Rabu, 21 Oktober 2015

Kampung Marunda Pulo

Dr. Misno, MEI


            A.    Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tiga lokasi, yaitu komunitas adat Baduy di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten, Kampung Naga, Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat dan Kampung Marunda Pulo Kelurahan Marunda Kecamatan Cilincing Kotamadya Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta.
Ketiga lokasi Penelitian tersebut merupakan tempat tinggal bagi komunitas suku Betawi, Sunda dan Banten yang memiliki karakteristik budaya dan adat-istiadat yang berbeda-beda. Berikut adalah peta tiga lokasi Penelitian:
Gambar 1.
Peta lokasi Penelitian
Kampung Naga
Desa Kanekes
Marunda Pulo



















Sumber Gambar: www.google.com dengan tambahan lokasi Penelitian oleh Penulis.
1.      Lokasi Marunda Pulo
Kampung Marunda Pulo terletak di wilayah bagian timur laut Propinsi DKI Jakarta. Secara administrasi ia masuk ke wilayah Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta. Berikut adalah peta lokasi kampung Marunda Pulo:  
Gambar 5.
Peta Kelurahan Marunda
Marunda Pulo





















Sumber Peta: Dokumen Kelurahan Marunda Kec. Cilincing

Luas wilayah Kelurahan Marunda adalah ± 791.69 Ha dengan komposisi 50% pemukiman dan 50% lainnya adalah empang, kawasan industri dan garasi truk trailer. Hal ini selaras dengan pengembangan Marunda sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang merupakan kawasan industri, eksport import dan pengembangan ekonomi strategis lainnya.
Kelurahan Marunda merupakan hasil penggabungan sebagian wilayah Jawa Barat ke wilayah Provinsi DKI Jakata berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 1251 Tahun 1986 tentang Pemecahan, Penetapan Batas, Perubahan Nama Kelurahan yang Kembar, Penetapan Luas Wilayah Kelurahan-kelurahan di DKI Jakarta. Surat Keputusan ini diperbaharui dengan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No, 1227 Tahun 1989 tentang Penyempurnaan Lampiran Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1251 Tahun 1986.
Secara administratif Kelurahan Marunda memiliki batas wilayah sebagai berikut: Sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan Rorotan, sebelah barat berbatasan dengan kelurahan Cilincing, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, dan sebelah timur berbatasan dengan Segera Makmur Kabupaten Bekasi. Secara keseluruhan wilayah kelurahan Marunda adalah rawa-rawa dan tepi laut.
Kelurahan Marunda terbagi dalam 10 RW dengan 97 RT. Dari 10 Rukun Warga tersebut 1 RW merupakan komplek pendidikan yaitu RW. 08 khusus mengurusi warga/lingkungan Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) yang terdiri dari 2 (dua) RT, Sedangkan RW.010 adalah Rumah Susun yang ditempati warga berasal dari Kolong Tol Penjaringan adapun 8 RW lainnya merupakan perkampungan biasa yang dikenal dengan Sungai Tirem, Bambu Kuning, Marunda Baru, Marunda Pulo, Marunda Besar, Marunda Kongsi, serta Bidara, yang dihuni oleh mayoritas etnis Betawi.[1]
Penelitian ini terfokus pada kampung Marunda Pulo yang berlokasi di RT. 001 dan 002 RW. 07 yang merupakan pemukiman komunitas Marunda Pulo yang berada di bagian utara wilayah kelurahan Marunda.  Jumlah penduduk Marunda Pulo berdasarkan sensus tahun 2013 sebanyak 621 jiwa dengan 204 Kepala Keluarga.
Tabel 6.
Jumlah Penduduk di Kampung Marunda Pulo
RT
Jumlah Penduduk
L
P
1
325/101 KK
85
240
2
296/103 KK
189
98
Jumlah
621/204 KK
264
338
Sumber: Dokumen Kelurahan Marunda
Wilayah Marunda Pulo terbagi menjadi dua Rukun Tetangga (RT) yaitu RT 001 RW 07 dan RT  002 RW 07. Saat ini yang menjadi Ketua RT 001 adalah Bapak H. Thirmidzi sedangkan yang menjadi Ketua RT 002 adalah Bapak Sugiyanto. Mayoritas penduduknya adalah masyarakat asli Marunda Pulo yang beretnis Betawi, sedangkan sebagian kecilnya adalah perantau yang mengontrak rumah di wilayah ini yang berjumlah tidak lebih 20 Kepala Keluarga. Sebagian mereka adalah pegawai yang bekerja di perusahaan-perusahaan pelabuhan di sekitar Marunda Pulo.
Kondisi wilayah Marunda Pulo berada pada pinggir pantai Teluk Jakarta dan Laut Jawa. Pada zaman dahulu, khususnya masa kolonial Belanda di mana kondisi pantainya masih bersih, ia dijadikan sebagai tempat wisata masyarakat yang tinggal di sekitarnya.[2] Saat ini kondisi pantainya telah mengalami abrasi bertahun-tahun lamanya sehingga untuk menahan ombak dan air pasang di bagian utara kampung dibangun tembok dam setinggi kurang lebih 2 meter.
Keadaan permukaan tanahnya berupa daratan yang dikelilingi oleh air payau dan sebagiannya berupa rawa-rawa yang ditumbuhi pohon bakau. Saat ini tumbuhan bakau ini hanya ada di bagian selatan dan barat dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Tinggi permukaan tanah yang berada di bawah permukaan air laut mengakibatkan wilayah ini akan tergenang air ketika laut mengalami pasang, bahkan tidak jarang memasuki rumah-rumah yang dibangun dengan tembok dan lantai yang tidak dibuat panggung.
