Senin, 28 April 2014

HUKUM ISLAM DI INDONESIA


Hukum Islam (Al-Qur’an) diturunkan dari Allah SWT yang dalam proses emanasinya (ketersiarannya) dilakukan oleh seorang agen sakral, yaitu Muhammad, Rasulullah SAW. Nabi Muhamad memainkan peran yang amat penting dalam tradisi hukum Islam, bukan saja utusan Allah tetapi menjadi model percontohan bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamain) dalam menjalankan hukum Allah demi keselamatan di dunia dan di akhirat kelak. Segala sabda dan perilaku Nabi dicatat oleh para sahabatnya, yang kemudian disebut sebagi hadits yang merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.
Kedua sumber di atas merupakan sistem hukum yang disebut syari’ah. Kata syari’ah diambil dari istilah Arab yang berarti “jalan”; yaitu jalan hidup yang telah didesain oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kehidupan semua orang Islam di dunia ini sebagai persiapan untuk kehidupan di akhirat nanti.
Di kalangan umat Islam masih terdapat kerancuan dalam memahami Syari’ah, Fiqh, dan Hukum Islam. Kekacauan ini menyebabkan munculnya berbagai masalah dalam penerapan hukum di masyarakat dan timbul ketidakseragaman mengenai hukum Islam dan syari’at Islam.
Pengertian Syari’ah, fiqh dan hukum Islam
Secara lughawi (etimologi), syari’ah berarti “jalan ke tempat pengairan atau tempat aliran air di sungai”. Kata syari’ah muncul dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an, seperti al-Maidah ayat 48, as-Syura ayat 13 dan al-Jatsiyah ayat 18 yang semuanya mengandung arti “jalan yang jelas yang membawa pada kemenangan”.
Menurut istilah, syari’at adalah khitab Allah yang berhubungan dengan tindak tanduk manusia di luar yang mengenai akhlak yang diatur tersendiri. Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan syari’at dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya agar diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungan sesama manusia. (Hasbi ash-Siddieqy, Filsafat Hukum Islam, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001, hal. 29).
Syari’ah sebagai kumpulan norma-norma yang merupakan hasil dari proses tasyri’. Syari’ah merupakan kata aturan yang ditetapkan yang menyangkut tingkah laku manusia. Sedang tasyri’ adalah pengetahuan tentang cara, proses, dasar dan tujuan Allah menetapkan hukum bagi tingkah laku manusia dalam kehidupan keagamaan dan keduniaan.
Syari’ah dalam konotasi hukum Islam terbagi menjadi dua macam, yaitu syari’ah Ilahi (tasyri’ samawi), yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang langsung dinyatakan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan syari’ah wadh’i (tasyri’ wadh’i) yaitu ketentuan hukum yang dilakukan oleh para mujtahid. Produk pemikiran yang dilakukan para ulama’ mujtahid dalam syari’ah wadh’i diakui sebagai syari’ah jika hal-hal yang dikaji itu merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah, seperti qiyas atau maslahah.
Secara sistematis kata fiqh bermakna “mengetahui sesuatu dan memahaminya secara baik dan mendalam (Abu al-Hasan Ahmad Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, III, al-Babi al-Halabi, Cairo Mesir, 1970, hal. 442). Muhammad Abu Zahrah mengartikan fiqh dengan “mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalil yang terinci (Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar-al-Fikr al-Arabi, Cairo, 1958, hal. 6).
Dua objek kajian fiqh, yaitu hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah dan dalil-dalil terperinci dari al-Qur’an dan Sunnah yang menunjuk suatu kejadian tertentu atau menjadi rujukan bagi kejadian-kejadian tertentu. Seperti riba haram hukumnya karena telah ditetapkan dalam surat al-Baqarah ayat 279. Pengetahuan itu didasarkan pada dalil tafsili. Dan fiqh digali dan ditemukan melalui penalaran para mujtahid. Hasil pemahaman dan penalaran mujtahid terhadap hukum syara’ dituangkan dalam bentuk ketentuan terperinci tentang tingkah laku para mukallaf yang disebut fiqh. Pemahaman terhadap hukum syara’ senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang menjalaninya. Karena fiqh adalah refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat sesuai kondisi zaman, perubahan waktu dan situasi setiap masyarakat.
