Senin, 21 Agustus 2017

LGBT Bag. 11 LGBT dalam Hindu

1.    LGBT dalam Pandangan Agama Lain
a.    LGBT Dalam Pandangan Agama Hindu
Agama Hindu sebagaimana agama-agama yang lainnya di Indonesia, Hindu juga merupakan sruti atau wahyu tuhan dan juga smerti yang merupakan tafsir yang mana hindu akan merealisasi sruti dengan saat atau era dimana hindu itu dianut oleh umatnya, agama hindu bersifat universal dalam artian masih mampu mengatur sesuai dengan dijaman dulu hingga sekarang. Hindu dikenal memiliki pondamen dasar yaitu Tri Kerangka Agama Hindu: Tatwa (Filsafat), Etika (Susila/Hukum), Upacara (Ritual) tentunya akan mengacu ke kerangka agama tersebut dalam menyikapi masalah yang muncul didalam kehidupan manusia.
Kehidupan manusia didalam agama Hindu tentunya harus mengacu pada setiap firman Tuhan Sang Hyang Widi Wasa/Ranying Hatalla Langit, ada ayat dalam Kitab Suci Sarasamuccaya sebagai berikut: “manusah sarvabhutesu, varttate vai cubhacubhe, acubhesu samavistam cubhesvevavakarayet.” Artinya: Diantara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk: leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia.”[1]
“upabhogaih parityaktam, natmanamavasadayet, Candalatvepi manusyam, sarvvatha tatadurlabham” Artinya: “ Oleh karena itu, jangan sekali-kali bersedih hati sekalipun hidupmu tidak makmur; dilahirkan menjadi manusia itu, hendaklah menjadikan kamu berbesar hati, sebab amat sukar untuk dapat dilahirkan menjadi manusia, meskipun kelahiran yang hina.”
“Yo durlabhataram prapya, Manusyamlobhatonarah, Dharmavamanta, kamatma. Bhavetsakalavancitah”  (Sarasamuccaya Sloka9 ) Artinya: “ Bila ada yang beroleh kesempatan menjadi orang (manusia), ingkar akan pelaksanaan dharma; sebaliknya amat suka ia mengejar harta dan kepuasan napsu serta berhati tamak; orang itu disebut kesasar, tersesat dari jalan yang benar.“[2]
Menyimak sloka tersebut diatas umat hindu dihadapkan pada jatidiri dan tujuan hidup didunia ini yaitu Moksartham jagadhita ya ca iti dharma adalah tujuan hidup untuk mencapai kesejahteraan di dunia ini maupun mencapai moksa yaitu kebahagiaan di akhirat kelak, Moksa yang juga disebut mukti dengan tercapainya kebebasan jiwatman atau juga disebut mencapai kebahagiaan rohani yang langgeng di akhirat atau manunggaling kawulo gusti. Jagadhita juga disebut bhukti yaitu kemakmuran dan kebahagiaan setiap orang, masyarakat, maupun negara. Dengan melaksanakan swadharma masing - masing secara tekun dan penuh rasa tanggung jawab yang dalam pelaksanaan catur dharma sebagai tugas yang patut kita dharma baktikan baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk umum. [3]
Sehingga manusia yang dimaksud dalam sloka 2-3 dan 9 kitab suci sarassamusca seharusnya manusia dapat mensyukuri kelahiran menjadi manusia dan memanfaatkan kelahiran menjadi manusia itu sehingga manusia hindu akan berpegang teguh dengan agamanya atau dharma sebagai dasar dan penuntun manusia di dalam menuju kesempurnaan hidup, ketenangan dan keharmonisan hidup lahir bathin. Orang yang tidak mau menjadikan dharma sebagai jalan hidupnya, maka tidak akan mendapatkan kebahagiaan tetapi kesedihanlah yang akan dialaminya. Hanya atas dasar dharmalah manusia akan dapat mencapai kebahagiaan dan kelepasan, lepas dari ikatan duniawi ini dan mencapai moksa yang merupakan tujuan tertinggi.[4]
Sangat jelas disini umat hindu memiliki tujuan tertinggi adalah moksa dan kehidupan didunia yang sementara ini adalah media untuk umat hindu meningkatkan kehidupan yang lebih baik sehingga akan menghantarkan kea lam kelanggengan yaitu manunggal dengan Tuhan (Manunggaling Kalulo Gusti).
Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing. Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
“Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”[5] Artinya: Untuk menjadi Ibu wanita diciptakan, dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan.
Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) merujuk pada sloka ini cenderung tidak sesuai dengan tujuan umat hindu yaitu agar umat Hindu selalu berbuat dharma, dharmanya yaitu mensyukuri keadaannya terlahir sebagai manusia itu adalah utama, secara biologi merujuk pada jenis kelamin apa yang dimilikinya, dan mengetahui tugas fungsinya terlahir menjadi manusia dengan jati dirinya laki-laki atau wanita, dimana kaum LGBT akan merasakan ketidak tepatan menerima kondisi/tidak mensyukuri yang mereka alami suatu contoh terlahir menjadi laki-laki tapi tidak melakukan dharmanya sebagai laki-laki begitu sebaliknya seorang wanita harus tahu dharmanya sebagai wanita, disinilah kalau ditelaah kaum LGBT cenderung menuruti nafsu birahi atau kepuasan seks saja sebagai penentu keberadaannya (eksistensi) dirinya terlahir di dunia ini, sedangkan didalam agama hindu lebih ditekankan kepada pengendalian diri terutama panca indrianya atau kama.[6] Sebagaimana sloka Bhagavadgita III.7 berikut: “Yas tv indriyani manasa niyamya rabhate ‘rjuna, Karmendriyaih karma-yogam asaktah sa visisyate.
