Senin, 20 April 2015

Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia



Pendahuluan
Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga hukum di Indonesia telah eksis seiring dengan perjalanan bangsa dari awal kemerdekaan hingga saat ini. Dalam rentang waktu tersebut, peradilan agama telah melewati rangkaian proses transformasi kelembagaan dalam rangka memperkuat eksistensinya dalam kerangka hukum di Indonesia.

Salah satu pijakan awal yang krusial dalam kemapanan peradilan agama secara kelembagaan adalah kodifikasi peraturan-peraturan tentang peradilan agama ke dalam UU No.7 tahun 1989 mengenai peradilan agama. Dengan kodifikasi tersebut, maka peradilan agama memperoleh pengakuan hukum yang luas sebagai lembaga hukum yang otoritatif dan independen.

Implikasi lebih jauh dari undang-undang tersebut adalah adanya transparansi mengenai yurisdiksi peradilan agama dalam dinamika hukum nasional, sehingga putusan atau ketetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama memiliki kekuatan hukum yang tetap. Hal inilah yang sesungguhnya mengawali kiprah nyata peradilan agama dalam rangka penegakan supremasi hukum secara massif.

Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan dinamika sosial-ekonomi masyarakat yang semakin kompleks dan dinamis, kebutuhan akan pemenuhan rasa keadilan semakin menguat, sehingga diperlukan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif. Peradilan agama dituntut untuk mengambil peran yang lebih jauh dalam pemenuhan rasa keadilan di masyarakat.

Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan Nasional

Peradilan agama merupakan kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Pengadilan Agama adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan peradilan agama. Adapun satuan penyelenggara peradilan pada tingkat kedua (banding) adalah pengadilan tinggi agama (PTA), sedangkan pengadilan pada tingkat kasasi adalah Mahkamah Agung.

Peradilan Agama mempunyai sejarah yang panjang dan berliku-liku. Sejarah panjang peradilan agama itu dicoraki oleh politik Islam pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintah kolonial maupun politik Islam pemerintah republik Indonesia. Roihan A. Rasyid berpendapat bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, namun belum bisa diidentikkan dengan Peradilan Islam secara universal, di samping itu pula bahwa Peradilan Agama bersifat khusus. Kekhususannya pertama karena Peradilan Agama tidak berwenang dalam perkara perdata dan pidana, melainkan hanya perdata saja. Perdata itu pun hanya perdata Islam yang terbatas saja. Dan dipandang dari para pencari keadilan yang diurusnya juga tidak mencakup semua orang tetapi hanya orang-orang tertentu, yaitu yang termasuk kategori beragama Islam.

Sekarang Peradilan Agama ditetapkan melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 10 disebutkan bahwa, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:

a.Peradilan Umum;

b.Peradilan Agama;

c.Peradilan Militer;

d.Peradilan Tata Usaha Negara.

Dengan diundangkannya undang-undang No. 14 Tahun 1970 menjadikan badan peradilan agama sebagai bagian dari peradilan nasional Indonesia. Kemudian kedudukan Peradilan Agama semakin kuat setelah lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan yang signifikan, yaitu:

Pertama, sejak berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 semua aturan perundang-undangan mengenai Peradilan Agama sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, penyelenggaraan Peradilan Agama di Indonesia didasarkan kepada peraturan yang sama dan seragam.

Kedua, mengenai kedudukan pengadilan. Sebelum berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 terdapat ketidaksejajaran antara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dengan pengadilan lainnya, khususnya pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Hal ini sebelumnya tercermin adanya pengukuhan atas putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri. Maka dengan lahirnya Undang-undang ini, Pengadilan Agama memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri yang dilaksanakan oleh jurusita. Kejurusitaan merupakan pranata baru dalam susunan organisasi Pengadilan Agama.

Ketiga, kedudukan hakim. Menurut ketentuan pasal 15 ayat (1), hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung. Hal ini sama berlaku bagi hakim dalam lingkungan Peradilan Umum.

Keempat, tentang wewenang pengadilan. Menurut ketentuan pasal 49 ayat (1), “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama orang-orang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah.”

