Senin, 24 Februari 2014

Pilar Ekonomi Islam: Sektor Moneter

Oleh: Prof. DR. KH. Didin Hafidhuddin, MS


1.    Pilar Kedua Ekonomi Syariah: Sektor Moneter

Pilar kedua Ekonomi Syariah adalah sektor moneter. Sektor ini akan berjalan dengan baik apabila Lembaga Keuangan Syariah (LKS), baik perbankan syariah maupun non perbankan syariah berjalan dengan baik. Alhamdulillah sektor moneter ini telah menunjukkan kemajuan yang signifikan, walaupun belum optimal. Hal ini ditandai antara lain oleh:

  1. Jumlah lembaga keuangan syariah, seperti perbankan syariah semakin meningkat, demikian pula jumlah assetnya.
  2. Kajian tentang ilmu ekonomi syariah juga semakin meningkat, terutama di kalangan Perguruan Tinggi. Misalnya: IPB dan Unair telah membuka program S-1 Ekonomi Syariah, di samping PT lainnya seperti UI, UIKA, UIN, IAIN, STAIN, SEBI, TAZKIA, STAI Al-Hidayah Bogor, dll.
Dukungan pemerintah terhadap sektor ini semakin kentara dengan sosialisasi yang dilakukan secara terus-menerus. salah satu sosialisasi yang belum ada ini dilakukan adalah Program GRES (Gerakan Ekonomi Syariah) oleh Presiden Republik Indonesia pada Ahad, 17 Nopember 2013 M/13 Muharram 1435 H. Presiden  telah mencanangkan kembali gerakan ekonomi syariah (GRES) yang diharapkan akan menguatkan peran ekonomi syariah terhadap ekonomi umat dan bangsa.
Regulasi tentang kegiatan Ekonomi Syariah telah semakin terarah, seperti UU No 21 / 2008 tentang Perbankan Syariah, UU No. 19 / 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Fatwa DSN-MUI tentang kegiatan ekonomi syariah telah mencapai sekitar 80 buah fatwa, dll. Demikian pula kegiatan LKS non bank, seperti asuransi syariah, pegadaian syariah, BMT dll. telah menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Hal terbukti dengan berkembangnya lembaga-lembaga tersebut yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Selain itu tumbuh dan berkembang pula asosiasi-asosiasi ekonomi syariah, baik di pusat maupun daerah, seperti MES (masyarakat ekonomi syariah), PKES (pusat kajian ekonomi syariah), IAEII (ikatan ahli ekonomi Islam Indonesia) ASBISINDO (asosiasi bank syariah Indonesia), disamping juga BAZNAS (badan amil zakat nasional) dan BWI (badan wakaf Indonesia).
Kemajuan ekonomi syariah tidak akan bisa tercapai tanpa dukungan dari seluruh elemen umat Islam. Sehingga menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin untuk mendukung upaya penguatan lembaga keuangan syariah, baik dengan bertransaksi melalui LKS maupun dengan menyebarkan dan mendakwahkannya pada masyarakat. Hal ini dilandasi dengan berbagai alasan, antara lain sebagai berikut:

Pertama, perintah melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh, termasuk di bidang mu’amalah, di samping bidang yang lainnya. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ. ﴿البقرة: ٢٠٨﴾.
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah [2]: 208).
Masuk ke dalam Islam secara kaafah (keseluruhan) berarti melaksanakan seluruh syariat Islam, baik dalam bidang aqidah, ibadah dan muamalah. Maka ketika seseorang masuk ke dalam Islam secara keseluruhan, ia harus pula melaksanakan seluruh aturan syariah yang berkenaan dengan aktifitas ekonominya. Apalagi dalam Islam aktifitas ekonomi terkait erat dengan hukum-hukum ibadah, seperti larangan memakan riba, haramnya berjudi, mengonsumsi minuman keras dan lain sebagainya. 
Kedua, pelaksanaan ekonomi syariah ini sesungguhnya merupakan implementasi dari fiqih mu’amalah yang sudah dibahas oleh para ulama sejak zaman dahulu dengan berasaskan al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ia adalah salah satu bab dari empat (4) bab kajian fiqih (hukum Islam) yaitu fiqih ibadah, fiqih munakahat, fiqih muamalat, dan fiqih jinayah.

