Senin, 26 September 2016

Gadai dan Fidusia dalam Hukum Islam

KH. Syakur Khudhary

Tujuan bangsa Indonesia memerdekakan diri dari cengkraman penjajah sebagai mana dikemukakan dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik  Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial.
Dalam menjabarkan tujuan memajukan kesejahteraan umum, dalam Pasal 33 ayat (4) perubahan keempat yang disahkan tanggal 10 Agustus 2002, dinyatakan bahwa:
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Dalam rangka menjalankan roda ekonomi, baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana, yang untuk pemenuhan dana tersebut salah satunya diperoleh melalui pinjam meminjam.
Untuk kelancaran pinjam meminjam pada umumnya diperlukan jaminan atau agunan, dan jaminan yang paling banyak digunakan oleh masyarakat adalah gadai.
Pengertian Gadai (konvensional) seperti dirumuskan dalam Pasal 1150
Kitab Undang undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor atas sesuatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitor, atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada kriditor itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditor-kreditor lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan”.

Pengertian gadai yang tercantum dalam Artikel 1196 vv, titel 19 Buku III N.B.W. berbunyi bahwa: gadai adalah “hak kebendaan atas barang bergerak untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan”. Menurut Andi Prajitno[1], kedua pengertian tersebut perlu disempurnakan. Seharusnya yang diartikan dengan gadai adalah “suatu perjanjian yang dibuat antara kreditor dan debitur dimana debitur menyerahkan benda bergerak kepada kreditor untuk menjamin pelunasan suatu utang gadai ketika debitur lalai melaksanakan prestasinya”.
Dari ungkapan di atas hal-hal yang perlu kita cermati adalah: Pertama gadai adalah suatu perjanjian, kedua debitur menyerahkan benda bergerak dan ketiga sebagai pelunasan utang tatkala debitur wanprestasi.
Pertama: gadai adalah suatu perjanjian.Perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313.
”Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Menurut Subekti[2], suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal”.
Kemudian Pasal 1338 ayat (1) menyatakan:
 “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, dan untuk sahnya suatu perjanjian, dinyatakan dalam Pasal 1320:“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat: yaitu:1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; dan 4. Suatu sebab yang halal”
Kedua: debitur menyerahkan benda bergerak. Benda yang menjadi objek gadai adalah benda bergerak. Benda bergerak adalah benda yang karena sifatnya dapat dipindahkan atau karena ditentukan undang-undang[3], sedang benda tidak bergerak adalah benda yang karena sipatnya tidak dapat dipindahkan atau karena peruntukkannya atau karena ditentukan undang-undang[4].
Pengertian benda. Di dalam KUH Perdata ditemukan dua istilah yaitu benda (zaak) dan barang (goed). Pada umumnya yang diartikan dengan benda (berujud, bagian kekayaan, hak), ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai manusia dan dapat dijadikan obyek hukum[5].
Tan Kamelo membagi benda atas benda bergerak dan tak bergerak serta terdaftar dan tidak terdaftar[6]
Pembagian benda bergerak dan tak bergerak mempunyai akibat hukum
(rehctgevolg) terhadap kedudukan berkuasa (bezit), penyerahan, (levering), kadaluwarsa  (veryaring), pembebanan (bezwaring) dan penyitaan (beslag), sedang pembagian benda terdaftar dan tidak terdaftar untuk memenuhi aspek publisitas dan sebagai bukti kemilikan atas benda tersebut.

Ketiga: Untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut.Dalam hal si berhutang wanprestasi, pemegang gadai berhak menjual sendiri benda gadai. Dari hasil penjualan ini kreditor berhak mengambil pelunasan piutangnya  beserta bunga dan biaya penjualan barang tersebut. Seperti disebutkan dalam pasal 1155 ayat 1 KUH Perdata.
“Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka si berpiutang adalah berhak jika si berutang atau si pemberi gadai bercidra-janji, setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu, setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual barangnya gadai dimuka umum menurut kebiasan-kebiasan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim belaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan biaya tersebut...”

