Minggu, 16 Maret 2014

Pilar Bangunan Islam

1. Tauhid
Tauhid berasal dari bahasa Arab yaitu kata yaitu [عَقَدَ-يَعْقِدُ-عَقْدً] artinya adalah mengikat atau mengadakan perjanjian. Kata al-'aqdu (الْعَقْدُ) berarti ikatan, at-tautsiiqu (التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat. Selain itu ia juga bermakna al-Ibraam (pengesahan), at-tamaasuk (pengokohan) dan al-itsbaatu (penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan) dan al-jazmu (penetapan). "Al-‘Aqdu" (ikatan) lawan kata dari al-hallu (penguraian, pelepasan). Kata ini diambil dari kata kerja: "‘Aqadahu" "Ya'qiduhu" (mengikatnya), "‘Aqdan" (ikatan sumpah), dan "‘Uqdatun Nikah" (ikatan menikah). Allah Ta'ala berfirman:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغْوِ فِىٓ أَيْمَٰنِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلْأَيْمَٰنَ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu. QS. Al-Maidah: 89.
   Sedangkan menurut istilah (terminologi): 'Tauhid adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya. Jadi, Akidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma' (konsensus) dari Salafushalih, serta seluruh berita-berita qath'i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma' para shahabat Nabi.

1.3.2. Akhlak
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah etika atau akhlak, ia menjadi ciri bagi baiknya seseorang. Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak karimah. (HR. Malik)
Begitu pentingnya masalah akhlak dalam Islam sehingga hal-hal yang terkesan tidak bermanfaat-pun diatur oleh Islam, bahkan ia menjadi cirri bagi baiknya keislaman seseorang ketika mampu meninggalkannya. Hal ini bedasarkan sabda Rasulullah:            
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
Merupakan tanda baiknya Islam seseorang, dia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya. (HR, Thirmidzi).
Secara umum dapat disebuntukan bahwa syariah Islam adalah aturan-aturan yang datang dari Allah ta’ala, ia berupa norma-norma yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain itu ia juga berupa hukum-hukum yang dihasilkan oleh para mujtahid yang disebut dengan fiqh Islam.

1.3.3. Syariah
Syariah adalah hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Khaliq maupun dengan makhluk, di dalamnya terdiri dari dua unsur yakni Ibadah dan Muamalah. Dalam kontek yang lebih luas hukum-hukum Syariah (ibadah dan muamalah) bertujuan mewujudkan dan melindungi 3 maslahat yaitu: maslahat utama (primer), maslahat penting (sekunder) dan maslahat penunjang (tertier). Maslahat utama ialah kebutuhan pokok hidup manusia yang meliputi agama, (dien), jiwa, harta, akal dan keturunan. Adapun maslahat penting ialah berbagai masalah yang dibutuhkan manusia agar hidup mereka dapat berjalan dengan mudah dan praktis, misalnya rukshoh, jual beli salam dalam muamalat, diaturnya hukum cerai, dll. Sedangkan maslahat penunjang yaitu kebutuhan manusia akan berbagai hal, untuk menunjang kelangsungan hidup agar terasa indah dan nyaman, seperti disyariahkannya bersuci (thaharah).
Dalam ruang lingkup tujuan syariah para ulama merumuskan adanya lima tujuan diturunkannya syariah Islam ini yang dikenal dengan maqashid as-syariah (maksud dan tujuan syariah), kelima maqashid tersebut adalah :
1.                        Hifdz Ad-Din
2.                        Hifdz An-Nafs
3.                        Hifdz Al-‘Aql
4.                        Hifdz An-Nasab
5.                        Hifdz Al-Mal
Kelima tujuan dari syariah tersebut adalah ruh dari ajaran Islam, ia tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Berikut ini adalah penjelasannya:
1.                        Hifdz Ad-Din (Menjaga Agama)
Sebagai bentuk penjagaan Islam terhadap agama (hifdz ad-din) maka Allah ta’ala teah memerintahkan kepada hamba-hambaNya untuk melaksanakan ibadah. Di antara bentuk ibadah tersebut adalah shalat, zakat, puasa, haji, dzikir, do'a, dan lain-lain. Dengan  menjalankan ibadah-ibadah tersebut maka akan tegaklah dien seseorang. Kemudian untuk menjaga keberadaan dien tersebut  Allah ta’ala mensyariatkan jihad fi sabilillah, hal ini sebagaimana firmanNya :
وَقَٰتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌۭ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ كُلُّهُۥ لِلَّهِ ۚ فَإِنِ ٱنتَهَوْا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌۭ
Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.  QS.Al Anfal :39.
Kemudian untuk menjaga jangan sampai ada seorang muslim yang murtad setelah dia memeluk Islam, maka Allah mensyariatkan hukuman yang sangat keras bagi orang yang murtad, yaitu dihalalkan darahnya sebagaimana sabda Rasulullah:
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
Tidaklah halal darah seorang muslim kecuali dengan tiga alasan: orang yang sudah menikah lalu berzina, jiwa dibalas dengan jiwa (hukum qishas) dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad) yang berpisah dengan jama'ah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebaliknya untuk meneguhkan hati orang yang baru memeluk Islam (muallaf) Allah syariatkan penyaluran zakat untuk mereka. Syariat Islam melarang adanya fitnah dalam dien. Fitnah di sini maksudnya semua upaya yang menghalangi manusia untuk menempuh jalan Allah yang lurus. Fitnah dalam hal ini jauh lebih besar bahayanya dari pembunuhan, sebagaimana firman Allah:
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلشَّهْرِ ٱلْحَرَامِ قِتَالٍۢ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌۭ فِيهِ كَبِيرٌۭ ۖ وَصَدٌّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَكُفْرٌۢ بِهِۦ وَٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِۦ مِنْهُ أَكْبَرُ عِندَ ٱللَّهِ ۚ وَٱلْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ ٱلْقَتْلِ
Mereka bertanya tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan fitnah itu  lebih besar (dosanya) dari pada membunuh. QS. Al-Baqarah :217.
Syariat Islam juga melarang keras siapa saja yang berusaha untuk merusak atau menyimpangkan Tauhid kaum muslimin atau menyebarluaskan pemahaman yang bid'ah (aliran sesat). Dalam rangka menjaga kebersihan dien seseorang, syariat Islam melarang tersebarnya apa saja yang berbau pornografi dan merusak akhlak.

