Selasa, 06 Mei 2014

TEORI ‘URF DALAM HUKUM ISLAM

Oelh: Misno, MEI

A.    ’Urf dalam Hukum Islam
1.      Definisi ‘Urf.
Kata العرف (al-‘Urf) secara bahasa berasal dari bahasa Arab, kata ini dibentuk dari huruf ain, ro dan fa, bentuk kata kerja (fi’il)-nya adalah عرف - يعرف (‘arafa-ya’rifu) yang berarti mengenal atau mengetahui. Bentuk derivatif dari kata ini adalah al-ma’ruf  المَعْرُوفٌ  yang berarti segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). Ibnu Mandzur dalam Lisaan al-Arab mencatat bahwa bahwa kata العرف (al-‘Urf) adalah:
الشي المألوف المستحسَن الذي تتلقاه العقول السليمة بالقبول
Sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat.[1]
Ada dua karakteristik ‘urf dalam definisi ini, yaitu keyakinan bahwa ucapan dan perbuatan tersebut adalah baik (ma’ruf) serta penerimaan akal sehat terhadapnya. Louis Ma’luf mengartikan kata العرف (al-‘Urf) dengan beberapa makna, yaitu:
1.      Mengaku, mengetahui, apa yang diyakini karena telah disaksikan oleh akal dan secara alami orang menganggap itu benar”.
2.      Kebaikan, rambut leher keledai, ombak dan daging merah di atas kepala ayam.
3.      Mengenal dan kebaikan.[2]

Al-Jurjani di dalam kamus al-Ta‘rifat, mencatat‘Urf  adalah: 
ما استقرت النفوس عليه بشهادة العقول وتلقته الطبائع بالقبول
Sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiannya.[3]

Ibnu Faris berpendapat bahwa kata arafa dan arfun menunjukkan sesuatu yang berkesinambungan berhubungan satu dengan lainnya atau membawa ketenangan dan ketentraman. Maksudnya ucapan atau perbuatan tersebut memang diyakini oleh para pelakunya sebagai kebenaran. Sedangkan Ahmad Warson Munaawir mengartikan ‘urf dengan kebajikan, puncak dan adat yang dipelihara.[4] Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ‘urf secara bahasa memiliki beberapa makna yaitu: lawan dari nakirah, kata benda (isim) dari الاعتراف al-‘itiraf, tempat yang tinggi pada tanah, dan segala kebaikan (ma’ruf) yang diterima oleh akal dan syariat Islam membenarkannya. 
Sedangkan secara istilah العرف (al-‘Urf) adalah kebiasaan yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat, baik dalam perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus dan diakui sebagai sesuatu yang baik oleh mereka.[5] Secara lebih rinci terdapat beberapa definisi dari العرف (al-‘Urf) yaitu:
1)      Setiap perbuatan yang menetap dalam jiwa, diterima oleh akal dan tabiat manusia yang salim menerimanya.
2)      Setiap yang menjadi adat kebiasaan manusia dan mengulang-ulanginya dari perbuatan yang mereka sepakati. Istilah ini juga bermakna adat yang dilakukan secara bersama-sama (al-‘adat al-jamaah).
3)      Setiap adat kebiasaan kebanyakan manusia dan menjadi kebiasaan di beberapa wilayah baik yang dilakukan setiap waktu ataupun pada waktu-waktu tertentu.
Ketiga perincian tersebut berpusat pada pengulangan ucapan dan perbuatan, keyakinan bahwa hal tersebut baik dan diterima oleh akal sehat pelakunya. Abu Zahrah memberikan definisi yang lebih rinci dengan menyatakan ‘Urf adalah:
الناس مااعتداه من المعاملات واستقامت عليه أمورهم
Setiap yang menjadi kebiasaan manusia dalam urusan muamalat dan menegakkan urusan-urusan mereka.[6]
Penekanan kepada masalah-masalah muamalat didasarkan kepada kenyataan bahwa sebagian besar penggunaan ‘urf lebih kepada masalah muamalah yaitu hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Abdul Wahab Khallaf memberikan definisi sebagai berikut:
الْعُرْفُ هُوَ مَا تَعَارَفَه ُالنَّاسُ وَسَارُوْا عَلَيْهِ مِنْ قَوْلٍ أوْفِعْلٍ أوْتَرْكٍ وَيُسَمَّى الْعَادَةَ. وَفِى لِسَانِ الشَّرْعِيَّيْنَ لاَفَرْقَ بَيْنَ الْعُرْفِ وَالْعَادَةِ.
al-'Urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, dari: perkataan, perbuatan atau (sesuatu) yang ditinggalkan. Hal ini dinamakan pula dengan al-'Aadah". Dalam bahasa ahli syara' tidak ada perbedan antara al-'Urf dengan al-'Aadah (adat).[7]