Ketiga, terdapat perbedaan yang mendasar antara LKS dengan Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) misalnya perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional, antara lain sebagai berikut:

1)        Akad dan Aspek Legalitas: Akad dalam bank syariah senantiasa merujuk pada ketentuan syari’ah, seperti tidak boleh ada unsur riba (bunga) yang secara jelas diharamkan. Akadnya bervariasi, ada: wadi’ah, mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, dan lain sebagainya. Jika terjadi perselisihan diselesaikan melalui mekanisme musyawarah dan atau melalui Badan Syari’ah Arbitrase Nasional (BASARNAS). Struktur Organisasi: Bank syariah memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang salah satu fungsi utamanya mengawasi operasional bank syariah dan produknya agar sesuai dengan ketentuan syari’ah.            DPS berada di bawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Fatwa-fatwa dikeluarkan oleh DSN, sedangkan DPS hanya mengawasi pelaksanaan fatwa di bank syariah sekaligus memberikan pendapat syari’ah (syari’ah opinion) jika diperlukan.

2)        Bisnis dan Usaha Yang Dibiayai, disamping memperhatikan aspek keuntungan juga harus mempehatikan hal-hal yang terkait dengan syariah, misalnya:1.   Apakah kegiatan bisnis itu halal ataukah haram? 2.Apakah manfaat ataukah mafsadat? 3.Apakah memperkuat/memperlemah da’wah/syi’ar Islam? 4   Apakah berkaitan dengan perbuatan a-susila ataukah tidak? 5.Apakah berkaitan dengan perjudian? 6.Apakah berkaitan dengan kegiatan ilegal (senjata ilegal) atau senjata pemusnah?.

3)        Lingkungan Kerja dan Corporate Culture: Sebuah bank syari’ah diharapkan mempunyai lingkungan kerja yang sejalan dengan syari’ah. Dalam hal etika, misalnya, sifat amanah dan shiddiq harus melandasi setiap karyawan sehingga tercipta profesionalisme yang berdasarkan Islam. Demikian pula dalam hal reward and punishment (imbalan dan sangsi), diperlukan sistem penggajian yang sesuai dengan syari’ah. Selain itu, cara berpakian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang tidak mencerminkan akhlaqul karimah. Demikian pula dalam mengahadapi nasabah, akhlaq harus senantiasa terjaga, misalnya dalam bentuk keramahan dan menjelaskan yang baik kepada nasabah.

4)        Bank syariah disamping memperhatikan hasil juga memperhatikan proses. Akad-akad dan persyaratan kegiatan usaha tersebut adalah mencerminkan pentingnya proses yang transparan dan sejalan dengan ajaran Islam. Sistem bagi hasil adalah sistem yang mengutamakan proses disamping hasil. Sedangkan sistem bunga yang diutamakan hasil bukan proses. Ternyata ini punya dampak terhadap perilaku umat manusia. Sistem bunga menyebabkan perilaku instant (ingin cepat berhasil yang kadangkala tidak memperhatikan cara dan proses). Sedangkan sistem bagi hasil yang merupakan sistem yang sejalan dengan ajaran Islam adalah sistem yang menyebabkan orang berpikir tentang proses disamping hasil. Karena itu al-Qur’an sangat keras memerangi riba/bunga ini. Allah ta’ala berfirman:  

يَمْحَقُ اللهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ ﴿٢٧٦﴾ إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٢٧٧﴾ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ ﴿٢٧٨﴾ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ. ﴿البقرة: ٢٧٩﴾.
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa (276) Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (277) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (278).” (QS. Al-Baqarah [2]: 276-278).

Proses dalam Islam memiliki nilai penting selain hasil. Sehingga sesuatu bisa haram apabila proses yang dilakukan haram walaupun tujuannya baik. Salah satu analoginya adalah dengan kegiatan dakwah yang harus memperhatikan proses disamping hasil. Perhatikan firman-Nya dalam QS. An-Nahl [16]: 125.

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. ﴿النحل: ١٢٥﴾.
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl [16]: 125).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...