Pada hakekatnya fiqh adalah :
1. Ilmu yang menerangkan hukum syara’ dari setiap aktifitas mukallaf, baik yang wajib, haram, makruh, mandub dan mubah.
2. Objek kajian fiqh adalah hal-hal yang bersifat amaliah.
3. Pengetahuan hukum syari’ah didasarkan pada dalil tafsili.
4. Fiqh digali dan ditemukan melalui penalaran (nazhar) dan ta’amul yang diistinbatkan dari ijtihad.
5. Fiqh sebagai ilmu merupakan seperangkat cara kerja, cara berpikir, terutama cara berpikir taksonomi dan cara berpikir logis untuk memahami kandungan ayat dan hadits hukum.
6. Fiqh adalah seperangkat norma yang mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat
(Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, Rajawali Grasindo, Jakarta, 2007, hal. 45).
Qanun (hukum) adalah produk manusia melalui campur tangan kekuasaan negara dalam menyelesaikan perkara tertentu. Qanun wadh’iyah (undang-undang) adalah peraturan yang dibuat oleh pihak penguasa yang diperuntukan untuk masyarakat atau untuk menata dengan baik segala sesuatu dalam kehidupan masyarakat. (Oxford Advanced Learner’s Dictionary Current English, Oxford, The University Press, 1964, hal. 476).
Qanun adalah undang-undang yang berisi hukum Islam dengan tetap mempergunakan prosedur / metodologi hukum Islam dalam menemukan hukum, seperti istihsan, urf, maslahah dan siyasah syar’iyah. A.A. Fyzee, (Outlines of Muhammadan law,1955) mengartikan “Canon Law of Islam” adalah hukum Islam, yakni keseluruhan perintah Tuhan yang meliputi seluruh tingkah laku manusia.
Karakter Hukum Islam
Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW hanya berisi sedikit ayat yang mengandung doktrin hukum, sekitar 80 dari 500 ayat-ayat hukum yang dapat dikatergorikan sebagai kode hukum.( Tahir Mahmood, Law in the al-Qur’an: A. Draft Code, 1987). Oleh karena itu diperlukan sunnah untuk dapat memahami pesan-pesan al-Qur’an yang berhubungan erat dengan problem hukum keseharian.
Sunnah merupakan informasi yang kaya mengenai sabda dan perilaku Nabi yang mencakup pula perintah, larangan, dan persetujuan Nabi mengenai kasus-kasus tertentu yang muncul di kalangan sahabat pada saat itu. Sunnah adalah refleksi pemahaman Rasul mengenai dialektika (seni berpikir secara teratur logis dan teliti yang diawali dengan tesis, antitesis, dan sintesis) teks suci al-Qur’an dan konteks sejarah pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW.
Semua permasalahan hukum yang muncul pada saat itu di bawa kepada Nabi untuk mendapatkan pemecahan. Nabi dalam menyelesaikan masalah yang diadukan umat Islam senantiasa berpegang pada teks suci al-Qur’an untuk menjawabnya. Jika dalam al-Qur’an tidak ditemukan solusi pemecahan dalam kasus-kasus tertentu, maka Nabi berperan menjadi pemecah masalah hukum. Oleh karena itu dalam hukum Islam dikenal Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dan Nabi dipahami sebagai legislator (al-Syari’) setelah Allah.
Nabi dipercayai memiliki sifat sakral yang berfungsi sebagai garansi terhadap keputusan-keputusan hukum yang dikeluarkannya. Tanpa karakter sakral ini, maka doktrin yang mewajibkan umat Islam untuk mengikuti keputusan-keputusan Nabi dalam menafsirkan al-Qur’an tidak akan mungkin terformulasikan/terumuskan dalam bentuk yang tepat.(Daniel Brown, Retheinking Tradition in Modern Islamic Thought, Cambridge Univ.Press,1996).