Kelima, tentang hukum acara. Menurut pasal 54, hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.

Keenam, tentang penyelenggaraan administrasi peradilan yang meliputi administrasi peradilan dan administrasi umum.

Ketujuh, perlindungan terhadap wanita, yaitu bahwa gugatan perceraian tidak diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman tergugat, tetapi ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.

Di dalam reformasi hukum tercakup agenda penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat pemerintahan desa; pembaruan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan; pembaruan dalam sikap masyarakat; cara berpikir masyarakat dan pembenahan perilaku masyarakat ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Dengan perkataan lain, dalam agenda reformasi hukum itu tercakup pengertian reformasi kelembagaan, reformasi perundang-undangan dan reformasi budaya hukum. Eksistensi Hukum Islam yang sejak dulu dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kesadaran masyarakat Indonesia mengenai hukum dan keadilan yang memang jelas keberadaan atau eksistensinya dalam kerangka sistem hukum nasional.

Secara instrumental, banyak ketentuan perundangan Indonesia yang telah mengadopsi berbagai materi hukum Islam ke dalam pengertian hukum nasional. Secara institusional pun, eksistensi pengadilan agama juga terus dimantapkan keberadaannya. Apalagi dengan dibuatnya UU No. 7 Tahun 1989 menjadikan posisi pengadilan agama semakin kuat.

Dengan lahirnya undang – undang tersebut banyak perubahan dan kemajuan penting serta mendasar pada lingkungan peradilan agama, yakni, peradilan agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya telah benar-benar sejajar dan sederajat dengan peradilan militer, peradilan umum dan peradilan tata usaha negara. Nama, susunan, wewenang dan hukum acaranya telah sama dan seragam di seluruh Indonesia.

Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan agama itu akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan peradilan agama. Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan, dengan jalan, antara lain, memberikan hak yang sama kepada istri dalam berproses dan membela kepentingannya di muka pengadilan. Lebih memantapkan upaya penggalian berbagai asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum Islam sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembinaan hukum nasional melalui yurisprudensi.

Adanya UU No. 7 Tahun 1989 di atas telah mewujudkan amanat Pasal 10 Ayat (1) dari Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Tahun 1970 tentang Kedudukan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan Pasal 12 tentang Susunan, Kekuasaan dan Hukum acaranya.

Selain itu, pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara yang sekaligus juga berwawasan bhineka tunggal ika dalam bentuk UU peradilan agama telah terlaksana. Sebagai institusi penegak hukum, Peradilan Agama harus kuat status dan kedudukannya sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada para pencari keadilan. Karenanya, yang lebih diutamakan dari reformsi Peradilan Agama, sesungguhnya adalah menyangkut status dan kedudukannya sebagai salah satu pelaksana dari struktur kekuasaan kehakiman.

Friedman dalam teori three elements law system,menyatakan bahwa, efektif atau tidaknya penegakan hukum antara lain ditentukan oleh kuat tidaknya struktur hukum (legal structure), yakni pengadilan. Menurutnya, struktur adalah bagian dari sistem hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme. Struktur bagaikan foto diam yang menghentikan gerak. Dengan demikian, Pengadilan Agama sebagai salah satu bagian dari struktur hukum akan memberikan pengaruh terhadap kuat tidaknya struktur pelaksana hukum di Indonesia. Bila dilihat dari aspek struktur, status dan kedudukan Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di era reformasi sudah kuat. Sehingga, tidak akan ada perdebatan lagi mengenai kehadirannya dalam sistem kekuasaan kehakiman Indonesia.

Peradilan Agama adalah pranata konstitusional. Menjalankan Peradilan Agama menjadi tanggungjawab dan kewajiban konstitusional, yang penghapusannya hanya mungkin kalau ada perubahan UUD. Dan ini merupakan sesuatu yang sulit dibayangkan akan terjadi. Inilah perubahan signifikan yang terjadi pada Peradilan Agama di era reformasi. Statusnya sudah sangat kuat secara konstitusional, kedudukannya sudah sama dengan badan-badan peradilan lainnya, sehingga independensi dan kemandirian institusionalnya bisa meningkat, termasuk juga kepercayaan dari masyarakat pencari keadilan.