Artinya: Sesungguhnya orang yang dapat mengendalikan Panca Indranya, dengan pikiran, dengan panca indranya bekerja tanpa keterikatan, ia adalah orang yang sangat dihormati. Secara alami, pasti ada saja suara yang masuk ketelinga kita, yang mungkin tidak mengenakkan hati.
Pengakuan gender dan jati diri LGBT suatu hal yang tidak mengenakkan akan mendapatkan tudingan sebagai manusia yang tidak normal terdiskriminasi, dibuli dan tidak diterima oleh lingkungan sosialnya, tetapi saat kita bisa mengendalikan napsu dalam panca indria kita maka akan ada kebahagiaan dan bisa kita arahkan kepada kegiatan-kegiatan yang positip tentunya dunia terbuka dengan kegiatan positip tersebut, tapi bila kaum LGBT memaksakan eksistensinya agar diterima dan memaksakan akan membuat kekacauan dalam hal tujuan perkawinan, bila LGBT juga menuntut untuk pengakuan perkawinan maka bertentangan dengan tujuan perkawinan menurut agama hindu, tentunya untuk kaum LGBT yang harus dipahami, seyogyanya menerima kodratnya bila terlahir menjadi laki-laki maka mengerti tugas dan fungsi untuk menjadi seorang ayah begitu pula wanita akan menjadi seorang ibu, disini yang perlu dipahami sebagi Ayah untuk Laki-laki dan Ibu untuk perempuan agar dapat melestarikan kesinambungan keturunan manusia. kwajiban melaksanakan Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya. [7]
Adapun 3 tujuan pernikahan menurut ajaran Hindu menurut kitab kitab Manava dharma sastra yaitu[8]:
1. Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña dapat dilaksanakan secara sempurna.
2. Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
3. Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.
Sebagaimana perihal diatas memasuki jenjang perkawinan bukan untuk sekedar memenuhi nafsu atau melampiaskan seks saja, tetapi yang lebih diutamakan adalah kewajiban memasuki klas grihasta dimana peran dan fungsi seorang laki-laki dan seorang perempuan benar-benar bisa dibuktikan yang akhirnya akan sangat membantu keberadaan kelestarian generasi penerus manusia yang suputra. Sebagaimana wacana dari 3 hal tersebut diatas tentunya satu yang tidak dapat dilakukan oleh kaum LGBT akan menjadi status Ayah dan Ibu yang sesuai dengan kodratnya yaitu untuk melahirkan keturunan guna lestarinya keberlangsungan hidup manusia.
Perkawinan di dalam agama hindu adalah salah satu tahapan kehidupan yang disebut dengan Catur Asrama; Brahmacari (masa menuntut ilmu), Grhasta (masa berumah tangga), Wanaprasta (masa membatasi diri dari aktifitas duniawi), Bhiksukan (masa melepaskan diri dari ikatan duniawi) penekanan ini adalah memporsikan bukan membatasi suatu contoh: masa brahmacari tentunya 100% menuntut ilmu dalam segala hal tetapi bagi asrama Grhasta tentunya mempraktekakan ilmu yang dulu telah didapat dan mengembangkannya, tetap menuntut ilmu tetapi porsinya tidak seperti sewaktu dalam fase brahmacari.[9]
Perkawinan menurut Hindu adalah tahap masuk dalam jenjang Grhastaasrama yang intinya adalah mendapatkan keturunan atau anak, “Anak adalah buah akibat dari adanya proses perkawinan…….” sebagaimana dalam Tim Penyusun Hita Grha (2000:21) karena itu anak dipandang sebagai tujuan orang melaksanakan perkawinan, menurut agama Hindu anak merupakan dambaan setiap orang berkeluarga dan yang disebut anak dalam agama Hindu adalah yang dijadikan tempat berlindung bagi orang yang memerlukan pertolongan.[10]
Salah satu masalah bila menuntut pengakuan dalam hal legalitas perkawinan bagi kaum LGBT adalah banyak hal yang tentunya tidak dapat dilaksanakan sebagaimana tujuan perkawinan menurut hindu adalah menghasilkan keturunan, yang dimaksud keturunan atau anak itu adalah generasi penerus yang akan menyelamatkan leluhur dan orang yang melahirkan juga orang-orang yang memerlukan pertolongan, dalam hal ini tentunya tidak mungkin kaum LGBT bisa merealisasikannya sebagaimana tujuan perkawinan menurut agama Hindu.[11]



[1]Kajeng I Nyoman DKK.1994. Sarasamuccaya. Hanuman Sakti.
[2]Kajeng I Nyoman DKK.1994. Sarasamuccaya. Hanuman Sakti.
[3]Kajeng I Nyoman DKK.1994. Sarasamuccaya. Hanuman Sakti.
[4]Pudja G DKK.2002. Manawa Dharmacastra (Manu Dharma Sastra) atau Weda Smrti
[5]Pudja G DKK.2002. Manawa Dharmacastra (Manu Dharma Sastra) atau Weda Smrti
[6]Hawari Dadang. 2009. Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual. Jakarta. FKUI

[7]Compedium Hukum Hindu. Jakarta. CV. Felita Nursatama Lestari.
[8]Gun gun. 2011. Bhagawad Gita (terjemahan bergambar). Denpasar. PT. Mabhakti.
[9]Compedium Hukum Hindu. Jakarta. CV. Felita Nursatama Lestari.
[10]Tim Penyusun. 2000. Hita Grha. Jakarta. Depag. RI
[11]Wikipedia. (2016), “Biseksualitas.” https://id.wikipedia.org/wiki/Biseksualitas (diakses 15, agustus 2017. Jam 9:00)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...