2.                        Memelihara Jiwa (Hifdz An-Nafs)
Islam melindungi seluruh umat manusia, maka dalam rangka menjaga keselamatan jiwa manusia dari pembunuhan tanpa alasan yang benar Allah ta’ala telah mengharamkan membunuh manusia tanpa alasan yang dibenarkan Islam. Jika terjadi sebuah pembunuhan maka wajib atasnya ditegakkan qishas:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. QS. Al-Baqarah: 178.
Selain larangan menghilangkan nyawa orang lain, Islam juga melarang seseorang untuk melakukan bunuh diri.
وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. QS. An-Nisaa: 29.
Syariat juga melarang seseorang menjatuhkan dirinya dalam kebinasaan:
وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ
dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. QS. Al-Baqarah: 195.
Demikian juga semua perbuatan yang dapat membahayakan keselamatan jiwa atau merusak kesehatan fisik, seperti merokok, dll. dilarang/diharamkan oleh syariat berdasarkan sabda Rasulullah:
لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Tidak boleh ada sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan tidak juga kepada orang lain. (HR. Daruquthni, Ibnu Majah dan Malik.)

3.                        Menjaga Akal (hifdz al-‘aql)
Syariat Islam melarang khamr (minuman keras), narkoba dan apa saja yang dapat merusak akal. Hal ini bertujuan untuk menjaga akal manusia dari apa saja yang dapat mengganggu fungsinya. Islam memandang bahwa akal manusia adalah anugrah dan nikmat Allah yang  sangat besar. Dengan akal ini manusia menjadi lebih mulia dari pada makhluk-makhluk Allah yang  lain. Maka termasuk dalam rangka mensyukuri ni'mat Allah tersebut syariat mewajibkan bagi seseorang untuk memelihara akalnya dari apa saja yang  akan mengganggunya atau mengurangi fungsi kerjanya.

4.                        Menjaga Keturunan (hifdz an-nasb)
Untuk dapat menghasilkan keturunan syariat Islam menganjurkan umatnya untuk menikah. Dan untuk menjaga keturunan, syariat mengharamkan zina. Allah menyifati zina sebagai suatu kekejian dan jalan yang  buruk, sebagaimana firman Allah :
وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةًۭ وَسَآءَ سَبِيلًۭا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. QS. Al-Isra: 32
Syariat Islam memberikan hukuman yang keras bagi pelakunya baik perempuan ataupun laki-laki, sebagaimana firman Allah  :
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِى فَٱجْلِدُوا۟ كُلَّ وَٰحِدٍۢ مِّنْهُمَا مِا۟ئَةَ جَلْدَةٍۢ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌۭ فِى دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌۭ مِّنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. QS. An-Nur : 2.
Syariat Islam juga melarang seseorang membunuh anak-anaknya. Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَٰقٍۢ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًۭٔا كَبِيرًۭا
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. QS. Al-Isra: 31.
Demikian juga perbuatan aborsi (menggugurkan kandungan) serta menelantarkan anak-anak dilarang dalam syariat.

5.                        Menjaga Harta (hifdz al-maal)
Untuk memperoleh harta yang halal, syariat Islam membolehkan berbagai macam bentuk muamalah, seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai dan yang lainnya. Untuk menjaganya syariat Islam mengharamkan memakan harta manusia dengan jalan yang bathil, seperti; mencuri, riba, menipu, mengurangi timbangan, korupsi, dan lain-lain .
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍۢ مِّنكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.  QS. An-Nisaa: 29.
Syariat juga menetapkan hukuman yang keras bagi setiap pencuri.
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلًۭا مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌۭ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. QS. Al-Maidah: 38.
Demikian juga syariat mengharamkan seseorang menghambur-hamburkan hartanya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
وَءَاتِ ذَا ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا, وَءَاتِ ذَا ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya. QS Al-Isra: 26-27.
Dari maqashid syariah tersebut dapatlah kita pahami bahwa syariah Islam memberikan pedoman hidup bagi umat manusia, melindungi hak-hak mereka dan mengajak seluruh umat manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

1.4.                  Hasil dari Penerapan Syariah
Apabila bangunan Islam diterapkan dalam kehidupan, maka akan terwujud keadilan, keamanan, kemakmuran dan persaudaraan  bagi seluruh kehidupan di alam semesta.    
1.4.1.Keadilan
Keadilan dipahami sebagai ketidakberpihakan kepada salah satu dari dua pihak, dalam makna yang khusus maka keadilan yang dimaksud adalah tidak terjadinya pertentangan antara seseorang dengan orang yang lainnya karena tidak ada satu orangpun yang terdzalimi. 
Berlaku adil adalah salah satu prinsip Islam yang dijelaskan dalam berbagai nash ayat Al-Qur’an maupun hadits. Prinsip ini benar-benar merupakan akhlak mulia yang sangat ditekankan dalam syari’at Islam, sehingga wajar kalau tuntunan dan aturan agama semuanya dibangun di atas dasar keadilan dan seluruh lapisan manusia diperintah untuk berlaku adil.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ وَإِيتَآئِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ وَٱلْبَغْىِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil, berbuat kebajikan dan memberi kepada kaum kerabat. Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl : 90)

