Minggu, 29 Juni 2014

Menyoroti Interaksi Syar’i Mahasiswa Kampus Bersyari’ah


Oleh: Ummuza Shaliha

Apresiasi positif dan acungan jempol layak untuk mereka yang telah menjatuhkan pilihannya pada kampus islami sebagai sarana menimba ilmu.Satu nilai plustelah mereka genggam. Bagaimana tidak? Di tengah menjamurnya perguruan tinggi di Indonesia dengan beragam keunggulan prestasi, fasilitas, dan teknologi yang menggiurkan baik negeri maupun swasta, mengapa lebih memilih “Kampus Bersyari’ah”? Padahal secara logika, semua adab perilaku dan cara berpikir para penghuni kampus tersebut akan sangat dibatasi oleh aturan yang tidak dapat diganggu gugat sebab berlandaskan dalil syar’i yang bersumber dari sang Maha Pencipta yakni al-Qur’an dan as-Sunnah. Tidak lain, hanya mereka yang memang memiliki kecenderungan akan sifat taat dan peduli akan syari’at sajalah, yang rela menceburkan dirinya di lingkungan kampus yang siap mengaturnya dengan beragam nilai keislaman. Sesuatu yang patut disyukuri, di tengah kemerosotan nilai moral negeri ini, ternyata masih ada golongan pembelajar yang memikirkan perbaikan diri dan umat dengan menghabiskan masa yang tidak singkat untuk berkutat di dunia kampus berlandaskan syari’ah.
Fakta empiris yang terlihat di lapangan, bahwa ternyata mahasiswa yang memasuki dunia kampus bersyari’ah berasal dari latar belakang kehidupan yang sangat beragam. Mulai dari “anak gaul”, santri pondok pesantren, karyawan swasta, guru, pedagang, orang kampung, orang kota, bujangan, sudah menikah, dan lain sebagainya. Mereka akan digodok dengan siraman ilmu-ilmu syar’i sesuai dengan program studi yang telah dipilih. Sebagian mahasiswa ada yangmemang telah mengantongi pemahaman dasar tentang kaidah islamsejak sebelum memasuki dunia kampus atau bahkan sudah istiqomah mengamalkannya, sedangkan sebagian yang lain mungkin akan menemui banyak hal baru yang belum pernah diketahui sebelumnya. Apapun keadaan mereka, “menelan” setiap wejangan syar’i adalah keharusan. Menjadikonsekuensi logis, bila mahasiswa akanbersiap menuruti dan mengamalkan apa yang  telah dikajinya, termasuk atas hal-hal yang terasa berat sekalipun. Sebab kampus bersyari’ah berjalan sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, tak ada alasan sedikitpun bagi penimba ilmunya untuk membantah. Bukankah memilih kampus bersyari’ah bertujuan untuk mendalami ilmu keislaman, mengamalkan, dan mendakwahkannya? Subhaanallah, sebuah program hidup yang luar biasa.
Dilihat sebagai sebuah proses, sistem pendidikan tinggi memiliki empat tahapan pokok, yakni: Input(masukan), Process (proses), Output(keluaran), danOutcome (hasil ikutan). Keempat hal tersebut dapat menjadi tolok ukur kualitas dari sebuah kampus atau perguruan tinggi. Lalu di manakah letak dan peran mahasiswa dalam keempat tahapan pokok tersebut? Rupanya, mahasiswa berperan sebagai input atau masukan. Lalu mahasiswa pula yang akan menjalankan proses, kemudian menjadioutput, dan berbuah income. Dengan kata lain, mahasiswa memiliki peran di setiap tahapan. Tentu semuanya harus bersinergi dengan komponen lainnya, yakni: dosen, staf adminstrasi, teknisi, sarana-prasarana, anggaran dana, kurikulum, manajemen, dan lingkungan. Di sinilah tantangan bagi para mahasiswa untuk memberikan sumbangsih bagi proyek besar perbaikan generasi dan penataan kehidupan masyarakat madani yang menjunjung nilai-nilai syar’i. Sebuah tantangan luar biasa yang tidak ringan, namun harus tetap disambut dengan semangat pembelajar yang haus akan ilmu, mengamalkan, dan menyebarkannya.
