Senin, 13 Januari 2014

Jeritan Jiwa Lara

Oleh: AM Bambang Prawiro

Hingga saat ini saya terus berfikir tentang keajaiban manusia, ia sangat luar biasa hingga memiliki sifat yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Ada jiwa yang berjalan pada kelurusan iman, ia tumbuh di bawah naungannya hingga dewasa matang dengan keimanan yang mantap. Namun ada juga yang mereka besar di bawah didikan yang tidak didasarkan agama atau hanya sekadarnya saja dalam pendidikan agamanya, hingga ia tumbuh apa adanya. Adalagi jiwa yang tumbuh dan dewasa di bawah naungan pendidikan yang tidak mengenal agama atau tidak mempedulikan agama hingga ia dewasa dalam keadaan tidak peduli dengan agamanya. Jiwa jenis pertama dan kedua berada di sisi terjauh umumnya manusia, sementara yang kedua adalah jiwa kebanyakan manusia. Ia tubuh hanya kurang mendapatkan pendidikan agama yang layak sehingga ia akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan ketika ia dewasa.
Pengaruh lingkungan memang sangat berperan dalam pembentukan jiwa manusia, ia bisa beringas dan tidak berperadaban ketika lingkungannya bersikap demikian. Ia juga bisa memiliki sifat yang taat dengan agama ketika lingkungannya menanamkan pendidikan agama dengan benar.  Berdasarkan pengalaman, bagaimanapun kondisi jiwa seseorang ia memiliki tantangan dan penghalang dalam menapaki keridhaan Ar-Rahman. Godaannya akan semakin meningkat ketika keimanannya juga meningkat, seorang ustadz tentu akan beda godaan dari syaithan dibandingkan dengan seorang awam. Bisa jadi orang awam tidak akan melihat bagaimana godaan itu muncul pada diri seorang agamawan, padahal semakin ia menjadi ahli agama semakin besar godaan yang diterimanya.
Inilah yang terjadi pada seorang yang bernama (Abdullah: bukan nama sebenarnya), ia merasakan betapa ia dihampiri rasa gundah karena memendam rasa kepada seseorang yang seharusnya tidak dikaguminya. Ia merasa gelisah ketika jauh dari orang tersebut inginnya ia selalu bersama dengannya dan bisa bersama-sama menjalani kehidupan ini. Namun ia sadar, semua itu tak mungkin terjadi, jarak yang jauh dan keadaan keluarga sangat tidak memungkinkan ia untuk selalu bisa bersama-sama dengannya. Rasa suka itu muncul ketika pertama kali melihatnya, ada semacam aura yang membuatnya terkagum-kagum dengan orang tersebut. Canda-tawanya, senyum khas-nya, cara berbicaranya, tubuhnya dan raut mukanya benar-benar membuat Abdullah terpesona. Ia juga sadar bahwa rasa sukanya itu terlarang oleh agama, namun ia tidak bisa membohongi jiwanya bahwa ia suka sejak pertama berjumpa. Rasa sukanya membawa pada perasaan tidak tenang, galau dan ketidaknyamanan ketika berjauhan dengannya. Ada apa ini sebenarnya? Apakah ia suka dengannya? Atau memang ada kebutuhan yang harus diselesaikan masalah pekarjaan dan sekolahnya?
Lama ia merenung, akhirnya ia menemukan bahwa ternyata rasa suka itu benar-benar ada karena kekagumannya kepada orang tersebut. ia coba mengalihkan rasa suka itu dengan dalih keperluan sekolah, pekerjaan, professional dan sebagainya. Namun, hatinya tidak bisa dibohongi bahwa ia memang suka dengan orang tersebut. Entahla apakah orang tersebut mengetahuinya atau tidak, yang pasti ia juga menyambut gembira dan bersikap menerima ketika berjumpa. Rasa itu terus tumbuh hingga setahun lamanya, lebih dari itu ternyata ia semakin gamang dengan perasaannya. Ia suka, tapi itu tidak boleh dalam agama.
Jiwanya luka karena terjadi perang batin antara rasa suka kepada orang tersebut dengan alrangan agama. Ia sendiri sadar, rasa suka itu memang bukan rasa suka biasa, tapi lebih dari segalanya hingga ia rela mengorbankan apa yang ia miliki untuk orang itu. Jiwanya memang sakit, dan harus diobati. Tetapi dia sendiri tidak bisa berbohong dengan dirinya sendiri hingga ia tersiksa dengan rasa sukanya. Entah sampai kapan ia akan tersiksa dengan rasa sukanya, ia mencoba untuk menepis namun baying-bayang itu selalu menghantuinya. Ia ingin selalu dekat dengannya, mendekapnya, memeluknya dan lebih dari itu. Namun ia juga sadar tidak mungkin bisa melakukannya karena hal itu jelas dilarang agama.
Jiwanya menjerit, luka yang dulu dideritanya kini kambuh kembali. Rasa suka dengan sesama membawanya pada derita luka jiwa yang menganga. Ia sadar bahwa itu adalah kesalahannya, namun ia juga tidak bisa membohongi rasa sukanya. Betul-betul derita jiwa yang sulit dicarikan obatnya. Hanya pada Allah ta’ala ia mengadukan semua lukanya, mudah-mudahan di sana ada jalan terang yang membawanya menuju kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat sana. Semoga…………… (Bogor 10/01/2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...