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًۭا
Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisâ` : 58)
Al-Qur`an Al-Karîm adalah lambang keadilan,
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًۭا وَعَدْلًۭا ۚ لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَٰتِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ
Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu (Al-Qur`an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’âm : 115)
Allah Ahkamul Hâkimîn memerintah untuk berlaku adil secara mutlak:
وَإِذَا قُلْتُمْ فَٱعْدِلُوا۟ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ
Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu).” (QS. Al-An’âm : 152)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًۭا فَٱللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلْهَوَىٰٓ أَن تَعْدِلُوا۟ ۚ وَإِن تَلْوُۥٓا۟ أَوْ تُعْرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًۭا
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.” (QS. An-Nisâ` : 135)
Rabbul ‘Izzah tetap memerintahkan untuk berlaku adil walaupun terhadap musuh sendiri,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mâ`idah : 8)
Allah memuji orang-orang yang berlaku adil, sebagaimana firmanNya:
وَمِمَّنْ خَلَقْنَآ أُمَّةٌۭ يَهْدُونَ بِٱلْحَقِّ وَبِهِۦ يَعْدِلُونَ
“Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan.” (QS. Al-A’râf : 181)
Dan Nabi-Nya telah diperintah untuk menyatakan,
وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ
“Dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kalian.” (QS. Asy-Syûrô : 15
Allah Ta’ala dalam ayat-ayat tersebut memerintahkan bagi seluruh umat Islam untuk senantiasa berbuat adil. Keadilan dalam makna luas yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan tidak berat sebelah. Lebih tegas lagi keadilan adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada perintah Allah dan RasulNya. Itulah keadilan yang sebenarnya walaupun menurut manusia tampak tidak adil.
Keadilan dalam hak berarti memberikan hak bagi masing-masing pemiliknya sebagaimana ditetapkan dalam syariah Islam. Sebagai contoh hak bagi anak laki-laki dalam masalah waris adalah dua kali anak perempuan, sementara perempuan mendapatkan satu bagian dari laki-laki. Ini adalah sebuah keadilan yang telah diatur oleh Allah ta’ala dalam syariahNya. Selain itu keadilan dalam hak berarti keadilan yang telah ditetapkan Allah ta’ala di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih.
Keadilan dalam bidang sosial ekonomi adalah keadilan yang memberikan strata kehidupan manusia sama dalam pandangan Islam. Tidak ada keistimewaan antara satu orang dengan orang lainnya. Apalagi jika hanya dilihat dari keturunan (nasab) harta, kedudukan atau karena pangkat dan jabatan. Islam memandang bahwa seluruh manusia memiliki derajat yang sama, yang membedakan hanyalah ketakwaan seseorang. Sehingga keadilan dalam Islam di bidang sosial adalah bahwa setiap manusia memiliki derajat yang sama sebagai makhluk Allah yang harus diperlakukan sebagaimana hamba Allah lainnya.
Keadilan sosial di bidang ekonomi berarti setiap manusia memiliki akses yang sama untuk bekerja, mendapatkan penghasilan dan memperoleh hasil dari usahanya. Tidak boleh adanya monopoli dan kepemilikan yang sifatnya menjadikan kemudharatan bagi orang lain dan masyarakat pada umumnya. Keadilan ekonomi juga berarti bahwa masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja menjadi tangguungan negara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Negara bertanggungjawab terhadap kehidupan anak-anak yatim, fakir miskin, orang-orang jompo dan mereka yang membutuhkan bantuan di bidang ekonomi. Secara umum negara bertanggungjawab terhadap warga negaranya sebagai bentuk keadilan ekonomi.
Keadilan di bidang hukum berarti setiap manusia memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Tidak ada perbedaan seorang raja, presiden atau pejabat dengan masyarakat biasa. Ketika ia bersalah maka harus dihukum. Inilah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhamma SAW, beliau bersabda:
وايم الله : لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها
Demi Dzat yang Muhammad berada dalam genggaman-Nya. Kalau seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri. Niscaya aku akan memotong tangannya. HR. Bukhari dan Muslim
Demikianlah ketegasan Nabi yang mulia, beliau akan menegakan keadilan walaupun berupa hukuman terhadap putrinya sendiri. Islam tidak pernah membeda-bedakan derajat seseorang di depan hukum, siapa yang bersalah maka harus dihukum. Kesalahan hukum di zaman kita ini adalah bahwa hukum itu bisa dibeli sehingga seseorang yang bersalah akan bisa lepas dari hukuman kalau dia berasal dari kalangan pejabat atau orang-orang yang memiliki kekuasaan dan punya uang, mereka membeli hukum dengan menyuap para hakim agar mereka terbebas dari hukuman. 

1.4.2. Keamanan
Keamanan adalah suatu hal yang dituntut dalam kehidupan, dimana seluruh makhluk sangat membutuhkannya dalam memenuhi hal-hal yang berkaitan dengan mashlahat kepentingan mereka, baik yang sifatnya keduniaan maupun keagamaan. Tiadalah seorang insan yang hidup di muka bumi ini kecuali ia pasti mencari sebab-sebab keamanan untuk dirinya dan mencurahkan segenap kemampuannya guna menjauhi sebab-sebab ketakutan yang boleh jadi akan mendatangkan ancaman bahaya dalam perjalanan hidupnya. Bagaimanapun seorang manusia meraih keselamatan badan dan keluasan rizki, maka hal tersebut tidaklah bernilai dan tiada terasa manfaatnya kecuali dengan keamanan dan ketentraman.
Betapapun manusia diberikan sebab-sebab kemajuan dan segala unsur keberhasilan, maka ia tidak akan mencapai kebahagiaannya dan tidak pula dapat menuai kehidupan yang indah kecuali dengan tuntunan dan syari’at yang Allah ‘Azza wa Jalla, Sang Pencipta manusia ridhoi untuk mereka.
Kita bersyukur dan memuji Allah Jalla Jalâluhu yang telah menerangkan segala sebab keamanan dalam agama kita. Kita senantiasa menyanjung-Nya atas segala kemurahan yang diantaranya adalah dijadikannya syari’at Islam ini sebagai syari’at yang bertujuan menegakkan keamanan di tengah manusia. Nabi ‘Ibrâhim ‘alaihissâlam pada awal mula beliau menginjakkan kakinya di kota Makkah, beliau berdoa kepada Rabb-Nya :
وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِۦمُ رَبِّ ٱجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا ءَامِنًۭا وَٱرْزُقْ أَهْلَهُۥ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُم بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُۥ قَلِيلًۭا ثُمَّ أَضْطَرُّهُۥٓ إِلَىٰ عَذَابِ ٱلنَّارِ ۖ وَبِئْسَ ٱلْمَصِيرُ
Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki berupa buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah : 126)
Setelah beliau merintis kota Makkah, maka beliau dengan perintah Allah meninggalkan keluarganya di negeri baru tersebut untuk sementara waktu. Kemudian beliau kembali lagi ke negeri tersebut dan beliau berdoa kepada-Nya,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِيمُ رَبِّ ٱجْعَلْ هَٰذَا ٱلْبَلَدَ ءَامِنًۭا وَٱجْنُبْنِى وَبَنِىَّ أَن نَّعْبُدَ ٱلْأَصْنَامَ, رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًۭا مِّنَ ٱلنَّاسِ ۖ فَمَن تَبِعَنِى فَإِنَّهُۥ مِنِّى ۖ وَمَنْ عَصَانِى فَإِنَّكَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ
Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. Ya Rabb-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ibrâhim : 35-36)
Berdasarkan dua ayat di atas, Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalam memulai doanya dengan memohon keamanan untuk kota Makkah. Hal tersebut karena Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sangat mengetahui bahwa keamanan adalah lambang kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negara, dan dengan keamanan akan tercapai segala kemashlahatan dan kebaikan yang dibutuhkan oleh manusia.
Allah Ta’ala mengingatkan nikmat keamanan kepada penduduk tanah haram dan kepada seluruh makhluk agar mereka senantiasa mengingat nikmat tersebut dan bersyukur kepada Allah karenanya dan beribadah kepada-Nya di bawah naungaNya :
أَوَلَمْ يَرَوْا۟ أَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا ءَامِنًۭا وَيُتَخَطَّفُ ٱلنَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ ۚ أَفَبِٱلْبَٰطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ ٱللَّهِ يَكْفُرُونَ
Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia di sekitarnya saling rampok-merampok.” (QS. Al-‘Ankabût : 67)

