menuntut dan berani. Sedangkan  dalam  pandangan Mawardi, raja yang  baik  demi mempertahankan  kekuasaan adalah raja yang lebih  dicintai rakyatnya dan tidak menimbulkan perasaan takut.

Pandangan   yang   ketiga  dikemukakan   oleh   Ibnu Taimiyyah  di  mana melandaskan pemikirannya  bahwa baik-buruknya  suatu pemerintahan tidak hanya  ditentukan  oleh kualitas  yang  baik dari kepala negara akan  tetapi  oleh organ  kenegaraan  secara luas. Pandangan  Ibnu  Taimiyyah banyak  dirujuk dari bukunya Minhajul Sunnah  dan Siyasah Asy-Syar'iyyah.  Fungsi  organisme yang  ditamsilkan  oleh hadis  tentang hubungan antar mukmin sebagai  saudara  dan bangunan  yang saling melengkapi disadurnya  dalam  bentuk pemerintahan. 

Dengan  pandangan ini Taimiyyah melakukan reformasi sekaligus   melakukan   kritik  sosial   terhadap   sistem kekhalifahan.  Runtuh  dan hancurnya  sistem  kekhilafahan pada  satu sisi disebabkan karena masalah akhlaq  pemimpin yang  merosot.

Akan tetapi tidak  berfungsinya  lembaga-lembaga  pendukung kekhilafahan yang selamanya ini  tampak
hanya  sebagai pelengkap saja. Ketergantungan  yang  besar kepada  sang  Khalifah dalam batas  tertentu  menghasilkan kinerja kekhilafahan yang sesukanya yang kemudian mengarah kepada dekadensi moral. Runtuhnya  kekhalifahan Abbasiyyah  sebagai   akibat serangan tentara Monghol secara mendadak karena terjadinya pengkhianatan   Wazir  terhadap kekhalifahan,   di   mana Khalifah  sendiri  tidak menyadarinya.

Dari  pijakan  ini  Taimiyyah  melakukan   reformasi terhadap  gejala  pengagungan Khalifah pada  mazhab  Sunni maupun Imam Ma'shum pada mazhab Syi'ah sekaligus melakukan kriitikan  kepada  mazhab Khawarij. Pandangan ini sebagai upaya  untuk  mengkatrol peran ummah sebagai bagian  yang spesfik  dari  negara  untuk  turut  menentukan kehidupan bernegara. 

Dalam  batasan  tertentu posisi kepala  negara  akan banyak ditentukan oleh Ummah yang terwakili dalam lembaga legistatif.  Posisi Ummah ini sebagai sarana  transformasi yang memiliki kedudukan suci sebagaimana kedudukan Nabi. Pemimpin  yang sudah terpilih oleh lembaga tersebut harus dibai'ah (disumpah dan dipersaksikan). Dalam proses bai'ah ini,  rakyat atau anggota masyarakat  diperkenankan tidak membai'ah  dan  tidak akan dikenakan penjara  dan ancaman subversif.

Pandangan  Ibnu  Taimiyah ini sebagai  reaksi  dari masa  dis-integrasi kekhilafahan Abbasiyah dan  keimamahan Syiah. Ibnu Taimiyah yang besar dengan mazhab Hambali yang kritis   terhadap  pemerintahan  tidak  banyak melakukan pembelaan   akan  pemerintahaan  yang  ada   akan   tetapi melakukan pembenahan-pembenahan kenegaraan menurut pedoman Qur'an  dan Sunnah sekaligus dengan  menggunakan kekuatan akal.

Dasar-dasar   peletakan  pemikiran  Ibnu   Taimiyyah mengilhami penggalian-penggalian asas politik Islam secara lebih  cermat.  Seperti masalah keadilan,  Ibnu  Taimiyyah memberikan   peryataan  yang  cukup   kontroversi   dengan ungkapan  "Lebih baik dipimpin oleh orang kafir yang  adil daripada  dipimpin  orang Islam yang  zhalim".  Pernyataan seperti  ini  jelas  tidak  bisa  diterima  bagi  kalangan sentralisme khalifah dan institusionalis yang  mengedepan-kan syarat   keislaman  daripada   keadilan.   Pandangan kontroversi  ini  setidaknya  sebagai  akumulasi   masalah Taimiyyah yang menghadapi penguasa Islam yang zalim. Ibnu Taimiyyah yang bermazhab Hambali  sangat sering bersitegang  dengan  penguasa  yang  kemudian menghantarkannnya  ke penjara. Bahkan Taimiiyah maupun Imam  Hambali meninggal  di  penjara.

Konsep  syura  pada  akhirnya  menjadi  embrio  yang dikupas  oleh Taimiyyah. Dengan konsep Syura,  maka ummat akan   ditempatkan  sebagai  peran  yang   sentral   dalam kedudukan   pemerintahan  dan  negara. Syura diambil dari kata al-istikharaaj yang  maksudnya mengambil   madu sedikit demi  sedikit,   jika   hendak mengeluarkannya  dari sarangnya dan  memeriknya,  memilih sesuatu  untuk diketahui keadaannya. Atau Imam  al-Qurtubi berkata bahwa kata istisyarah diambil dari perkataan Arab: Syarratid   Dabbatu Wasyaurabika  idza'alimat   khabaraha bijarinau  ghairahu     ( menguji  hewan  untuk   mengetahui  sejauh  mana larinya atau lainnya.

Syura   kemudian mendapat peran yang legal untuk melakukan prinsip  politik Islam berupa bai'ah. Bai'ah  adalah berasal dari kata bay'a  yang  artinya menjual. Dalam praktek historis, bay'ah sudah dilaksanakan oleh Nabi selama 2 kali Bay'ah Aqobah I dan II) ketika  di Makkah dan kemudian dikembangkan dalam parktek berikutnya.

Dari ketiga perspektif pemikiran tersebut  tampaknya mempunyai  elan vital di jamannya.  Pemikiran  sentralisme khalifah dan institusionalisme melihat bahwa hanya  elemen pemimpin   negaralah  yang  mampu  mempertahankan negara ancaman  kehancuran  dari  luar.  Artinya  pemikiran ini sebenarnya  tidak  menafikan akan  arti  kelembagaan yang
lain.  Sedangkan pemikiran organis muncul  sebagai  bentuk terapi  untuk  membangun kembali sistem  kenegaraan  Islam yang  sudah tercabik-cabik, dengan   menempatkan  kekuatan organis sebagai penyangganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...