Selasa, 18 November 2014

Satu Ranjang Dua Iman

 Oleh: Abdurrahman MBP
A.      Latar Belakang Masalah
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang memliki naluri untuk hidup dengan orang lain. Naluri ini dikenal dengan istilah gregariousness, sehingga manusia disebut juga social animal (hewan sosial).[1] Ia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, sehingga sering pula disebut dengan zoon politicon (makhluk sosial). Sifat manusia ini didasarkan kepada sifat biologis manusia yang memang tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Seorang bayi yang baru lahir tidak bisa langsung bisa berjalan atau mencari makan sendiri. Bahkan ketika ia telah menginjak dewasa ada dorongan biologis yang harus dipenuhi.    
Membahas tentang adaptasi biologis, setiap manusia pasti memilikinya. Ia membutuhkan orang lain untuk memenuhi hasrat biologisnya.  Seorang manusia yang telah dewasa membutuhkan pasangan hidup sebagai penyaluran hasrat biologisnya. Pernikahan adalah sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Seorang manusia yang normal membutuhkan seorang pasangan hidup dalam ikatan pernikahan yang sah secara sosial. Mereka membutuhkan keluarga demi perkembangan dirinya, sehingga dapat tercipta generasi berikutnya sebagai penerus keluarga mereka kelak.
Pembentukan sebuah keluarga diawali dengan pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan. Peristiwa ini adalah hal sakral yang harus dilalui oleh setiap manusia yang normal, bersatunya antara seorang laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan yang kuat yaitu pernikahan. Ikatan inilah yang akan mempersatukan dua manusia yang berbeda (laki-laki dan perempuan) dalam jiwa dan rasa untuk mencapai satu tujuan menjadi sebuah keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal selamanya.
Dasar dari pernikahan adalah terpenuhinya kebutuhan biologis baik laki-laki ataupun perempuan. Hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan perkawainan adalah puncak dari pemenuhan kebutuhan biologis manusia. Selain hal tersebut pernikahan juga adalah penyatuan antara dua keluarga besar dari seorang laki-laki dan perempuan yang melibatkan hubungan-hubungan emosi,  perasaan, kasih sayang, hubungan politik dan hubungan sosial.[2] Artinya bahwa pernikahan selain merupakan ikatan antara seorang laki-laki dan perempuan, ia juga penyatuan dua keluarga besar yang memiliki pola-pola hubungan sosial yang berbeda-beda.
Inilah makna luas dari perkawinan, ia bukan saja pertautan antara dua manusia, namun juga merupakan pertautan antara dua keluarga yang sanggup membawa diri dan melebur sebagai keluarga sendiri. Suatu perkawinan membutuhkan adanya suatu pembauran yang bersifat positif antara kedua manusia yang mengalaminya, yang mendukung terciptanya suatu kehidupan yang harmonis. Sehingga akan lahir dari perkawinan ini generas-generasi yang akan melanjutkan estafet kehidupan umat manusia.
Islam memandang bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Allah ta’ala menyebutnya dengan istilah miitsaqan ghalidha (ikatan yang kokoh) yang bermakna satu ikatan antara laki0-laki dan perempuan yang didasarkan pada niat karena Allah ta’ala dan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan biologisnya.  Begitu besarnya perhatian Islam terhadap pernikahan ini sehingga aturan-aturannya telah disebutkan secara qhat’i di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam. Bahkan para ahli hukum Islam telah merumuskan apa yang disebut dengan fiqh munakahat, yaitu hukum-hukum Islam yang berkenaan dengan perkawinan.
Pembentukan keluarga antara seorang laki-laki dan perempuan memerlukan adanya komitmen yang kuat di antara keduanya. Komitmen terssebut dalam bentuk pemahaman terhadap hak dan kewajiban dari masing-masing pasangan. Hak dan kewajiban tersebut diatur dalam agama dan kepercayaan dari masing-masing individu. Sehingga dalam hal ini Undang- Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatkan bahwa  suatu perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dan kepercayaan dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya dan sah batalnya suatu perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum Negara. Berdasarkan undang-undang tersebut maka apabila suatu agama melarang melakukan pernikahan dengan penganut agama yang lain maka secara otomatis peraturan pemerintah melarangnya.


[1] Sorjono Soekanto, hlm. 
[2]  (Widjaya, 1986

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...