وَقَالُوٓا۟ إِن نَّتَّبِعِ ٱلْهُدَىٰ مَعَكَ نُتَخَطَّفْ مِنْ أَرْضِنَآ ۚ أَوَلَمْ نُمَكِّن لَّهُمْ حَرَمًا ءَامِنًۭا يُجْبَىٰٓ إِلَيْهِ ثَمَرَٰتُ كُلِّ شَىْءٍۢ رِّزْقًۭا مِّن لَّدُنَّا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi rezki (bagimu) dari sisi Kami?. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-Qashash : 57)

لإِيلاَفِ قُرَيْشٍ {1} إِيلاَفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَآءِ وَالصَّيْفِ {2} فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ {3} الَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ {4}
Maka hendaklah mereka menyembah Rabb Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS. Quraisy : 3-4)
Allah ‘Azza Dzikruhu telah memberikan nikmat keamanan kepada Tsamud, kaumnya Nabi Shôleh ‘alahissalâm dengan kemampuan mereka memahat gunung sebagai rumah-rumah mereka tanpa ada ketakutan dan kecemasan, dan Allah Ta’âlâ melimpahkan kepada mereka nikmat yang sangat banyak yang datang silih berganti dan memberikan mereka tempat tinggal yang aman, dimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ ٱلْقُرَى ٱلَّتِى بَٰرَكْنَا فِيهَا قُرًۭى ظَٰهِرَةًۭ وَقَدَّرْنَا فِيهَا ٱلسَّيْرَ ۖ سِيرُوا۟ فِيهَا لَيَالِىَ وَأَيَّامًا ءَامِنِينَ
Dan Kami jadikan antara mereka dengan negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kalian di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman.” (QS. Saba` : 18)
Yusuf ‘alaihissalâm ketika menyambut kedua orang tua dan keluarganya, beliau mengingatkan nikmat keamanan yang dilimpahkan terhadap mereka dengan masuknya mereka ke negeri yang aman dan tentram dengan penuh kesejukan jiwa,
ٱدْخُلُوا۟ مِصْرَ إِن شَآءَ ٱللَّهُ ءَامِنِينَ
Masuklah kalian ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman.” (QS. Yûsuf : 99)
Bahkan di antara kenikmatan penduduk sorga di dalam sorga adalah tempat yang aman tanpa ada rasa takut sedikit pun dan tanpa kecemasan,
ٱدْخُلُوهَا بِسَلَٰمٍ ءَامِنِينَ
 (Dikatakan kepada penduduk sorga): “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman”.” (QS. Al-Hijr : 46)

وَهُمْ فِى ٱلْغُرُفَٰتِ ءَامِنُونَ
Dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).” (QS. Saba` : 37)

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي مَقَامٍ أَمِينٍ {51} فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ {52} يَلْبَسُونَ مِن سُندُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ مُّتَقَابِلِينَ {53} كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ {54} يَدْعُونَ فِيهَا بِكُلِّ فَاكِهَةٍ ءَامِنِينَ
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman, (yaitu) di dalam taman-taman dan berbagai mata air; mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan, demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran).” (QS. Ad-Dukhân : 51-55)
Sungguh syari’at Islam telah mengumpulkan seluruh jenis kebaikan; Islam menjaga syari’at dan tuntunan, melindungi dan memelihara akal-akal manusia, mensucikan harta benda, memberi keamanan kepada jiwa-jiwa manusia, dan menebarkan segala bentuk keselamatan, ketenangan, rahmat dan kesejahteraan. Rasulullâh shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِيْ سِرْبِهِ مُعَافًى فِيْ جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
Barang siapa aman pada tubuhnya, sehat dalam jasadnya, mempunyai makanan pada hari itu, maka seakan-akan telah dikumpulkan baginya dunia dengan segala isinya.”
Islam menjaga keamanan jiwa manusia hingga pada tempat yang paling aman sekalipun, seperti masjid-masjid. Rasulullâh shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرَّ أَحَدُكُمْ فِيْ مَسْجِدِنَا أَوْ فِيْ سُوْقِنَا وَمَعَهُ نَبْلٌ فَلْيُمْسِكْ عَلَى نِصَالِهَا أَوْ قَالَ فَلْيَقْبِضْ بِكَفِّهِ أَنْ يُصِيْبَ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْهَا شَيْءٌ
Apabila salah seorang dari kalian berlalu di mesjid kami atau di pasar kami dangan membawa tombak, maka hendaknya ia memegang ujungnya, –atau beliau berkata- hendaknya ia menggenggam dengan tangannya, agar tidak ada sesuatupun dari senjata-senjata tersebut yang menimpa salah seorang dari kaum muslimin.”
Memunculkan ketakutan di tengah kaum muslimin adalah hal yang terlarang dalam syari’at Islam. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
لَا يُشِيْرُ أَحَدُكُمْ عَلَى أَخِيْهِ بِالسِّلَاحِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِيْ لَعَلَّ الشَّيْطَانَ يَنْزِعُ فِيْ يَدِهِ فَيَقَعُ فِيْ حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ
Janganlah salah seorang dari kalian mengisyaratkan kepada saudaranya dengan senjata karena ia tidak mengetahui jangan-jangan Syaithon mencelakakannya dengan sebab tangannya sehingga ia terjerumus ke dalam jurang neraka.”
Syari’at ini telah mengharamkan atas setiap muslim untuk berisyarat dengan suatu jenis senjata kepada saudaranya seislam, walaupun hanya bercanda. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيْهِ بِحَدِيْدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ حَتَّى يَدَعَهُ وَإِنْ كَانَ أَخَاهُ لِأَبِيْهِ وَأُمِّهِ
Barang siapa yang berisyarat kepada saudaranya dengan sebuah besi, maka sesungguhnya Malaikat melaknatnya hingga ia meninggalkannya, walaupun ia adalah saudaranya sebapak dan seibu.
Membuat takut seorang muslim adalah perkara yang diharamkan dengan segala bentuknya. Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
Tidak halal bagi seorang muslim membuat takut muslim yang lain.

Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا
Barang siapa yang mengangkat senjata terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami.”
Beliau juga menegaskan,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.”

Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin (lainnya) selamat dari gangguan lisan dan tangannya.
Sebagai penjagaan terhadap keamanan dan ketentraman, Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam marah kepada siapa saja yang memberikan syafa’at dalam pelaksanaan had (hukuman) dari had-had Allah ‘Azza wa Jalla setelah perkara itu sampai kepada penguasa, dimana beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan hal tersebut dalam sabdanya,
لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بَنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Andaikata Fathimah putri Muhammad mencuri, maka sungguh saya akan memotong tangannya. HR. Bukhari dan Muslim

1.4.3.Kemakmuran
Kemakmuran adalah kondisi di mana masyarakat dapat merasakan kehidupan yang tercukupi kebutuhannya baik secara moril maupun materiil. Menurut Ibnu Taimiyah, kemakmuran dalam persepsi Islam bertujuan untuk mencapai moral kehidupan yang baik. Beliau juga menambahkan bahwa akan banyak sekali kewajiban agama yang tidak dapat dijalankan jika kemakmuran belum dicapai. Dan masyarakat yang tidak mencapai kemakmuran secara otomatis sulit menjalankan agamanya secara kaffaah (totalitas) termasuk dalam hal ibadahnya kepada Allah SWT. Sehingga oleh sebab itulah Islam sangat menganjurkan agar umat manusia mau mencapai kehidupan dunia yang lebih baik (hasanat fid duniya) karena hal itu berkorelasi dengan upaya mencapai hasanat fil akhirat.
Ibnu Taimiyah sangat menolak sikap hidup yang menjauhi keduniaan sebagaimana dianuti oleh kalangan sufi ortodok. Bahkan beliau berpendapat bahwa keduniaan harus diraih oleh umat Islam sebagai sarana untuk mencapai kemampuan dalam memenuhi kewajiban dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Oleh sebab itu pula Ibnu Taimiyah berkesimpulan bahwa syarat mutlak untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya ialah harus dicapai lebih dulu kemakmuran umat. Kemiskinan justru akan menghambat umat Islam untuk menjadi kaaffah. Dan kemiskinan merupakan penghalang utama bagi mewujudkan masyarakat Islam yang utama dan yang sebenar-benarnya.
Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa, kemakmuran jauh berbeda dengan kekayaan semata. Kemakmuran lebih tinggi kedudukannya daripada kekayaan, keduanya (antara kemakmuran dan kekayaan) saling berinteraksi dan membutuhkan. Kekayaan akan meningkatkan hak, sementara kemakmuran mengarahkan kepada upaya pencapaian kewajiban. Oleh sebab itulah Islam berpandangan bahwa orang kaya adalah mitra potensial bagi orang miskin, orang miskin sangat diperlukan oleh orang kaya.
Henri Laoust menyatakan kekagumannya terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah tentang kemakmuran diatas, beliau menyatakan: “….doktrin Ibnu Taimiyah sangat mendorong pengorganisasian secara aktif didalam penerapan ekonomi masyarakat dengan alasan bahwa dengan ketiadaan organisasi semacam itu, kemakmuran akan mandeg dan kemudian akan cenderung menyusut dan akhirnya menghilang semuanya. Dalam sejumlah hal, Ibnu Taimiyah telah melampaui pemikiran ilmuwan lainnya terutama dalam kajian kemakmuran ini yang sangat mengagumkan untuk sebuah tesis pemikiran di penghujung abad ke 7 Hijriyah masa itu.

1.4.4.Persaudaraan
Setiap muslim adalah bersaudara, demikianlah yang tercantum di dalam Al-Qur’an:
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٌ۬ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang mu’min itu bersaudara kerena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah SWT supaya kamu mendapat rahmat. QS Al-Hujuraat: 10.