Gadai dalam istilah syari’ah disebut rahn. Zainuddin Ali[7], menyimpulkan dari pendapat ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyyah, Ahmad azhar Basyir dan Muhammad Syafi’i Antonio: bahwa rahn (gadai syari’ah) adalah:
”menahan barang jaminan yang bersipat materi milik sipeminjam  (rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak bisa membayar utang pada waktu yang ditentukan”.
Dari rumusan tersebut tampak bahwa gadai syari’ah merupakan perjanjian utang piutang antara yang menggadaikan (rahin/debitur) dengan penerima gadai (murtahin/kreditur). Pemberi gadai  menyerahkan harta benda apasaja yang bernilai ekonomis kepada penerima gadai sebagai jaminan, dimana harta tersebut dapat dijual untuk membayar utang tatkala pemberi gadai tidak dapat melunasi utang tersebut.
Membandingkan objek jaminan antara gadai berdasar hukum perdata (gadai konvensional), dengan gadai menurut Islam yang diistilahkan dengan gadai syari’ah, nampak jelas bahwa gadai konvensional mensyaratkan bahwa jaminan (marhun) itu haruslah barang bergerak sedang menurut gadai syari’ah jaminan tidak dimestikan barang bergerak[8].
Dari pengertian gadai syari’ah (rahn) diatas, nampak bahwa fungsi perjanjian/akad  antara pihak peminjam dan yang meminjamkan adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemberi pinjaman  karena adanya barang jaminan yang dapat dijual untuk memenuhi kewajiban peminjam tatkala peminjam tidak mampu atau cidera janji (wan prestasi), karena itu rahn pada prinsipnya adalah murni kegiatan tolong-menolong dengan memberi pinjaman uang yang bersipat sosial, dan tidak dikaitkan dengan suatu imbalan. Jika peminjaman uang itu dimaksud untuk menarik keuntungan, maka termasuk riba dan hukumnya haram[9]
Gadai syari’ah berbeda dengan gadai konvensional dimana gadai konvensonal memperbolehkan memberikan imbalan berbentuk bunga seperti tercermin dalam Pasal 1765  KUH Perdata: yang menyatakan bahwa:” adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian”.
Bunga yang diperjanjikan atas peminjaman beras atau gandum, lazimnya beras atau gandum, meskipun tidak dilarang untuk menetapkan bunganya dengan uang[10].
Besarnya bunga berdasar Staatsblad (lembaran negara) Tahun 1848 No. 22 adalah 6 (enam) prosen pertahun, sedang bunga yang diperjanjikan boleh lebih dari itu.[11]
Secara umum, penyaluran kredit adalah kegiatan bisnis meminjamkan dana (fund lending) kepada masyarakat berdasarkan pinjam-meminjam disertai bunga yang telah ditentukan dan wajib dilunasi beserta utangnya pada akhir jangka perjanjian.[12]
Dari uraian di atas terdapat dua perbedaan pokok antara gadai konvensional dengan gadai syari’ah yaitu:
Gadai konvensional mensyaratkan bahwa barang jaminan itu haruslah barang bergerak[13] sedang dalam gadai syari’ah barang jaminan tidak mesti barang bergerak. Dalam gadai konvensional yang meminjamkan (penerima gadai/murtahin/kreditur) bisa mengambil keuntungan berupa bunga pinjaman,  sedang dalam gadai syari’ah yang meminjamkan tidak boleh mengambil imbalan
dari gadai yang berbentuk bunga, karena bunga termasuk dalam kategori riba dan riba adalah haram.
Berdasarkan teori kredo atau teori syahadat[14], yaitu suatu teori hukum Islam di Indonesia, prinsip ini menghendaki agar setiap orang yang telah menyatakan dirinya beriman kepada Allah maka ia harus tunduk kepada apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah dalam Al-Qur’an. Allah telah melarang riba seperti disebutkan dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275;”...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”. Ulama Islam sepakat bahwa riba adalah haram, salah satu yang dipermasalahkan adalah apakan bunga bank termasuk riba atau tidak. Dengan keluarnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 16 Desember 2003 tentang haramnya bunga bank, maka sudah tentu bunga dari gadaipun hukumnya haram.
Dalam hal gadai Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) perbedaan yang prinsip dalam gadai konvensional dengan gadai syari’ah, seperti halnya perbedaan prinsip dalam Bank Konvensional dengan Bank Syari’ah adalah terletak dalam keuntungan. Dalam gadai konvensional dan bank konvensionl keuntungan diambil dari bunga yang diperjanjikan pada saat akad, sedang dalam gadai syari’ah keuntungan tidak boleh diambil berdasarkan bunga, keuntungan bisa diambil dari menyewakan tempat penyimpanan barang jaminan.
            Belakangan ini banyak penawaran  melalui media cetak, media elektronik maupun pamplet yang bersedia meminjamkan dana segar untuk modal usaha dan lain sebagainya yang bisa dicairkan dalam waktu yang relatif singkat dengan menggadaikan/menjaminkan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).  Setelah memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas tentang gadai, maka penawaran ini perlu dipertanyakan keberadaannya.
Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), merupakan barang bergerak terdaftar. Buku itu merupakan sertifikat dari kendaraan. Dilihat dari “barang bergerak” maka bisa dijadikan jaminan baik menurut gadai konvensional maupun menurut gadai syari’ah, namun jika dilihat dari fungsi jaminan dimana jaminan itu nilainya harus lebih besar dari utang karena ia berfungsi untuk menutupi utang, maka baik menurut gadai konvensional maupun gadai syari’ah, BPKB tidak bisa dijadikan sebagai jaminan.
Jika dilihat dari asas hukum jaminan dan doktrin hukum perdata yang mengatakan bahwa semua harta debitur memikul beban untuk melunasi hutangnya kepada kreditur, sampai terpenuhi seluruh pembayaran hutang[15]. Sesuai dengan Pasal 1131 BW, maka BPKB bisa saja dijadikan sebagai jaminan.
Menurut Subekti[16]: Pasal 1131 BW menetapkan bahwa segala kebendaan si berutang (debitor)  baik yang bergerak maupun yang tak begerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Ini berarti bahwa semua kekayaan seorang dijadikan Jaminan untuk semua kewajibannya, yaitu semua hutangnya. Inilah yang oleh hukum Jerman dinamakan HAFTUNG. Kalau seseorang mempunyai suatu hutang, maka jaminannya adalah semua kekayaannya. Kekayaan ini dapat disita dan dilelang dan dari hasil pelelangan ini dapat diambil suatu jumlah untuk membayar hutangnya kepada kreditornya.