Saat ini jalan-jalan di Marunda Pulo sudah disemen dengan pembangunan yang dilakukan berulang-ulang. Namun karena kondisi tanahnya yang mengalami penurunan terus-menerus maka tingginya terus berkurang.[3] Hal inilah yang mengakibatkan jalan-jalan tersebut selalu digenangi air ketika air laut pasang. Pada beberapa bagian kampung terutama pada ujung-ujung kampung jalan-jalan yang menghubungkan antara satu rumah dengan rumah lainnya menggunakan papan kayu yang ditopang dengan tiang-tiang di bawahnya sebagaimana rumah-rumah panggung mereka.   
Pada zaman dahulu seluruh model rumah mereka adalah panggung dengan tinggi antara1-2 meter.[4] Tiang-tiang panggung sebagian besar berada di atas air dengan bagian bawahnya terendam. Sebagian lainnya berada di tanah rawa yang datar seperti kita lihat saat ini yang menjadi lokasi rumah Si Pitung yang berada di depan pintu masuk kampung Marunda Pulo. Seiring perkembangan zaman rumah-rumah penduduk mengalami perubahan dengan pengurangan tinggi panggung dan penggunaan material pasir dan semen sebagai tembok dan pondasinya. Pada beberapa rumah menggunakan lantai semen pada bagian depannya sementara bagian tengah dan belakangnya tetap menggunakan panggung dengan tinggi kurang lebih 50 cm. 
Kondisi tanah di Marunda Pulo pada umumnya adalah tanah berwarna hitam yang didominasi oleh pasir laut. Saat ini kondisi tanah mengalami pencemaran yang cukup parah baik yang berada di daratan maupun di perairannya.[5] Hal ini menjadi salah satu sebab rusaknya ekosistem di wilayah ini, misalnya pohon bakau yang tinggal beberapa batang, daratan yang terus-menerus mengalami penurunan permukaan dan punahnya binatang-binatang yang tinggal di sekitar wilayah ini.
Kondisi airnya tidak lebih baik dari daratannya, banyaknya sampah yang mengotori perairan ditambah dengan limbah industri yang berada di wilayah ini mengakibatkan air yang berada di permukaan dan air tanah-nya sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Kebutuhan akan air bersih warga untuk mencuci, dan kebutuhan rumah tangga lainnya disupply oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya DKI Jakarta.
Kondisi lingkungan perkampungan Marunda Pulo kelihatan kumuh karena sampah terdapat hampir di setiap sudut kampung, apalagi pada bagian air yang tergenang. Pada bagian barat kampung yang merupakan dam (tembok pembatas air laut) menumpuk sampah yang berasal dari sisa-sisa rumah tangga warga. Upaya untuk menjaga kebersihan sudah dilakukan dengan menempatkan tempat sampah di beberapa sudut kampung. Namun sepertinya belum sesuai yang diharapkan di kampung tersebut. Beberapa rumah yang berada di barisan paling pinggir dan menghadapi pantai sering sekali kena luapan air pasang, demikian pula rumah yang tidak panggung dan berada di bawah permukaan air laut. Sementara rumah yang menggunakan panggung akan terbebas dari air pasang ini. Secara umum rumah-rumah di Marunda Pulo terbagi menjadi beberapa jenis yaitu rumah panggung, panggung dengan semen dan rumah semen.
Pemilihan tiga lokasi Penelitian yang berbeda didasarkan pada beberapa pertimbangan khususnya untuk mewakili tipe masyarakat di Indonesia dalam menerima hukum Islam, yaitu masyarakat pesisir (Marunda Pulo) dan pedalaman (Kampung Naga dan Baduy). Beberapa pertimbangan dalam menentukan lokasi Penelitian adalah:
Pertama, Marunda Pulo merupakan kampung nelayan di pesisir pulau Jawa yang telah menerima Islam terlebih dahulu dibandingkan dengan wilayah pedalaman. Interaksi masyarakatnya dengan Islam yang cukup lama diperkirakan akan memengaruhi penyerapan mereka terhadap hukum Islam. Kampung ini juga menjadi salah satu model dan mewakili tipe masyarakat pesisir dalam penyerapan hukum Islam. Walaupun berada di wilayah ibukota namun komposisi masyarakat asli masih dominan sehingga keaslian dari komunitas ini masih terlihat dengan jelas. Selain itu di Marunda Pulo terdapat Masjid al-Alam II yang dibangun oleh Sunan Gunung Djati serta menjadi base camp bagi prajurit Mataram yang akan menyerang Batavia.[6] Pada kampung ini juga masih berdiri rumah yang diyakini sebagai tempat persembunyian Si Pitung, seorang jagoan Betawi yang melakukan perlawanan terhadap Belanda.


[1] Profil Kelurahan Marunda Kecamatan Cilincing Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta, Maret 2014.
[2] Jepri, Pengembangan Estuaria Marunda Sebagai Kawasan Tujuan Wisata, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2011).
[3] Wawancara dengan Bapak Yanto Ketua RT 02/01 Marunda Pulo pada 17 Januari 2013.
[4] Serly Listiyanti, Transformasi Rumah Panggung pada Pemukiman Pesisir Jakarta Utara, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2011), hlm 68.
[5] Lihat Mustaruddin, Model Penyebaran Logam Berat Akibat Cemaran Industri Pada  Erairan Umum Dan Pengaruhnya Terhadap Nilai Ekonomi Air (Studi Kasus Pada Kali Cakung Dalam Di Rorotan-Marunda, Jakarta Utara), (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2005). 
[6]  Wawancara dengan Bapak H. Hasan ketua DKM Masjid al-Alam II pada 28 Juni 2013 di rumahnya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...