Semua muslim adalah bersaudara. Karena itu jika bertengkar mereka harus bersatu kembali dan bersaudara seperti biasanya. Hal ini diperkuat oleh larangan Rasulullah SAW terhadap permusuhan antar muslim. Abu Ayyub Al-Anshary meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda “Tidak seorang muslim memutuskan silaturrahmi dengan saudara muslimnya lebih dari tiga malam yang masing-masingnya saling membuang muka bila berjumpa. Yang terbaik di antara mereka adalah yang memulai mengucapkan salam kepada yang lain.” .
Persaudaraan yang dimaksudkan adalah bukan menurut ikatan geneologi tapi menurut ikatan iman dan agama. Hal tersebut diisyarakat dalam larangan Allah SWT mendoakan orang yang bukan Islam setelah kematian mereka. Firman Allah SWT “Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman meminta ampun bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adl kerabatnya.”
Ini sama sekali tidak berarti bahwa seorang muslim diijikankan mengabaikan ikatan keluarganya walaupun dangann kerabat non muslim. Dasar kebajikan kepada orang tua dan keluarga dapat ditemukan dalam Al-Qur’an sendiri. Firman Allah SWT “Dan kami wajibkan manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapaknya.”
Mengutamakan persaudaraan Islam lebih dari yang lain sama sekali tidak mempengaruhi ikatan darah biarpun dangan kerabat non-Muslim. Nabi SAW menekankan pentingnya membangun persaudaraan Islam dalam batasan-batasan praktis dalam bentuk saling peduli dan tolong menolong. Sebagai contoh Beliau bersabda “Allah SWT menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya” . Bodoh sekali seorang muslim yang mengharapkan belas kasih khusus dari Allah SWT jika ia tidak memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan muslim lainnya.
Sebagai akibatnya persaudaraan kaum muslim tidak saja merupakan aspek teoritis ideologi Islam tapi telah terbukti dalam praktek aktual pada kaum muslim terdahulu ketika mereka menyebarkan Islam ke penjuru dunia. Kemanapun orang-orang Arab muslim pergi apakah itu ke Afrika India atau daerah-daerah terpencil Asia mereka akan disambut hangat oleh orang-orang yang telah memeluk Islam tanpa melihat warna kulit ras atau agama lamanya. Tidak ada tempat dalam Islam bagi pemisahan kelas maupun kasta.Tata cara melaksanakan shalat tidak ada tempat istimewa dan semua harus berdiri bahu membahu dalam baris-baris lurus. Demikian pula dalam pemilihan imam tidak didasarkan status sosialnya dalam masyarakat namun atas kemampuannya dalam menghafal al-Qur’an.
Itulah mengapa seorang imam dapat ditunjuk dari anak yang berusia enam tahun sebagaimana kejadian pada seorang shahabat muda Salamah. Nabi Muhammad SAW. mengatakan pada kabilahnya “Jika waktu shalat tiba salah seorang dari kalian harus mengumandangkan adzan“. Ketika mereka mencari di antara mereka sendiri mereka tidak menemukan orang yang tahu tentang Al-Qur’an lebih dari Salamah sehingga mereka menunjuknya sebagai imam walaupun ia baru berusia enam atau tujuh tahun pada saat itu.
Pilar ketiga dalam Islam zakat berupa kewajiban atas orang-orang kaya atau relatif kaya untuk menyerahkan sebagian dari simpanan tahunan mereka kepada orang-orang miskin merupakan perwujudan tanggung jawab sosial ekonomi dari persaudaraan itu. Sebab walaupun kedermawanan amat dianjurkan oleh Islam sebagaimana oleh agama lain tanggung jawab ini dalam Islam dilembagakan dan dipungut oleh negara untuk menjamin kelangsungan hidup ekonomi orang-orang miskin.
Sebenarnya semua hukum-hukum ekonomi dalam Islam selalu menekankan perlindungan atas hak-hak persaudaraan. Praktek-praktek ekonomi yang dengan suatu cara menarik keuntungan atau merugikan anggota-angota masyarakat adalah terlarang keras. Makanya pinjaman yang diakui dalam Islam adalah pinjaman tanpa bunga sebab pinjaman dengan bunga pada umumnya mengambil keuntungan yang tidak adil dari orang lain ketika mereka dalam posisi yang secara ekonomis lemah.
Demikian pula pilar kelima Islam yaitu Haji yang mengandung esensi pilar-pilar lainnya menekankan persaudaraan orang-orang beriman dalam semua ritus-ritusnya. Pakaian bagi laki-laki yang sedang menunaikan ibadah Haji dikenal dengan Ihram terdiri dari dua lembar kain, selembar dipakai seputar pinggang, selembar yang lain diselempangkan di atas bahu. Kesederhanaan pakaian ini dikenakan oleh jutaan jamaah haji dari berbagai penjuru dunia menunjukan hakekat persatuan dan persamaan dalam persaudaraan Islam.
Keaslian prinsip persaudaraan yang meliputi segala upacara keagamaan dan hukum-hukum dalam Islam telah dan terus menjadi faktor kunci dalam menarik manusia di seluruh dunia untuk masuk Islam. Namun patut dicatat bahwa prinsip persaudaraan ini telah ditentang dalam prakteknya oleh munculnya nasionalisme di antara kaum muslimin. Walaupun Allah SWT dan Rasul-Nya dengan tegas menentang segala bentuk tribalisme, nasionalisme dan rasisme. Nasionalisme telah  muncul di kalangan kaum muslimin setelah tumbangnya generasi awal berabad-abad setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW .
 Bentuk awal nasionalisme ini kemudian diperberat oleh kolonialisme Eropa yang memecah belah umat Islam. Walaupun ikatan umum Islam tetap berlanjut menyatukan umat dalam persaudaraan, pemerintah mereka masing-masing mengeksploitasi segala kesempatan yang dapat membangkitkan perasaan-perasaan nasionalisme agar massa muslim tetap terpecah-pecah sehingga pemerintahan mereka yang pada sebagian besar kasus anti Islam dapat terus terpelihara.
Kelemahan yang menghantam kehidupan umat Islam sekarang ini mulai dari runtuhnya khilafah Islamiyah sampai terpuruknya negeri-negeri Islam sehingga harus menjadi bagian dunia ketiga merupakan satu indikasi yang paling jelas menurunnya rasa persaudaraan di kalangan umat Islam itu sendiri. Perpecahan di kalangan umat yang mempunyai kepentingan-kepentingan golongan ikut meluluhlantahkan pilar-pilar persaudaraan itu. Maka kata kunci untuk mampu menegakan Islam di seantero jagad ini adalah dengan pererat persaudaraan di antara sesama umat Islam dan menyingkirkan jauh-jauh rasa ta’asubiyah (fanatik golongan) dan keyakinan penuh bahwa nasionalisme bukan dari bagian kita sedikitpun.