Pengertian menyamakan antara adat dan ‘urf karena dianggap sama-sama sebagai ucapan dan tindakan yang dilakukan oleh manusia secara berulang-ulang sehingga telah menjadi tradisinya (adat kebiasaan). Ahmad Fahmi Abu Sunnah menukil pendapat dari al-Nasifi yang mendefinisikan ‘urf dengan:
مااستقر في النفوس من جهة العقول وتلقه الطباع السليمة بالقبول
Sesuatu yang tetap dalam jiwa yang diterima oleh akal dan diterima oleh tabiat yang selamat..[8]
Definisi yang lebih lengkap disebutkan oleh Zakiyuddin Sa’ban yang berpendapat bahwa ‘urf adalah :
ما اعتاده الناس و ألفوه من فعل شائع بينهم أو ألفاظ تعرافوا إطلاقه على معنى خاص بحيث لا يتبادر عند سماعه غيره
Apa yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka setujui baik itu dalam perbuatan yang sudah tersebar luas di kalangan mereka ataupun perkataan yang apabila diucapkan mereka mengetahui artinya dengan khusus yang tidak akan ada arti lain yang terpikirkan bagi mereka ketika mendengar kata tersebut..[9]

Melengkapi definisi sebelumnya Muhammad Zakariya al-Bardisiy mendefinisikannya dengan:
العرف ما اعتاده الناس و ألفوا و ساروا عليه فى أمورهم فعلا كان أو قولا دون أن يعارض كتابا أو سنة
Urf adalah apa yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka menyetujui dan mengerjakannya baik dalam bentuk praktek ataupun perkataan yang tidak bertentang dengan al-Quran al-Karim ataupun Sunnah Nabi.

Adapun “Urf” menurut ulama Ushul Fiqih adalah:
عادَةُ جُمْهُوْرِ قَوْ مٍ فِيْ قَوْ لٍ أُوْ فِعْل
Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.[10]
Pengertian ini menunjukan bahwa ‘urf adalah adat yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat, bukan yang dilakukan secara perorangan. Istilah “aadah jumhur” kebiasaan mayoritas umat menunjukan karakter dari ‘urf yaitu banyaknya masyarakat yang melakukan kebiasaan tersebut. Abdul Karim Zaidan memberikan definisi ‘urf dengan:
ما ألفه المجتمع واعتا ده وسار عليه فى حياته من قول أو فعل
Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan baik berupa perbuatan maupun perkataan.[11]

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ‘urf adalah kebiasaan di masyarakat yang berupa perkataan atau perbuatan yang berlaku secara berulang-ulang dan diterima sebagai sebuah kebaikan oleh mereka. kebaikan yang diakui oleh para pelakunya didasarkan pada nalar sosial masyarakat bahwa perbuatan tersebut adalah baik.  
Menurut Musthafa Syalabi yang membedakan antara ‘urf dan adat adalah dari segi ruang lingkup penggunaannya. Kata ‘urf selalu digunakan untuk jamaah atau golongan sedang kata ‘adah dapat saja berlaku pada perorangan, sebagian orang di samping pada golongan.[12] Sementara Mustafa Ahmad az-Zarqa berpendapat bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum daripada ‘urf. Dengan kata lain, suatu tradisi atau adat belum tentu ‘urf, tapi suatu ‘urf sudah pasti adat.[13]
Berdasarkan perbedaan dan persamaan antara adat dan ‘urf maka penulis berpendapat bahwa secara umum keduanya adalah sama yaitu perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara berulang-ulang. Namun secara khusus keduanya berbeda, adat lebih menitikberatkan pada proses pengulangan suatu perbuatan tanpa melihat baik-buruknya, sementara ‘urf pada nilai perbuatan tersebut yang dianggap baik oleh masyarakat. Selain itu adat juga bisa berupa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang sementara ‘urf adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang banyak. Sehingga kesimpulannya adalah adat memiliki makna yang umum pada perbuatan yang berulang-ulang dilakukan baik oleh individu ataupun sekelompok orang yang bernilai baik dan buruk, sementara ‘urf adalah perbuatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dan mereka mengakui kebaikan perbuatan tersebut.


[1] Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab, hlm. 2899.
[2] Louis Ma’luf, al-Munjid Fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut : Daar Masyriq, 1982), hlm. 500
[3] Ali bin Muhammad al-Sayyid al-Syarif a-Jurjany, Mu’jam  al-Ta’rifaat, hlm. 125.
[4] Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir. (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 911
[5] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hlm. 282.
[6] Zahrah, Muhammad Abu, Ushul al-Fiqh, (Tt: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), hlm. 273
[7] Khallaf, Abd a-Wahhab, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), cet.ke-20, hlm. 79.
[8] Ahmad Fahmi Abu Sinnah, al-‘Urf fi Ra’yi Fuqaha, hlm. 11.
[9] Zakiyuddin Sa’ban, Ushul al-Fiqh al-Islamiy (Kairo: Daar Nahdhoh Arabiyah, 1968), hlm. 192.
[10] Mushtafa Ahmad Zarqa, Al-Madkhal fi Fiqh al-‘Am, hlm. 872.
[11] Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhal li Dirasah al-Syariah al-Islamiyah, (Iskandariyah: Daar Umar bin Khattan, tt), hlm. 205.  
[12] Zein, Satria Effendi M, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Cet.ke-1, hal. 364-365.
[13] Musthafa Ahmad Zarqa, Al-Madkhal Al-Fiqhu Al-‘Am, (Damaskus: Darul Qalam, Cet. I, tahun 1998), hlm. 815.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...