Sabtu, 11 Januari 2014

Kisah Rasa Jiwa


Oleh: AM Bambang Prawiro


Jiwa manusia memiliki rasa suka dengan sesamanya, ia adalah fitrah yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Rasa itu muncul ketika ia merasa cocok dengan jiwa lainnya, hingga seolah-olah jiwanya adalah separuh dari jiwa yang disukainya. Rasa suka dengan sesama telah menjadikannya berusaha semaksimal mungkin untuk bisa selalu bersama-sama dengannya. Sebagai penggerak dari seluruh anggota badan, maka jiwa akan mengoptimalkan seluruh potensi yang ada untuk bisa mendekati raga pemilik jiwa yang disukainya. Jiwa yang sehat akan memiliki rasa suka dengan jiwa yang sehat pula, sebaliknya jiwa yang sakit akan suka dengan jiwa sakit lainnya. Sehingga pasangan dari masing-masing jiwa telah ditentukan keberadaannya.
Membincang rasa jiwa sangat mengundang hasrat untuk lebih mendalaminya. Sebuah jiwa yang memiliki rasa suka akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa berdekatan dengan jiwa yang disukainya. Karena jiwa itu abstrak maka rasa sukanya akan terjebak pada tampilan tubuh dari jiwa yang disukainya. Di sinilah kekaguman terhadap tubuh menjadi alasan utama kesukaan jiwa terhadap jiwa lainnya. Jiwa itu akan merasa tenang ketika berada di dekat raga pemilik jiwa yang disukainya. Ia ingin selalu dekat dengannya, bercanda ria dengannya, berbincang-bincang hingga menyentuh raga dan yang lebih dari itu.
Kisah jiwa yang suka dengan sesamanya telah menginspirasi berjuta umat manusia untuk melakukan sesuatu yang berada di luar nalar manusia. Pengorbanan yang dilakukannya tidak lagi difikirkan, yang ada adalah bagaimana agar ia bisa dekat dengan pujaannya tersebut. Rasa jiwa ini bisa jadi muncul dari panca indra yang melihat raga yang memiliki jiwa. Kemudian dari panca indra tersebut merasuk ke dalam jiwa manusia, ia menempel hingga ketika rasa suka itu semakin kuat akan menjadikan rasa itu terpatri dalam jiwa. Di sinilah puncak rasa suka itu akan menyetir jiwa hingga jiwa itu akan berusaha secara membabi-buta memperjuangkan rasa suka jiwa. Perjuangan ini biasanya akan melibatkan raga dan tak jarang memakan korban dari korban kekayaan hingga korban perasaan.
Maka kita lihat bagaimana seseorang yang menderita karena rasa suka yang ada pada jiwanya. Di rela mengorbankan apa saja yang dimiliknya agar jiwanya terpuaskan an terpenuhi keinginannya. Penderitaan itu akan semakin menjadi ketika jiwa yang disukainya ternyata tidak peduli dan tidak mau menerima rasa jiwanya. Keinginannya untuk selalu dekat dengannya menjadikan kehendak jiwanya tidak terpenuhi hingga muncul perasaan duka mendalam di jiwa. Inilah rasa rasa jiwa, ia lara karena keinginannya tidak bisa terlaksana, ia luka karena jiwa yang disukainya ternyata tidak peduli dengannya. Kisah rasa jiwa adalah ketia jiwa itu merasa sebatangkara dalam derita yang tiada ujungnya. Ia tidak bisa hidupa tanpa kehadiran jiwa lain yang dikaguminya. Ia merana karena tidak bisa berdekatan dengan jiwa yang dikaguminya.
Kisah rasa jiwa telah menjadikan seseorang gelap mata, melakukan apa saja asalkan jiwanya bisa bahagia. Padahal keinginan jiwa itu belum tentu baik seluruhnya, bahkan kita tidak bisa membedakan antara jiwa yang hanif di jalanNya dengan jiwa yang ditaburi hawa dunia. Bagi jiwa yang memiliki rasa, maka hendaklah ia kembali mempergunakan rasio-nya. Apakah rasa-nya adalah karena Allah ta’ala? Atau jangan-jangan hanya karena hawa dengan sesama? Maka penawar bagi jiwa yang lara ada kembali ke jalanNya, menyerahkan sepenuhnya pada takdirNya dan beristighfar atas semua kesalahan yang dilakukannya. Rasa jiwa itu akan abadi selamanya ketika didasarkan kepada rasa dengan Rabbnya, bukan karena kekagumannya kepada tampilan raga belaka, apalagi hanya karean hawa angkara murka.
Semoga jiwa kita bukan termasuk jiwa yang lara karena suka dengan sesamanya tanpa melihat penyebab dan asas dalam rasa. (Bogor, 10/01/2014) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...