Minggu, 30 November 2014

PENGALAMAN
MENYUSUNAN DRAFT UNDANG- UNDANG  OTONOMI ACEH
DAN MENGAMATI PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH

Oleh:
Juhaya S Praja[1]

Pendahuluan

                 Penulis mengucapkan terimakasih atas kepercayaan Panitya untuk menyampaikan makalah pada hari ini. Makalah ini adalah pengalaman penulis ketika mendapat tugas Menteri Agama, KH Tolhah Mansur di era Presiden RI, KH Abdurahman Wahid. Ketika itu penulis ditugasi MENAG untuk mewakili beliau dalam rangka mendampingi Menteri Kehakiman Bapak Burhanudin Lopa dalam menyusun Undang undang Otomi Daerah istimewa Aceh tahun 1999. Dengan demikan, penulis sementara waktu berkantor bersama DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN, pada waktu itu dijabat oleh Prof Dr A. Gani Abdullah SH, gurubesar Fakultas Syariah UIN Bandung (sekarang Hakim Agung). Penulis bertugas menyiapkan draf UU manakala pihak eksekutif dengar pendapat dengan DPR RI. Setelah dengar pendapat dengan DPRRI, penulis merevisi draft sesuai dengan masukan dari yth anggota DPR,. Demikian selanjutnya sampai ketuk palu pengesahann RUU menjadi UU.
 Di samping itu, makalah ini juga ditulis berdasarkan pengalaman penulis selama menjadi guru besar tamu Pascaarajana UIN Ar Raniry Banda Aceh dan membimbing sejumlah kandidat doktor yang menulis disertasinya tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

OTONOM MELAKSANAKAN SYARIAT ISLAM
                Otonomi melaksanaan syariat Islam di Aceh disertai catatan-catatan dalam bentuk undang-undang. Keuangan (termasuk bentuk mata uang), hubungan luar negeri dan mengangkat Tentara tidak termasuk wilayah otonomi. Kecuali mengangkat prajurit termasuk wilayah otonomi, tetapi mengangkat perwira pertama hingga tinggi adalah  hak dan wewenang pemerintah pusat RI. Sedangkan bidang hukum pidana juga terbatas, yakni selama tidak bertentangan dengan KUHPidana nasional.  Ketika ada  beberapa pasal yang terasa mengganjal, terbetik dalam hati penulis bahwa di kemudian hari akan menjadi masalah, yaitu; Nama UU tentang nama Aceh menjadi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), dan pasal yang mengatur otonomi di bidang hukum pidana.
                Ternyata apa yang dikhawatirkan penulis menjadi kenyataan. Tentang nama Nangroe Aceh Darussalam (NAD), kemudian direvisi melalui Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA) menjadi Provinsi Aceh saja. Tentang partai politik juga dinamis dimana diizinkan adanya partai lokal khusus Aceh. Sekalipun demikian masalah masih tetap ada,  al, tentang Wali Nangroe yang sampai sekarang masih tarik ulur.
                Walaupun ada masalah, proses pelaksanaan syariat Islam, baik dalam bentuk Pembuatan Qonun melalui DPRD, maupun pembentukan lembaga-lembaga syariah terus berkembang dan berjalan. Terutama setelah dibentuknya Dinas Syariah, Mahkamah Syariah, Wilayatul Hisbah (WH),  dan terbitnya Qanun tentang pelaksanaan syari’ah secara kaffah yang meliputi ibadah, solat Jum’at, busana muslimah, maisir, minuman keras, berkhalwat, serta sanksi-sanksinya berupa kurungan dan hukum cambuk.

