Senin, 21 Agustus 2017

LGBT Bag. 15 Hukum Pelaku LGBT di Indonesia

1.         Hukum Pelaku LGBT di Indonesia
Di Indonesia legalitas homoseksual itu sendiri tidak ada. Namun di sisi lain perkawinan homoseksual juga tidak diakui oleh hukum Indonesia. Selama ini yang dilarang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya homoseksual yang dilakukan terhadap anak-anak di bawah umur. Aturan tersebut terdapat ada di Pasal 292 KUHP. Pada pasal tersebut tidak secara tegas melarang homoseksual yang dilakukan antar orang dewasa.Meski tidak ada legalitas soal status homoseksual di Indonesia, ada aturan pidana terkait hubungan sesama jenis yang terdapat dalam pasal tersebut, antara lain berbunyi: “Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”
R. Soesilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” menjelaskan bahwa:
1.    Dewasa = telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah pernah kawin.
2.    Jenis kelamin sama = laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan.
3.    Tentang perbuatan cabul = segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Dalam arti perbuatan cabul termasuk pula onani.
4.    Dua orang semua belum dewasa atau dua orang semua sudah dewasa bersama-sama melakukan perbuatan cabul, tidak dihukum menurut pasal ini oleh karena yang diancam hukuman itu perbuatan cabul dari orang dewasa terhadap orang belum dewasa.
5.    Supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka orang dewasa itu harus mengetahui atau setidak-tidaknya patut dapat menyangka bahwa temannya berbuat cabul itu belum dewasa.
Namun ada pasal lain yang lebih tegas bisa menjerat mereka, aktor atau pelaku gay. Aturan tersebut adalah pasal 32, 33 dan 36 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.[1]
Pasal 32: Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33: Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 36: Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). [2]
Bangsa Indonesia ini, kata Soepomo,[3] dibangun dalam suatu tatanan integralistik. Artinya, kita adalah masyarakat organis. Setiap diri kita adalah anggota dari rumpun keluarga-keluarga. Model kemanusiaan kita sebagai orang Indonesia adalah pemuliaan generasi dengan jelasnya garis keturunan yang membentuk rumpun-rumpun kemasyarakatan. Inilah jati diri pertama dalam bangunan hukum nasional pasca proklamasi kemerdekaan pada 1945.
Oleh karenanya, perilaku seksual adalah hal yang diatur secara ketat dalam suatu ikatan perkawinan. Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 merumuskannya sebagai:
“Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa“ .
Perilaku seksual hanya diwadahi dalam perkawinan yang merupakan “ikatan lahir batin” yang bertujuan membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia bukan sekedar catatan sipil, tapi lebih dari itu adalah pengurusan sebuah tatanan kemasyarakatan.
Sebab, satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual adalah pemeliharaan generasi. Perilaku seksual tidak boleh dilakukan di luar konsesi ini, sebagaimana halnya pelatihan militer tidak boleh dilakukan di luar tujuan mempertahankan kedaulatan negara.
Jadi, secara terang, pelanggengan perilaku LGBT sebagaimana halnya pemerkosaan, perzinahan/ perselingkuhan, dan seks bebas samasekali tidak mendapat tempat dalam payung hukum Indonesia. Kesemuanya itu bukan hanya jahat kepada satu atau dua orang, tetapi juga kejahatan bagi pemuliaan generasi. Perilaku tersebut secara jelas menghilangkan satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa.[4]



[1]R. Soesilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
https://kumparan.com/wisnu-prasetyo/jerat-hukum-untuk-mereka-yang-pesta-gay (Diakses pada tanggal 15 agustus 2017, pada pukul 16: 20 )
[2]R. Soesilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
https://kumparan.com/wisnu-prasetyo/jerat-hukum-untuk-mereka-yang-pesta-gay (Diakses pada tanggal 15 agustus 2017, pada pukul 16: 20 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...