1.3.1.1        Ruang Lingkup Syariah: Ibadah dan Muamalah
Ibadah memiliki makna yang luas, ia mencakup segala sesuatu yang menjadi aktifitas manusia untuk menyembah kepada Allah ta’ala. Ibnu Taimiyah dalam kitab Al-Ubudiyyah mendefinisikan makna ibadah secara komprehensif:
اَلْعِبَادَةُ: اِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الأَقْوَالِ وَالأَعْمَالِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ
Ibadah adalah suatu nama yang mencakup setiap apa-apa yang Allah cintai dan ridhai dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang zhahir maupun yang bathin.[1]
   Ibadah secara umum terbagi menjadi yaitu ibadah yang dhahir dan batin, ibadah yang dhahir adalah yang bisa disaksikan seperti shalat, membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya. Sedangkan ibadah yang bathin adalah ibadah yang berkaitan dengan amalan hati seperti cinta kepada Allah, takut, berharap, tawakkal kepada-Nya dan lain-lain. Dengan definisi ini maka ibadah itu sangat luas tidak terbatas hanya shalat, zakat, puasa, haji dan lainnya akan tetapi semua ucapan dan perbuatan yang dicintai dan diridhai Allah maka itu adalah ibadah. Bagaimana untuk mengetahui bahwa suatu ucapan atau perbuatan itu dicintai dan diridhai Allah?
Untuk mengetahui suatu ucapan atau perbuatan, apakah dicintai dan diridhai Allah atau tidak, maka harus merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah berdasarkan bimbingan ulama ahlus sunnah wal jama'ah, bukan berdasarkan pendapat atau kemauan sendiri. Dan juga harus diingat bahwa ucapan dan perbuatan tersebut dilakukan dengan ikhlash, hanya mengharap ridha Allah Ta'ala semata. Secara umum ibadah dibagi menjadi lima macam:
a)                        'Ibaadah I'tiqaadiyyah: yaitu seorang muslim meyakini bahwasanya Allah 'Azza wa Jalla adalah Pencipta, Pemberi Rizki, Yang Mematikan, Yang Menghidupkan, Yang Mengatur seluruh urusan hamba-hamba-Nya. Juga meyakini bahwasanya Dia adalah Dzat yang berhak diibadahi satu-satunya yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dari do'a, menyembelih, nadzar dan yang lainnya, dan Dia adalah Dzat yang disifati dengan sifat-sifat kemuliaan, kesempurnaan, kesombongan, keagungan, dan yang lainnya dari macam-macam keyakinan tentang Allah, agama-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan taqdir yang baik maupun yang buruk.
b)                        'Ibaadah Lafzhiyyah: yaitu ibadah yang berkaitan dengan ucapan lisan, seperti melafazhkan / mengucapkan dua kalimat syahadat, membaca Al-Qur`an, do'a, membaca dzikir-dzikir Nabawiyyah dan lain-lainnya dari jenis-jenis ibadah lafzhiyyah.
c)                        'Ibaadah Badaniyyah: yaitu ibadah yang berkaitan dengan badan, seperti berdiri, ruku' dan sujud di dalam shalat, shaum, amalan-amalan haji, hijrah, jihad dan yang lainnya dari ibadah-ibadah badaniyyah.
d)                       'Ibaadah Maaliyyah: yaitu ibadah yang berkaitan dengan harta, seperti zakat, shadaqah dan lainnya.
e)                        'Ibaadah Tarkiyyah: yaitu seorang muslim meninggalkan seluruh hal-hal yang haram, kesyirikan dan bid'ah dalam rangka melaksanakan syari'at Allah, maka ini merupakan ibadah tarkiyyah darinya yang seorang muslim akan diberi pahala dari meninggalkan yang haram apabila meninggalkannya dalam rangka mengharap Wajah Allah.[2]

1.3.1.2. Muamalah
Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata ‘amala-yu’amili-mu’amalatan yang berarti saling bertindak, saling berbuat dan saling beramal. Fiqh muamalah memiliki dua macam pengertian, yaitu:
1.                        Pengertian fiqh muamalah dalam arti luas
2.                        Pengertian fiqh muamalah dalam arti sempit
Menurut Louis Ma’luf, pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Ahmad Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah peraturan-peraturan mengenai tiap yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti perdagangan dan semua mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi, peradilan dan yang berhubungan dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun khusus, yang telah ditetapkan dasar-dasarnya secara umum atau global dan terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam bertukar manfaat di antara mereka.
Pengertian fiqh muamalah yang dimaksud dalam buku ini adalah pengertian dalam arti sempit yaitu: “Muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik” atau ” Muamalah adalah tukar-menukar barang atu sesutu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan”
Ruang lingkup yang dibahas dalam fiqh muamalah ini meliputi dua hal;
1.                        Muamalah adabiyah: yaitu ditinjau dari subjeknya atau pelakunya. Biasanya yang dibahas mengenai “harta” dan “ijab qobul”
2.                        Muamalah madiyah: ditinjau dari segi objeknya. Meliputi: al Ba’i (jual beli), Syirkah (perkongsian), al Mudharabah (Kerjasama), Rahn (gadai), kafalah dan dhaman (jaminan dan tanggungan), utang piutang, Sewa menyewa, hiwalah (pemindahan utang), sewa menyewa (ijarah), upah, syuf’ah (gugatan), Qiradh (memberi modal), Ji’alah (sayembara), Ariyah (pinjam meminjam), Wadi’ah (titipan), Musaraqah, Muzara’ah dan mukhabarah, Pinjam meminjam, Riba Dan beberapa permasalahan kontemporer (Perusahaan, bank dll), ihyaulmawat dan wakalah.  
Muamalah dengan pengertian pergaulan hidup tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungan dengan orang lain yang menimbulkan hubungan hak dan kewajiban merupakan bagian terbesar dalam aspek kehidupan manusia. Oleh karenanya Islam menempatkan bidang muamalat sedemikian penting, hingga Rasulullah SAW mengatakan, ‘Agama adalah muamalah’.  Berangkat dari hal itu semua, Islam bersikap lebih longgar dalam masalah hukum pada muamalah. Hukum Islam memberikan ketentuan bahwa pada dasarnya hukum dalam muamalah adalah mubah, hingga ada dalil atau nash yang mengharamkannya. Berbeda dengan ibadah yang hukum asalnya adalah haram, kecuali ada perintah atau tuntunan yang menganjurkan perbuatan ibadah tersebut.
Aktifitas muamalah adalah hubungan antara manusia dengan manusia yang lainnya. Pemahaman yang lebih sempit mengenai muamalah adalah aktifitas ekonomi yang berkaitan dengan manajemen dan bisnis. Salah satu faktor yang menentukan suksesnya manajemen dan bisnis adalah bagaimana pelaku bisnis mengelola sumber daya manusianya yang merupakan asset perusahaan.