Tantangan apa sajakah yang dimaksud? Tentu saja lagi-lagi tantangan yang berkaitan dengan implementasi ilmu-ilmu syar’i yang telah dikaji. Mulai dari cara berpikir, penampilan, tutur kata, dan perilaku, sehingga terbentuklah profil mahasiswa penegak syari’at, sebagai efek utama bahwa dirinya telah “dibesarkan” di kampus bersyariah. Lalu profil tersebut akan menjadi suri teladan bagi masyarakat sekelilingnya. Cara berpikir yang bukan hanya mengedepankan logika, tetapi berdasarkan pada paparan ayat-ayat al-Qur’an dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pola pikir yang benar haruslah berpangkal pada aqidah yang shohih. Artinya, di kampus berlandaskan syari’ah inilah para mahasiswa akan memantapkan kekuatan aqidah. Aqidah yang lurus, dan tidak menyimpang, yakni aqidah yang berprinsip pada 3 (tiga) hal: berserah diri pada Allah dengan bertauhid, taat kepada Allah, dan berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik. Aqidah yang lurus ini selanjutnya akan membuahkan ibadah yang benar, akhlakul karimah, dan semangat berdakwah dengan bekal keilmuan yang dimiliki.
Selanjutnya, mari sejenak kita menilik fenomena yang nampak di kehidupan para mahasiswa kampus bersyari’ah saat ini. Kampus yang menyatakan dirinya sebagai pejuang nilai-nilai islami, yang tersebar di seantero negeri. Sudahkah para mahasiswa-nya konsisten terhadap apa yang telah menjadi pilihan mereka? Sudahkah mereka mengamalkan atau setidaknya menerima setiap nasehat yang didapat melalui jam kuliah yang disampaikan dosen, lalu mengimplementasikannya dalam keseharian? Sudahkah nilai mata kuliah menjadi cerminan atas perilaku sehari-hari? Ada yang memang tersentuh hatinya, lalu serta merta menerapkannya dalam kehidupan. Tidak usahlah masalah yang terlalu sulit dulu, perkara berbicara yang santun, menjaga hijab, tidak ikhtilat, tunduk pandangan, dan semisalnya saja, sudahkah sungguh-sungguh ditanggapi dengan baik dan efektif.
Mengapa perihal interaksi ini perlu disoroti dan dikupas? Sebab intensitas pertemuan antar mahasiswa maupun dosen yang di dalamnya terdapat laki-laki dan juga perempuan, sangat rentan menimbulkan fitnah apabila tidak dijaga. Sudahkah para mahasiswa muslimah membenahi jilbabnya, apabila memang belum sesuai syari’at? Sangat miris bukan, apabila mahasiswi kampus bersyari’ah belum menata kembali penampilannya? Bukankah hal ini akan dilihat langsung oleh mata masyarakat. Ya, memang semua perlu proses. Tidak serta merta perubahan itu terjadi dalam waktu singkat. Pemikiran semacam ini memang layak ditanamkan, ketika kita sedang berusaha husnudzon terhadap orang lain, namun menjadi kurang tepat bila diberlakukan untuk diri sendiri. Sebab, berpikir bahwa “semua perlu proses” dalam konteks ini hanya akan menjadi alasan untuk menunda perubahan ke arah lebih baik. Sedang di waktu bersamaan, kita tidak tahu kapan batas waktu dari setiap nafas kita. Memang perubahan ke arah lebih baik itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, banyak godaan, banyak ujian, dari dalam maupun dari luar. Akan tetapi, dengan mujahadah dan pertolongan Allaah, insyaa Allaah semua dapat terlalui.
Untuk para ikhwan, sudahkah celana panjangnya berada di atas mata kaki? Sudahkah engkau panjangkan jenggot? Perlukah pertanyaan semacam ini? Bukankah ini perkara “kecil”? Silakan, bagi yang menganggap contoh Rasulullaah adalah perkara kecil, maka sebaiknya sempatkan waktu untuk membuka kembali diktat kuliahnya, atau tambah lagi intensitas kehadirannya di majelis ilmu. Agar tidak ada lagi perasaan meremehkan syari’at. Ingatlah, bahwa mahasiswa kampus bersyariah adalah benih teladan bagi keluarga dan masyarakat. Mulai dari perkara ringan hingga masalah yang berat. Mulai dari masalah jenggot hingga masalah peradaban dunia. Adakah yang remeh berkaitan dengan ini semua?