Karakteristik hukum Islam adalah sempurna (ta’amul), harmonis (wasathiyah), dan dinamis (harakah). Muhammad Ali al-Sayis mengatakan bahwa karakteristik hukum Islam yang paling menonjol ada tiga hal, yaitu 1. Tidak menyusahkan dan selalu menghindari kesusahan dalam pelaksanaannya, 2. Menjaga kemaslahatan manusia dan, 3. Selalu melaksanakan keadilan dalam penerapannya (Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islam, Qoriah, Mesir, tt, hal.25). Karakter-karakter di atas sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam surat al-‘Araf ayat 157, yaitu tidak susah, sedikit beban, berangsur-angsur, ada kelonggaran dan sesuai dengan kemaslahatn umum.

Perkembangan sumber hukum Islam
Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber utama hukum Islam, dan itu tetap bertahan dalam waktu lama. Akan tetapi karena permasalahan hukum semakin kompleks di wialayah Islam, maka umat Islam memerlukan metodologi yang mapan untuk memecahkan permaslahan-permasalahan hukum yang muncul berdasarkan sumber-sumber utama hukum Islam.
Para yuris Islam merespon kebutuhan ini dengan mengembangkan prosedur ijma’ dan qiyas yang menekankan pentingnya akal dalam pengambilan keputusan hukum. Qiyas terdiri dari dua macam, yaitu qiyas ‘illah (causative inference) dan qiyas dalalah (indicative inference). Dengan ijma’ pemikiran para ahli hukum dapat diaplikasikan dalam proses penetapan hukum suatu kasus, dan melalui qiyas kasus-kasus yang timbul dapat dipecahkan melalui deduksi analogi.
Beberapa sumber hukum lain muncul seagai metodologi baru untuk merespon masalah-masalah hukum baru yang tidak mampu dipecahkan melalui sumber-sumber hukum yang ada (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas), yaitu Istishab, Istislah atau maslahah al-mursalah atau istihsan, ‘amal ahl al-Madinah, shar’ man qablana dan ‘urf yang dapat dipergunakan untuk memecahkan problem hukum yang muncul belakangan.
Istishab adalah presumsi hukum (legal presumption) yang mencakup semua presumsi yang diterima hukum, seperti presumsi tidak bersalah dan presumsi semua benda adalah halal kecuali jika secara eksplisit dilarang (Abdur Rahman I Doi, Shariah: The Islamic Law, 1990).
Istislah, maslahah musrasalah dan istihsan adalah sumber hukum yang menekankan pentingnya merujuk kepada kepentingan umum (interes publik) sebagai alat penguji terhadap keabsahan suatu solusi hukum. Dengan istislah berarti preferen juristik (juristic preference) yang didasarkan pada apa yang dipandang sebagai yang terbaik bagi kepentingan publik.
Sedang maslahah mursalah juristic preferencenya dilandasi oleh kepentingan kemakmuran publik, dan istihsan berarti preferen juristik yang melibatkan pertimbangan pemilihan satu aturan hukum ketimang aturan yang lain, karena faktor lingkungan, sebagai bagian interes publiknya.
Amal ahl al-Madinah merupakan terma yang menunjuk kepada perilaku masyarakat Madinah yang hidup dalam waktu yang lama bersama Nabi. Shar’u man qablana esensinya adalah hukum yang dibuat oleh masarakat sebelum Nabi Muhammad SAW, seperti ajaran hukum Nabi Musa dalam kitan Taurat dan Isa dalam Injil. ‘Urf adalah sumber hukum yang mendasarkan diri pada adat kebiasaan masyarakat setempat (Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh,1956).