DINAMIKA SYARIAT ISLAM SELAMA 15 TAHUN
                Dinamika pelaksanaan syariat Islam di Aceh tidak bisa lepas dari peranan dan cara pandang kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tidak bisa dipungkiri juga bahwa bencana sunami juga berperan penting daalam dinamika masyarakat Aceh secara menyeluruh. Yang paling menarik setelah lahirnya UUPA dimana Nangroe Aceh Darussalam (NAD) menjadi Aceh. Perubahan nomenklatur ini merubah semua papan nama seuruh Aceh dan berbagai atribut lembaga birokrasi. 
                Segera setelah terbit Qonun maka lembaga HW terbentuk dan merekrut sjumlah sarjana untuk mengawasi pelaksanaan syariat Islam, mengarahkan bentuk bangunan restoran, dan mengarahkan perilaku masyakakat Aceh maupun tamu atau wisatawan yang berkunjung ke Aceh. Lembaga HW yang semula berdiri sendiri, kemudian digabung dengan SATUAN POLISI PAMONG PRAJA.    Berbagai tindak pidana syariah disidangkan di Mahkamah Syariah setelah melewati penyidikan pihak Polri dan Dilanjutkan pihak Kejaksaan kemudian diputus oleh hakim dan kembali dieksekusi pihak kejaksaan. Kendalanya ialah dalam masalah budgeting untuk eksekusi sehingga banyak eksekusi yang terhambat karena budgeting.
                Pelaksanaan syariat Islam di Aceh menunjukkan kerja teori hukum Rouscou Pond yang menyatakan hukum adalah tool of social engineering and tool of social control. Qonun Aceh telah merubah tradisi busana Muslimah Aceh. Bahkan di Kabupaten Meulaboh ada Perda Bupati yang mengatur busana Muslimah yang berkendaraan sepeda motor. Ruang publik seperti rstoran, tinggi dinding ruang makan hanya boleh sekitar 60 cm, supaya tidk dijadikan tempat berkhlwat. Sanksi adat juga berlaku bagi pelaku  yang trtangkap tangan. Ada adat yang memberi hukuman tambahan dengan membayar denda dengan 1, 2, atau 3 ekor kambing plus dibanjur air comberan, baru setelah itu mereka dikawinkan.
                Jika hari Jumat datang, pada waktu solat Jumat pun jalanan sepi karena penduduk solat Jumat, mereka yang tidak solat pun tidak berani berkeliaran di tempat umum karena kalau tertangkap WH akan dijatuhi  sanksi.  Wisatawan pun jika masuk Aceh, umumnya berbusana Muslimah sekalipun non Muslim dan orang asing. Akan tetapi, begitu meninggalkan Aceh, umpamanya sampai Medan, mulailah mereka melepas busana Muslimah. Dalam acara resmi, jika ada wanita tidak berbusana Muslimah akan diusir oleh Satpam, wartawati sekalipun.
                Sisi lain dari pelaksanaan syariat adalah adanya “keterpaksaan” aparat hukum mempelajari syariat Islam, terutama polisi dan jaksa serta angota WH atau Muhtasib atau polisi syariah. Hal ini berimbas pada dunia pendidikan dimana kurikulum fakultas hukum memasukkan materi pelajaran syariat Islam dsnlembags-lembaga syariah. Sementara peran ulama pun meningkat. Bagian ini akan dibahas oleh Sdr Kandidat Doktor ilmu hukum Islam,  Mursyididn AR., M.Ag, dosen STAIN(SEKOLAH TINGI AGAMA ISLAM NEGERI) Langsa, Aceh yang sudah hadir di sini sejak kemarin.


[1] Guru Besar Filsafat Hukum, Ketua Prodi S3 Hukum Islam Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung . Lulus DR UIN SYAHIDA Jakarta 1998; Visiting Fulbright rofessor Denver University, Colorado USA, 1992; Columbia University, New York City, 1993; Binghamton University/ State Univrsity of New York (SUNY), Negara bagian New York, 2002-2003; Visiting Expert on TERRORISM, Universitas PBB ( UNAFEI), Fuchu si, Tokyo, Jepang; dan sejumlah universitas di Indonesia dan Malaysia, dll. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...