Jika yang dimaksud dengan BPKB adalah apa yang tercatat dalam BPKB tersebut dan ia hanya merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan pinjaman, maka gadai BPKB seperti yang ditawarkan dalam media cetak, media elektronik dan pamplet tersebut, sebenarnya fidusia, sedang fidusia sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF) yaitu Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999.
Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia; Fidusia adalah “pengalihan hak kemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”,
Dalam kontek gadai konvensional dengan jaminan fidusia BPKB berarti: Pengalihan hak kepemilikan kendaraan bermotor dari pemberi gadai/debitur kepada penerima gadai/kreditur, atas dasar kepercayaan, kendaraan bermotor tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda (debitur), sedang BPKB kendaraan tersebut dikuasai oleh kreditur sampai lunasnya utang.
Pada gadai syari’ah, gadai dengan jaminan fidusia BPKB berarti: Terhadap barang gadaian/marhun yang berbentuk kendaraan bermotor, diadakan perjanjian antara rahin dan murtahin. Rahin memanfaatkan kendaraan bermotor yang digadaikan tersebut dengan akad mudharabah dengan pembagian keuntungan yang disepakati bersama. Biasanya pembagian keuntungan itu adalah 85 % untuk rahin dan 15% untuk murtahin[17]



[1] Andi Prajitno, Hukum Fidusia – Problematika Yuridis Pemberlakuan Undang-Undang
No. 42 Tahun 1999, Bayumedia Publishing, Malang, 2009, hlm. 134.
[2] Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, Cet. Ke 19, 2002, hlm. 1.
[3] Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia-Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, Cet ke-dua, 206, hlm. 32
[4] I b i d
[5] Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung,1997, hlm. 35.
[6] Tan Kamelo, op. cit, hlm. 141
[7] ZainuddinAli, Hukum Gadai Syari’ah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.3.
[8] Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid,  Lembaga Keuangan Syari’ah, Zikrul Hakim, Jakarta, 2008, di halaman 189: dalam praktik,  jaminan di LKS itu masih barang bergerak,
[9] Kaidah Fiqh “setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang berpiutang (muqridh) adalah riba.
[10] Subekti, Aneka Perjanjian,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. Kesepuluh, 1995 hlm. 128-129.
[11]  I b i d, hlm. 129.
[12] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Organisasi Perusahaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 273.
[13] KUH Perdata No. 1150:”Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor atas sesuatu barang bergerak....

[14] Juhaya S. Praja, Teori-Teori Hukum Suatu Telaah PerbandinganDengan Pendekatan Filsafat, Pasca Sarjana Universitas Islam IUIN) Bandung, 2009, hlm. 107.
[15] Yahya Harahap dalam Tan Kamelo, op.cit, hlm. 332.
[16] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Cet ke XXIX, 2001, hlm. 11
[17] Zainuddin Ali, op.cit, hlm.90.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...