Sabtu, 25 Januari 2014

Seri Disertasi: Teori 'Urf dalam Islam

Oleh: Abdurrahman Misn BP

Teori ‘Urf sebagaimana disebutkan para ahli hukum Islam sejatinya telah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, beberapa hukum yang ditetapkan oleh beliau, sebelumnya telah ada pada masyarakat Arab waktu itu. Demikian pula para shahabat nabi telah menetapkan berbagai hukum Islam dengan pertimbangan ‘urf yang berlaku di suatu masyarakat. Umar bin al-Khattab telah menetapkan beberapa hukum dengan memperhatikan ‘urf di masyarakat waktu itu. Abdullah bin Mas’ud menjadi pencetus bagi madzhab ahlu ra’yi di Kuffah yang sebagian hukum-hukum yang ditetapkannya berdasarkan ‘urf  di zamannya.
Ahli hukum Islam (fuqaha) yang menggunakan ‘urf sebagai dasar pertimbangan hukum adalah Imam Malik bin Anas yang menjadikan a’mal ahlu Madinah sebagai salah satu dasar penetapan hukum dalam madzhabnya.[1] Selain itu Abu Hanifah adalah fuqaha yang banyak menetapkan hukum dengan dasar ‘urf di masyarakat. Sementara Imam Syafi’i telah banyak merubah fatwa-fatwanya setelah berhijrah dari Baghdad ke Mesir dengan pertimbangan ‘urf yang berlaku di tempat baru tersebut.[2] Sementara Imam Ahmad bin Hambal menggunakan metode istihsan di mana salah satunya menggunakan ‘urf sebagai pertimbangan hukumnya.    
Para fuqaha generasi berikutnya mengkaji lebih mendalam mengenai teori ‘urf, diantaranya adalah Ibnu Nujaim yang menyatakan:
وَاعْلَمْ أَنَّ اعْتِبَارَ الْعَادَةِ وَالْعُرْفِ يُرْجَعُ إلَيْهِ فِي مَسَائِلَ كَثِيرَةٍ حَتَّى جَعَلُوا ذَلِكَ أَصْلًا
Ketahuilah sesungguhnya adat dan ‘urf menjadi salah satu referensi dalam fiqih Islam untuk memecahkan berbagai macam persoalan sehingga menjadi salah satu sumber hukum.[3]
Menguatkan pendapat sebelumnya Imam al-Sarakhsi berpendapat:
الثَّابِتُ بالعرفِ كالثابت بالنصِّ
Hal-hal yang ditetapkan ‘urf sama kedudukannya dengan hal-hal yang ditetapkan oleh nash.
Demikian pula Imam al-Suyuti dari Madzhab Syafi’i mencatat dalam kitabnya:
أن اعتبار العادة والعرف رُجِعَ إليه في الفقه في مسائل لا تُعَدُّ كثرة
Bahwa adat dan urf merupakan sumber hukum yang bisa memecahkan dalam berbagai persoalan, diantaranya masalah Haidh masalah batas dewasa dll.[4]
Lebih tegas lagi perkataan Imam al-Qarafi dalam pandangannya terhadap sikap yang diambil oleh mujtahid ketika menerbitkan hukum, ”Sesungguhnya tindakan memberlakukan hukum berdasarkan adat yang berubah-ubah adalah bertentangan dengan ijmak dan dianggap berlaku bodoh terhadap agama -bukannya demikian-, melainkan ketentuan hukum syariah harus disesuaikan dengan adat/ urf yang berubah-ubah tersebut. Syihabuddin al-Qarafi berpendapat:
بالنظر الدقيق فى العرف و أمثلته و ما قال الأصولييون و الفقهاء فيه يتبين أنه ليس دليلا مستقلا بشرع الحكم فى الواقعة بناء عليه و إنما هو دليل يتوصل به إلى الفهم المراد من عبارات النصوص و من ألفاظ المتعاملين و إلى تخصيص العام و تقييد المطلق
Dengan mempelajari dengan seksama dalam maslah ‘urf, contoh-contohnya, apa yang dikatakan oleh para ahli Ushul Fikih dan Fikih, akan menjadi jelas bahwa dalam suatu perkara, ‘urf itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri dari syari’at, hukumnya tidaklah berdasarkan ‘urf itu sendiri akan tetapi hanya dalil yang akan mengantarkan kita untuk bisa memahami maksud yang diingini oleh redaksi-redaksi nash dan maksud dari perkataan orang-orang yang terlibat di dalamnya, juga menjadi pengkusus bagi dalil yang umum dan pengikat bagi dalil yang mutlaq.

Senada dengan ini apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam kitabnya I`lamul Muwaqqi’in:
وَمَنْ أَفْتَى النَّاسَ بِمُجَرَّدِ الْمَنْقُولِ فِي الْكُتُبِ عَلَى اخْتِلَافِ عُرْفِهِمْ وَعَوَائِدِهِمْ وَأَزْمِنَتِهِمْ وَأَمْكِنَتِهِمْ وَأَحْوَالِهِمْ وَقَرَائِنِ أَحْوَالِهِمْ فَقَدْ ضَلَّ وَأَضَلَّ
Sesungguhnya orang yang berfatwa hanya berdasarkan dalil naqli dan bertentangan dengan tradisi, urf, situasi, dan kondisi masyarakat maka berarti dia telah berlaku sesat dan menyesatkan.[5] Ia juga mengatakan bahwa Madzab Hambali dalam berbagai fatwa fiqihnya tidak kurang 100 masalah khususnya dalam bidang muamalat merujuk kepada ‘urf. Sebagaimana madzab Syafi’i juga cukup memiliki perhatian besar dalam menggunakan urf sebagai sumber hukum.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas fuqaha sepakat tentang kedudukan ‘urf sebagai sumber hukum. Pada konteks ini Madzab Maliki dianggap sebagai madzab yang paling dominan menggunakannya dalam ijtihad hukum fikihnya, dibanding dengan madzab-madzab yang lain, hal itu dikarenakan pertama madzab Maliki meletakkan kemaslahatan sebagai pilar terbesar dalam ijtihadnya, kedua ‘urf yang shahih merupakan amalan yang berpangkal pada kemaslahatan oleh sebab itu madzhab Maliki lebih mendahulukan urf atas analogi (qiyas).


[1] Ahmad Fahmi Abu Sinnah, Al-‘Urf Wal ‘Adah fi Ra’yil Fuqaha, (Mesir: Mathba’ah Al-Azhar, tahun 1947), hlm. 28.
[2] Jaih Mubarak, Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 10.  
[3] Zainudin bin Ibrahim Ibnu Nujaim, al-Asybah Wa Nadzair, hlm. 101.  
[4] Imam As-Suyuti, al-Asybah wa Nadzair, hlm. 90.
[5] Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqi’in,hlm. 40.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...