Syariah Islamiyah adalah undang-undang yang komprehensif dan universal. Komprehensif berarti meliputi semua aspek dan bidang kehidupan yang secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi tiga sub-sistem yaitu: Aqidah, Syari’ah dan Akhlaq. Aqidah adalah hukum-hukum yang bersangkut-paut dengan keimanan dan ketauhidan yang merupakan dasar keislaman seorang muslim. Syari’ah adalah hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Khaliq maupun dengan makhluq. Sedangkan Akhlaq menitik beratkan pada pendidikan rohani dan pembersihan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasi dengan sifat-sifat yang terpuji.
Syariat ini merupakan ciptaan Allah SWT, maka ia tidak terbatas oleh ruang dan waktu, ia adalah sistem yang universal. Ia sesuai untuk sepanjang zaman dan semua tempat, tidak lapuk ditelan zaman dan tidak kering dimakan hari. Prinsip Syari’ah Islamiyah tidak dapat berubah, walaupun hukum-hukum cabangnya mungkin dapat berubah.
Keadaan geografis, jarak dan perbedaan alam tidak menjadi sebuah halangan bagi kecocokan dan keunggulan sistem ini, karena hukum Islam bukan diciptakan oleh manusia melalui fikiran, pengetahuan dan pengalamannya. Ia merupakan ciptaan Sang Khaliq Allah SWT Tuhan yang Maha Mengetahui dan Maha Mencipta alam semesta. Syari’ah Islamiyah dan seluruh hukumnya tidak boleh dipisah-pisahkan atau dipecah-pecah, karena ia bersifat kully (menyeluruh). Mengambil sebahagian-sebahagian dan meninggalkan sebahagian yang lain tidak akan dapat mencapai objectif Syari’ah; tujuan dan falsafahnya tidak akan dapat ditegakkan. Bahkan perbuatan seperti ini bertentangan dengan tuntutan Syari’ah dan nash-nash hukum. Beriman dengan sebagian ayat Al-Qur’an dan mengingkari sebagian yang lain membawa seorang hamba kepada suatu kehinaan.[3] Sikap seperti ini tidak akan membawa kepada kebaikan dan kemuliaan kepada ummat Islam. Allah berfirman:
§NèO öNçFRr& ÏäIwàs¯»yd šcqè=çGø)s? öNä3|¡àÿRr& tbqã_̍øƒéBur $Z)ƒÌsù Nä3ZÏiB `ÏiB öNÏd̍»tƒÏŠ tbrãyg»sàs? NÎgøŠn=tæ ÄNøOM}$$Î/ Èbºurôãèø9$#ur bÎ)ur öNä.qè?ù'tƒ 3t»yé& öNèdrß»xÿè? uqèdur îP§ptèC öNà6øn=tã öNßgã_#t÷zÎ) 4 tbqãYÏB÷sçGsùr& ÇÙ÷èt7Î/ É=»tGÅ3ø9$# šcrãàÿõ3s?ur <Ù÷èt7Î/ 4 $yJsù âä!#ty_ `tB ã@yèøÿtƒ šÏ9ºsŒ öNà6YÏB žwÎ) Ó÷Åz Îû Ío4quŠysø9$# $u÷R9$# ( tPöqtƒur ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# tbrŠtãƒ #n<Î) Ïdx©r& É>#xyèø9$# 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÑÎÈ  
Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan kebaikan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah: 85).
Begitu juga Allah berfirman dalam surah An-Nisa : 150-151: [4]
¨bÎ) šúïÏ%©!$# tbrãàÿõ3tƒ «!$$Î/ ¾Ï&Î#ßâur šcr߃̍ãƒur br& (#qè%Ìhxÿムtû÷üt/ «!$# ¾Ï&Î#ßâur šcqä9qà)tƒur ß`ÏB÷sçR <Ù÷èt7Î/ ãàÿò6tRur <Ù÷èt7Î/ tbr߃̍ãƒur br& (#räÏ­Gtƒ tû÷üt/ y7Ï9ºsŒ ¸xÎ6y ÇÊÎÉÈ   y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# $y)ym 4 $tRôtFôãr&ur tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 $\/#xtã $YYŠÎgB ÇÊÎÊÈ  
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud membeda-bedakan antara Allah dan rasul-rasulNya dengan mengatakan : “kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian yang lain”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) diantara yang demikian (iman atau kafir) rekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.
Berdasarkan dua ayat ini maka dapat disimpulkan bahwa umat Islam tidak boleh mengambil sebagian isi Al-Qur’an dan membuang sebagiannya. Bahkan umat Islam harus mengambil seluruh hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur’an sebagaimana mereka diperintahkan ke dalam Islam secara keseluruhan (kaafah):
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةًۭ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّۭ مُّبِينٌۭ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah [2]: 208).
Masuk ke dalam Islam secara keseluruhan berarti mengamalkan Islam dalam seluruh sendi kehidupan baik yang bersifat ibadah kepada Allah ta’ala maupun muamalah dengan sesama manusia. Termasuk di dalamnya dalam masalah wirausaha dan bisnis yang harus didasarkan pada nilai-nilai Islam.   




[1]  Ahmad Ibn Taimiyyah, Majmuu'ul Fataawaa, Juz 10/149.
[2] Al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid: 170-171
[3] H.Salim Bahreisy dan H.Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, CV Diponegoro, Bandung, hal  154
[4]  H.Salim Bahreisy dan H.Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid II, CV Diponegoro, Bandung, hal  592

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...