Salah satu indikator kepercayaan dari masyarakat pencari keadilan adalah tingkat kepuasan (consumer satisfaction) pengguna/masyarakat terhadap Peradilan Agama. Dalam laporan hasil survey nasional yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan AusAID tahun 2008, terdapat tingkat kepuasan yang tinggi pada pengguna jasa Pengadilan Agama, dengan lebih dari 80% pemohon menyatakan mereka bersedia untuk menggunakan kembali Pengadilan Agama, jika mengalami masalah hukum yang sama. Termasuk proses persidangan, umumnya menyatakan puas.

Ini dibuktikan dengan pernyataan responden, 63,3% menyatakan proses persidangan tidak menimbulkan keresahan, 64,4% menyatakan tidak terlalu banyak penundaan, perkara diperiksa secara cepat dan efisien dan memperoleh akses kepada dokumen-dokumen yang relevan (74 dan 71,6%). Tingginya tingkat kepuasan terhadap proses persidangan tersebut juga dikuatkan oleh pernyataan responden bahwa pengadilan telah bersikap adil dan transparan (81,1%), pengadilan menangani perkara dengan adil (79,1%), dan sifat acara persidangan dapat dimengerti (75%).

Dengan demikian, tingkat kepuasan masyarakat terhadap Peradilan Agama, tidak hanya dalam soal pelayanan administrasi, tetapi juga dalam proses persidangan, serta masyarakat pencari keadilan mendapatkan rasa keadilan atas putusan hakim tersebut. Putusan hakim yang adil, menurut Jeremy Bentham, memiliki korelasi kuat dengan proses persidangan dan nilai-nilai yang terkait dengan proses hukum. Oleh karena itu, proses persidangan harus menghasilkan putusan yang akurat sebagai tanda dipergunakannya nilai-nilai hukum sebagai dasar putusan.

Selain itu, tingkat kepuasan pencari keadilan terhadap putusan Pengadilan Agama juga terlihat dari data perkara yang masuk ke Pengadilan Agama. Pada tahun 2007, dari 201.438 perkara yang diputus oleh hakim di Pengadilan Agama tingkat pertama, hanya 1.650 perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama tingkat banding atau 6,87%. Sedangkan untuk perkara yang diputus di tingkat banding sebanyak 1.682 perkara dan yang kasasi hanya 491 perkara (29,1%). Kecilnya prosentase rata-rata hanya 18%- masyarakat yang mengajukan ke pengadilan di tingkat atasnya, menunjukkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat sangat tinggi (82%).

Karena itu, Pengadilan Agama sebagai bagian dari legal structure harus benar benar kuat, mandiri, independen, dan kredibel, sehingga salah satu elemen dalam sistem hukum akan berfungsi dengan baik. Selain itu, berdasarkan hasil survey The Asia Foundation pada tahun 2005 Peradilan Agama menjadi satu-satunya institusi penegak hukum yang memiliki performance paling baik, dengan angka kepuasan palayanan mencapai nilai 80, Peradilan Umum hanya 70, TNI 74, dan polisi hanya 59. Bahkan dalam aspek persepsi publik terhadap bermacam-macam institusi, Peradilan Agama adalah institusi yang nilai trustworthy dan does its job well-nya paling tinggi.

Data tersebut menunjukan bahwa Peradilan Agama di mata masyarakat menjadi salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang terpercaya. Bukan saja karena pelayanan administrasinya, akan tetapi juga proses persidangan dan hasil putusan yang dibuat oleh hakim dapat memberikan rasa keadilan masyarakat. Berkaitan dengan ini, Colligan menyatakan bahwa, lahirnya putusan yang akurat memperlihatkan dipergunakannya nilainilai sebagai dasar dari putusan dan keluarnya putusan yang akurat tersebut juga terkait dengan dipakainya hukum pembuktian selama proses pemeriksan perkara di pengadilan. Karenanya, tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa pada masa reformasi–pasca disatuatapkan di bawah Mahkamah Agung– Peradilan Agama semakin mandiri dan independen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...