Rabu, 08 Januari 2014

Seri Disertasi: Adat dan ‘Urf dalam Pendapat Fuqaha


Oleh: Abdurrahman MBP, MEI 

Setelah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam wafat maka berakhir pula wahyu baik berupa Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sejak saat itu hukum Islam diyakini sudah sempurna, tidak ada satu permasalahanpun yang tidak diatur olehnya. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًۭا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. al-Maidah [5]: 3).
Kesempurnaan Islam berkenaan dengan hukum-hukum Ibadah adalah sebuah kesepakatan, artinya tidak ada ibadah selain yang diajarkan oleh Nabi di masa hidupnya. Adapun berkenaan dengan bidang muamalah maka Islam memberikan kaidah-kaidah umum yang mencakup ke dalam permasalahan yang mendetail. Termasuk bagaimana sikap Islam terhadap adat-istiadat yang berlaku pada suatu masyarakat. 
Sebagai bentuk pengembangan dari hukum Islam maka para fuqaha (ahli hukum Islam) merumuskan berbagai kaidah hukum untuk mengatasi setiap permasalahan yang muncul. Terutama permasalahan yang tidak ditemukan dalil-nya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada masa shahabat Nabi Muhammad  r terjadi interaksi antara bangsa Arab dan bangsa Persia, Romawi dan bangsa-bangsa lainnya. Interaksi ini menimbulkan permasalahan yang harus dicari jalan keluarnya, maka ahli-ahli hukum Islam pada waktu itu merumuskan kaidah  hukum diantaranya adalah Imam Malik yang mendasarkan amal penduduk Madinah sebagai sumber hukum ketika tidak ditemukan secara eksplisit dalil di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. 
Adat oleh sebagian besar fuqaha menjadi metode dalam menetapkan suatu hukum, sementara oleh yang lainnya menjadi sumber hukum. Penggunaan teori ‘Urf untuk pertama kali dilakukan oleh Imam Malik bin Anas di mana dalam teori istinabth al-ahkam beliau menjadikan a’mal ahlu al-madinah sebagai bagian dari sumber hukum.[1]
Selanjutnya Imam Syafi’i juga menggunakan ‘urf dan kebiasaan masyarakat sebagai dalil dalam menetapkan suatu hukum. Walaupun tidak secara terbuka menyebutkan Adat dan ‘Urf sebagai metode ijtihadnya namun pendapat-pendapatnya ketika berada di Mesir (Qaul Jadid) menunjukan penggunaan ‘urf penduduknya sebagai bahan acuan fatwanya.[2]
Adat dan ‘Urf dalam pandangan ahli hukum Islam (fuqaha`) dianggap sebagai sumber hukum yang dapat dipertanggungjawabkan, sepanjang keberadaannya tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syar`i. Ibnu Nujaim menyatakan:
وَاعْلَمْ أَنَّ اعْتِبَارَ الْعَادَةِ وَالْعُرْفِ يُرْجَعُ إلَيْهِ فِي مَسَائِلَ كَثِيرَةٍ حَتَّى جَعَلُوا ذَلِكَ أَصْلًا
Ketahuilah sesungguhnya adat dan urf menjadi salah satu referensi dalam fiqih Islam untuk memecahkan berbagai macam persoalan sehingga menjadi salah satu sumber hukum.

Imam al-Sarokhsi menyatakan:
الثابت بالعرف كالثابت بالنص
Hal-hal yang ditetapkan ‘urf sama kedudukannya dengan hal-hal yang ditetapkan oleh nash.
Ibnu Qayyim mengatakan bahwa Madzab Hambali dalam berbagai fatwa fiqihnya tidak kurang 100 masalah khususnya dalam bidang muamalat merujuk kepada urf. Sebagaimana madzab Syafi’i juga cukup memiliki perhatian besar dalam menggunakan urf sebagai sumber hukum.
Imam al-Suyuti mengatakan:

Bahwa adat dan urf merupakan sumber hukum yang bisa memecahkan dalam berbagai persoalan diantaranya masalah Haid masalah batas dewasa dll.
Lebih tegas lagi ketika kita simak perkataan al-Qarafi dalam pandangannya terhadap sikap yang diambil oleh mujtahid ketika menerbitkan hukum, ”Sesungguhnya tindakan memberlakukan hukum berdasarkan adat yang berubah-ubah adalah bertentangan dengan ijmak dan dianggap berlaku bodoh terhadap agama -bukannya demikian-, melainkan ketentuan hukum syariah harus disesuaikan dengan adat/ urf yang berubah-ubah tersebut.
Syihabuddin al-Qorofi:16
بالنظر الدقيق فى العرف و أمثلته و ما قال الأصولييون و الفقهاء فيه يتبين أنه ليس دليلا مستقلا بشرع الحكم فى الواقعة بناء عليه و إنما هو دليل يتوصل به إلى الفهم المراد من عبارات النصوص و من ألفاظ المتعاملين و إلى تخصيص العام و تقييد المطلق
Dengan mempelajari dengan seksama dalam maslah ‘urf, contoh-contohnya, apa yang dikatakan oleh para ahli Ushul Fikih dan Fikih, akan menjadi jelas bahwa dalam suatu perkara, ‘urf itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri dari syari’at, hukumnya tidaklah berdasarkan ‘urf itu sendiri akan tetapi hanya dalil yang akan mengantarkan kita untuk bisa memahami maksud yang diingini oleh redaksi-redaksi nash dan maksud dari perkataan orang-orang yang terlibat di dalamnya, juga menjadi pengkusus bagi dalil yang umum dan pengikat bagi dalil yang mutlaq.

Senada dengan ini apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam kitabnya I`lamul Muwaqqi’in:
ومن أفتى الناس بمجرد المنقول في الكتب على اختلاف عُرْفهم وعوائدهم، وأزمنتهم وأمكنتهم ، وأحوالهم ولقرائن أحوالهم ، فقد ضل وأضل ..."
Sesungguhnya orang yang berfatwa hanya berdasarkan dalil naqli dan bertentangan dengan tradisi, urf, situasi, dan kondisi masyarakat maka berarti dia telah berlaku sesat dan menyesatkan.[3]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua fuqaha sepakat tentang kedudukan adat dan urf sebagai sumber hukum. Pada konteks ini Madzab Maliki dianggap sebagai madzab yang paling dominan menggunakannya dalam ijtihad hukum fikihnya, dibanding dengan madzab-madzab yang lain, hal itu dikarenakan pertama madzab Maliki meletakkan kemaslahatan sebagai pilar terbesar dalam ijtihadnya, kedua urf yang shahih merupakan amalan yang berpangkal pada kemaslahatan oleh sebab itu madzhab Maliki lebih mendahulukan urf atas analogi (qiyas).
Ketika Imam Al Qurtubi membaca hadits tentang istri Abu Sofyan yang diizinkan Nabi untuk mengambil uang secukupnya sebagai nafaqah, menurutnya tindakan ini dianggap sebagai tindakan urf. Artinya tindakan tersebut bisakah diberlakukan di seluruh dunia maka jawabnya, apakah urf yang berlaku demikian?.


[1] Ahmad Fahmi Abu Sinnah, Al-‘Urf Wal ‘Adah fi Ra’yil Fuqaha, (Mesir: Mathba’ah Al-Azhar, tahun 1947), hlm.
[2] Jaih Mubarak, Modifikasi Hukum Islam : Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2002), hlm.
[3] Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqi’in,  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...