Dari ‘Urf ini para yuris Islam membuat kaidah hukum (formulasi maksim) al-‘adah muhakkamah (adat menjadi dasar penetapan hukum). Agar adat yang dijadikan dasar penetapan hukum itu tidak melanggar ajaran dasar al-Qur’an dan Sunnah, maka ditentukan syarat-syarat validitas sebagai berikut:
1. Adat itu harus secara umum dipraktikkan oleh masyarakat atau sebagian tertentu dari masyarakat;
2. Adat harus betul-betul menjadi kebiasaan pada waktu akan ditetapkan sebagai rukujukan hukum;
3. Adat harus dipandang batal ab initio jika ternyata bertentangan dengan sumber utama hukum Islam;
4. Dalam kasus perselisihan, adat akan diterima sebagai sumber hukum hanya jika tidak ada pihak bersangkutan yang menolak adat tersebut. (Tahir Mahmood, Custom as a Source of Law in Islam, 1965).

Tujuan Hukum
         Hukum Islam mempunyai tujuan untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. Hukum Islam bersendi dan berasaskan hikmah dan kemaslahatan dalam hidup. Syari’at Islam adalah keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksnaan. Hukum Islam itu adil dan menempatkan keadilan Allah di tengah-tengah hambanya, kasih sayang Allah diantara makhluk-makhluknya (Ibnu Qayyim, I’lmu al-Muwaqqi’in, Makatabah Tijariyah al-Qahirah, Mesir, 1955, hal. 14-15).
Hukum sebagai alat rekayasa sosial yang dapat mempengaruhi moral masyarakat harus memberi manfaat bagi masyarakat. Tujuan syari’at atau penetapan hukum menurut para ahli fiqh (Yuris Islam) adalah:
1. Mendidik individu agar menjadi sumber kebajikan bagi masyarakat;
2. Menetapkan keadilan, dan
3. Menciptakan kemaslahatan yang dikaitkan dengan lima pokok kunci pemeliharaan dalam syari’at Islam, yaitu, agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta milik.
Kemaslahatan itu bertingkat-tingkat cara pemenuhannya, yaitu:
1. Kemaslahatan yang bersifat primer (dlorury) yang diharuskan adanya lima pokok di atas;
2. Kemaslahatan yang bersifat penting/sekunder (Hajji) yang adanya merupakan keringanan/dispensai (rukhsakh);
3. Kemaslahatan yang bersifat asoseris (tahsini), yaitu suatu kebutuhan yang sifatnya hanya sebagai pelengkap,yang bisa diabaikan jika menyangkut hal-hal pokok.
Mohammad Salam Madkur menjelaskan bahwa untuk menjaga kelima kebutuhan pokok di atas, Islam telah mengadopsi dua strategi, yaitu: (1) penanaman kesadaran agama dan jiwa manusia dan pengembangan keasadaran kemanusiaan melalui pendidikan moral, dan (2) penggunaaan prinsip hukuman pencegahan (deterrent punishment) sebagai asas hukum pidana Islam (M. Salam Madkur, Human Rights from an Islamic Worldview: An Outline of Hudud, Ta’zir & Qisas).
Sedang menurut teori ilmu hukum modern tujuan hukum dapat dikaji dalam tiga sudut pandang, yaitu:
1. Pandangan falsafah hukum (teori etis) yang menitikberatkan tujuan hukum untuk merealisir atau mewujudkan keadilan baik yang bersifat distributif atau keadilan proporsional maupun keadilan kumulatif yang memastikan setiap orang memperoleh hak yang sama;
2. Pandangan sosiologi hukum (teori Utilitis) yang menakankan bahwa tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat; dan
3. Pandangan ilmu hukum normatif (aliran yuridis dogmatik) yang menekankan tujuan hukum dengan terwujudnya kepastian hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo (1999:145) dalam upaya menegakkan hukum, maka ketiga unsur tujuan hukum di atas harus diperhatikan. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan sewenang-wenang. Masyarakat menghendaki adanya suatu kepastian hukum agar masyarakat lebih tertib. Masyarakat juga mengharapkan kemanfaatan dari penegakan hukum. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...