Bersinggungan dengan pola interaksi juga, yaitu tentang hijab atau penutup yang menghalangi interaksi langsung seorang mahasiswa dengan mahasiswi atau juga dengan dosen. Hijab yang diperlukan ternyata bukan hanya satu lapis, namun berlapis-lapis.
Lapis pertama adalah rasa malu. Apabila rasa malu sudah terkikis, maka tirai setebal apapun tidak akan mampu menghalangi timbulnya khalwat atau ikhtilat yang pada ujungnya akan mengotori hati, menggerogoti iman. Rasa malu yang merupakan cabang iman hendaknya dijadikan perisai untuk menepis setiap hawa nafsu yang diboncengi oleh rayuan syaithan. Rasa malu semestinya menghalangi seorang ikhwan mencuri pandang atas akhwat, begitu pula sebaliknya. Rasa malu akan menghalangi para akhwat untuk “narsis” dan merasa bangga menampilkan sosok dirinya dengan murah dan gratis di depan publik, baik di dunia nyata maupun dunia maya (internet). Sebab muslimah shalihah adalah perhiasan, tidak ditampakkan pun sudah indah, mengapa harus dipajang di hadapan umum yang justru akan mengurangi kehormatannya. Maasyaa Allaah.
Hijab lapis kedua adalah perasaan diawasi oleh Allaah. Apabila manusia senantiasa dalam keadaan sadar bahwa dirinya selalu dalam Pengawasan Allaah, maka ia tidak akan berani bercurhat ria,saling berbagi sapa (melalui sms, telpon, facebook, twitter, dan lain-lain) dengan yang bukan mahramnya.Tidak akan berani mengunduh foto wanita ajnabi dari internet atau sejenisnya, lalu dijadikan koleksi pribadi yang sewaktu-waktu dapat dipandangi. Memang, sekilas tampak tidak ada yang melihat, tapi sungguh Allaah Maha Melihat, dan semua akan dimintai pertanggungjawaban.
Barulah hijab lapis ketiga adalah tirai/gorden/kain/tembok atau sejenisnya yang dapat menghalangi pandangan mata tertuju ke mata atau fisik bukan mahram lainnya. Membagi kelas menjadi dua ruangan bersekat adalah sesuatu yang pantas ditiru. Sehingga ikhwan-akhwat tidak bercampur baur. Begitu juga dengan dosen, semestinya turut menjaga yang demikian, sebab ia lebih memahami perihal syari’at. Sebab dosen adalah teladan bagi mahasiswanya.
Benteng diri berupa kekokohan iman dan siraman ilmu syar’i yang setiap hari dipelajari,insyaa Allaah akan terus menggiring mahasiswa untuk bermuhasabah dan meningkatkan kualitas diri. Mewujudkan kampus syar’i berkualitas. Merealisasikan ilmu yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari. Menularkannya pada masyarakat awam yang melihat dan mengenalnya. Sehingga apa yang dicita-citakan akan tercapai sesuai jalur syar’i.
Sekilas cuplikan fenomena ini, semoga dapat dapat menjadi cambuk bagi kita semua, menjadi sedikit pengingat tentang pentingnya menjaga interaksi dan izzah sebagai mahasiswa kampus bersyari’ah. Tidak menunda perubahan positif, tidak meremehkan syari’at. Pandanglah sebuah nasehat atau kritikan sebagai masukan positif, sebagaimana obat yang menyehatkan walaupun pahit. Jangan menjadikan nasehat sebagai bentuk penilaian yang memojokkan, prasangka buruk, dan semisalnya. Jangan beralasan bahwa “bicara memang gampang”, sehingga kita terbiasa menolak nasehat. Bukankah menolak nasehat yang berisi kebenaran merupakan bentuk kesombongan. Dan sombong menjadi penghalang atas surga. Yang menulis ini pun tidaklah sempurna, namun sedang belajar menyampaikan dan menjadi nasehat bagi diri sendiri pula.

***

Penulis:
Ummuza Shaliha
Seorang ibu rumah tangga dari dua anak perempuan (usia 4 tahun dan 7 tahun). Lahir pada 29 September 1984 di Gunungkidul, Yogyakarta. Sempat belajar di Pendidikan Fisika Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2003-2009. Aktivitas saat ini adalah menemani anak-anak sekitar rumah untuk belajar bersama di Takaza  Creative Learning Center, rumah belajar milik sendiri bersama suami di Kota Bogor.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...